Share

Deal!

Dua minggu berselang setelah peristiwa aneh itu terjadi, Chalondra berusaha menjalani hidupnya seperti biasa. Layaknya anak yang baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya ikut les sebelum mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi. Walau pun berasal dari keluarga yang berada, ibunya selalu mengajarkan mereka kesederhanaan. Seperti tetap ikut jalur umum untuk masuk ke universitas.

Namun Chalondra tidak bisa menyangkal bahwa ada yang kosong di dalam dirinya. Mungkin hatinya? Entah lah. Bayang-bayang kejadian malam itu masih selalu terlintas di pikirannya. Ciuman pertamanya yang sudah dicuri seorang laki-laki beristri dan sentuhan-sentuhan mematikan itu. Semuanya masih menari-nari dalam ingatannya, bahkan segala rasanya pun masih bisa dia rasakan, seperti baru terjadi kemarin. Terlalu nyata untuk sesuatu yang sudah berlalu hampir dua minggu lamanya.

Gadis polos seperti Chalondra, yang belum pernah mengenal cinta, atau ketertarikan dengan lawan jenis dan belum pernah disentuh oleh kaum lelaki, sudah pasti mengalami efek samping dari peristiwa malam itu. Malahan bisa dibilang efek sampingnya sangat berkepanjangan. Pikirannya sering menjadi tidak fokus dan dia jadi lebih sering melamun. Tidak jarang dadanya tiba-tiba sesak dan berujung pada mata yang berkaca-kaca.

"Kan aku yang bilang nggak mau... kenapa aku malah begini?" Dia bergumam sambil mengembuskan napas kasar. Ditatapnya buku pelajaran yang sejak tadi hanya dia anggurin. Semangatnya semakin hari semakin menguap. Padahal dia berharap akan melupakan om-om itu seiring berjalannya waktu.

"CHA!!" 

"Astaga! Abang!!" Lamunan Chalondra terurai saat Brandon, kakak semata wayangnya mengejutkannya dari belakang.

"Kamu melamun?! Bukannya belajar." Brandon duduk di kasur yang ada di sebelah meja belajar adiknya.

"Lagi mumet, Bang. Abang tumben udah pulang?"

"Ini udah jam sembilan, Cha. Ya wajar dong udah pulang. Kamu gimana persiapan ujiannya?"

Chalondra menutup bukunya dengan tidak semangat. "Udah sih, Bang. Tinggal ujian aja lagi ...."

"Semangat ya! Kamu pasti bisa masuk universitas yang kamu mau."

Chalondra mengangguk-angguk. Namun sentuhan hangat Brandon di puncak kepalanya membuat perasaan galaunya semakin menjadi. Tiba-tiba saja matanya berkilauan dan hidungnya perih. Astagaaa, dia ternyata merindukan Om yang bernama Dominic itu!

"Kamu kenapa, Cha?" Melihat adiknya tiba-tiba sesenggukan tanpa alasan membuat Brandon terkejut. 

"Capek belajar, Bang ...." Chalondra beralasan. Tidak mungkin dia jujur soal rindu kepada suami orang kan?

Brandon mendekat dan menarik Chalondra ke dalam pelukannya. "Maafin Abang ya, nggak bisa nemanin kamu terus di sini. Kalau ada Abang kamu pasti nggak kesepian ...."

Tangis Chalondra semakin menjadi di dalam pelukan Brandon. Kenapa rasanya sakit sekali? Padahal dia yang memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh dengan laki-laki tua itu. Dia tidak ingin menjadi pelakor yang sering diberitakan di akun gosip tersohor di i*******m. Dia cukup mengerti kalau itu salah dan apa yang sudah mereka lalui malam itu adalah sebuah dosa besar. Bagaimana pun Dominic punya istri sah saat mereka saling bertukar saliva.

Tapi ... Chalondra menyukai keintiman yang mereka ciptakan malam itu. Cara Dominic membuatnya nyaman dan tidak menuntut lebih selain ciuman panas. Yaa, mungkin pria itu sedikit nakal dengan menyentuh bokon9nya, tapi hanya sampai di situ saja. Hingga mereka harus mengakhiri cumbuan di jam lima pagi, tidak ada sentuhan yang berlebihan, sekali pun handuk Chalondra terbilang cukup menggoda iman pria itu. 

Ya, Dominic mengakuinya. Dia kesulitan konsentrasi karena handuk gadis itu. Tapi dia juga melarang Chalondra untuk memakai kembali pakaiannya. 

"Kalau memang kamu nggak mau sama saya, biar saya nikmatin pemandangan ini sampai kita pisah," katanya gamblang. Ciri khas pria dewasa. Straight to the point, tidak malu-malu kucing.

Brandon sedikit kebingungan karena tangisan Chalondra bukannya mereda saat dipeluk, malah semakin menjadi. Brandon bukan tidak mengerti arti dari tangisan adiknya itu.

"Cha, kamu lagi patah hati?"

*****

Ujian masuk universitas yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan secara serentak di seluruh Nusantara sudah berakhir. Chalondra akhirnya bisa bernapas lega. Satu bulan lamanya dia belajar untuk mempersiapkan diri. Walau pikirannya sering terbagi untuk hal-hal di luar pelajaran, dia puas karena bisa menghadapi ujian dengan maksimal. Setidaknya dia cukup percaya diri.

Sekarang dia sama sekali tidak punya kesibukan. Pikirannya semakin sering terbang melayang, memikirkan Om Dominic. Apa kabarnya pria tua itu? Apakah sudah akur dengan istrinya?

Chalondra entah kenapa kepikiran untuk datang ke club milik pria itu lagi. Ingin mengadu nasib apakah mungkin akan bertemu dengan Dominic di sana. Dia ingin melihat pria itu lagi, walau dari kejauhan, walau dalam kegelapan. Katakan lah dia nekat dan gila. Tapi apa mau di kata, dia rindu.

Lewat bantuan temannya yang sama, akhirnya dia bisa masuk ke tempat itu lagi. Chalondra bahkan sempat mengejek Dominic di dalam hatinya. Pria itu tetap saja kecolongan meski sudah memperbaharui peraturan perihal syarat masuk.

Chalondra memesan minuman tanpa alkohol. Sesekali memutar kepalanya dan berusaha mengenali orang-orang di dalam kegelapan. Berharap bisa menemukan wajah tampan yang sudah meracuni pikirannya selama satu bulan terakhir. 

Namun pencariannya tidak membuahkan hasil. Hampir satu jam lamanya dia duduk di sana, menanti kursi yang di sebelahnya diisi oleh orang yang sama seperti satu bulan yang lalu. Namun sepertinya itu hanyalah harapannya belaka. Mungkin Dominic sudah melupakan tempat itu.

Juga melupakan dirinya.

Ada rasa penyesalan yang membuat Chalondra merasa tidak nyaman sekarang. Dia sedih mengingat semuanya. Kenangan satu malam yang begitu manis. Kenapa dia baru menyadari itu sekarang? 

Tapi fakta bahwa Dom adalah laki-laki beristri membuat otaknya lagi-lagi harus disadarkan. Jangan sampai menaruh harapan yang tidak-tidak, sekali pun pria itu mengaku tidak mencintai istrinya. Chalondra menghela napas demi mengosongkan dadanya dari kesesakan.

Kemudian dia menghabiskan teguk terakhir minumannya dan menelannya habis. Dia turun dari kursi tinggi tersebut dan berjalan meninggalkan meja itu, menuju arah pintu keluar. Semangatnya sudah menguap dan air matanya hampir saja menetes. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Dia berjalan menunduk demi menghindari tatapan orang-orang. Hingga saat dia melewati salah satu lorong yang sepi, tiba-tiba saja ...

BUKK!!

Kepalanya terbentur sesuatu. Sepertinya dia menabrak seseorang dan yang dia tabrak barusan adalah dada kekar milik orang tersebut. 

Ibarat gerakan slow motion, Chalondra mengangkat wajahnya. Dia ingin meminta maaf kepada orang bertubuh kekar tersebut. Namun saat dia menyadari siapa yang dia tabrak, matanya langsung membesar pertanda kalau dia terkejut. Namun itu terjadi hanya beberapa detik. Karena detik berikutnya bibirnya mulai melengkung ke bawah dan dahinya berkerut, kedua alisnya hampir menyatu.

Air matanya jatuh sudah. Dia sangat merindukan pria itu. Tapi boleh kah dia yang memeluk duluan? Kemarin dia yang menolak pria itu dan sekarang dia tidak tahu apakah Dom sudah akur dengan istrinya atau belum. Jadi, dia tidak berhak memeluk om-om tampan itu kan?

Saat dia menangis dalam diamnya, Dominic malah merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda berbentuk persegi dan menekan satu nomor yang tidak terbaca oleh Chalondra. Dominic masih menatap kedua matanya saat benda itu dia tempelkan di telinga.

Chalondra berjingkat karena ponselnya bergetar. Ada panggilan. Kebingungan, dia melihat ke arah Dom lagi. Pria itu seakan memberi isyarat agar dia mengangkatnya.

Chalondra pun mengambil benda itu dari dalam tasnya dan alangkah terkejutnya dia saat membaca nama pemanggil yang tertera di ponselnya. My Sugar Daddy?? Kening Cha kini semakin berkerut karena banyak pertanyaan. Tapi sepertinya dia akan menanyakannya lewat telepon.

"Perasaan aku nggak pernah masukin nomor ini," tanyanya sambil menatap dalam netra Dominic yang juga sedang menatapnya. 

"Saya yang memasukkannya dulu, waktu mengambil tas kamu yang ketinggalan." Dom menjawab. Tentu saja mereka saling bertelepon sekarang.

"Jadi ... selama ini, Om punya nomor ponselku?" Air mata kesedihan semakin menggenangi bola mata cantik gadis kecil itu. Selama ini Dominic memiliki nomornya, namun tidak berniat bertanya tentang kabarnya sedikit pun. Sama sekali. Malam itu benar-benar tidak berarti baginya. 

"Iya." Tangan Dom refleks terulur untuk mengusap air mata Chalondra, namun gadis itu menepisnya.

"Nggak usah pura-pura care sekarang. Kemana Om selama satu bulan ini? Om punya nomor aku tapi Om nggak pernah hubungi aku. Om udah rujuk sama istri Om?"

Dominic tidak menjawab. Dia melihat tatapan kekecewaan yang disorotkan Chalondra kepadanya. 

"Saya menunggu kamu selesai ujian. Saya nggak mau bikin ujian kamu kacau." Dominic setidaknya jujur soal ini. Bisa dibilang dia selalu mengikuti perkembangan Chalondra setelah gadis itu menolaknya. 

Chalondra bergeming. Mendengar Dominic tau tentang ujiannya -sementara dia tidak menyinggung perihal itu saat malam itu- membuat gadis itu sedikit terhibur. Apakah Dom mengawasinya? Selama ini? Benarkah?

"Kamu ngapain di sini, Cha?"

"Selametan karena udah beres ujian. Om sendiri ngapain di sini? Masih suka minum?"

"Saya ke sini setiap hari. Berharap kamu datang, Chalondra ...."

...

...

...

Entah siapa yang duluan bergerak. Apakah Dominic yang memajukan wajahnya atau Chalondra. Yang pasti sekarang bibir mereka telah bersatu. Chalondra yang kecil langsung mengalungkan tangannya di leher Dom sehingga pria itu dengan leluasa mengangkatnya tinggi di udara.

Mereka melepas rindu yang begitu besar lewat ciuman yang terburu-buru. Dom sampai memojokkan Cha ke tembok dan menekan tubuhnya ke tubuh mungil gadis itu. Chalondra membelit tubuh kekar Dom dengan kakinya. Seakan tidak ingin melepas Dom sampai kapan pun.

"Om aku kangen ... hikssss ..." Tangisan gadis itu pecah saat Dom menjeda ciuman mereka. Menangis di cerug leher laki-laki itu sambil memeluknya erat-erat.

"Saya juga, Chalondra. Kamu jahat banget nolak saya ...."

"Maafin aku, aku kangen Om ..." adu Chalondra lebih keras. Dia benar-benar ingin Dominc tau isi hatinya.

Dominic membuka pintu kamar yang ada di belakang mereka dengan satu tangan. Tangannya yang lain menahan pinggang Cha yang sedang dia gendong. Entah itu kamar yang mana satu, yang jelas masih kosong. Dia membawa Chalondra yang membelit di tubuhnya seperti bayi Koala. Tidak lupa dia mengunci pintu terlebih dahulu.

Dia duduk di tepian kasur dan menegakkan kepala gadis itu. Jika tadi mereka hanya bisa melihat dalam kondisi yang temaram, sekarang mereka sama-sama bisa melihat dalam terang. 

Dominic lagi-lagi menyesap bibir Cha tanpa ijin. Lagian tanpa minta ijin pun gadis itu tidak akan keberatan. Ciuman panas mereka yang tadi berlanjut lagi sekarang.

Chalondra mengikuti nalurinya sehingga terlihat lebih fasih berciuman sekarang. Dia dengan lincah membalas semua hisapan dan lumatan Dominic. Tangan gadis itu merangkul leher Dom erat dan pria itu melilitkan kedua tangannya di pinggang Cha dengan posesif.

Ciuman panjang mereka akhirnya harus dihentikan karena Chalondra sudah kehabisan napas. Dominic menarik lidahnya kuat untuk yang terakhir kalinya.

"O ... Omm ..." Napasnya terengah-engah dan matanya begitu sayu. Gairahnya sudah memuncak dan dia hampir menangis kala menyadari sekarang dia dan Dominic sudah bersama.

"Kamu sudah pintar, Cha. Sebulan ini kamu belajar atau latihan ciuman?" sindir Dominic sambil membelai bibir gadis itu yang membengkak.

"Om yang ajarin kan waktu itu. Bercumbu sampai jam lima pagi."

"Saya nggak bisa lupain itu, Cha. Malam itu ... menjadi malam terindah dalam hidup saya. Nggak tau kalau malam ini bakalan ada yang lebih indah dari itu."

Chalondra tersenyum. Dia tentu saja paham arah tujuan kalimat Dominic. Mereka saling menatap lagi. Perasaan rindu menggebu-gebu begitu ketara di antara sorot mata keduanya. Mereka tidak berkata-kata, hanya saling menatap sambil berpelukan.

"Saya kangen kamu, Cha. Ini gila, tapi saya juga nggak bisa bohong. Saya kayak anak kecil ya?"

"Om pedofil dong? Ingat loh, pas Om kuliah, aku baru lahir."

Dominic tertawa mengingat kata-kata yang pernah dia ucapkan pada gadis itu. Iya, sepertinya dia memang pantas diberi sebutan itu. Tapi Chalondra sudah tentu tidak termasuk dalam kategori anak kecil. Sah-sah saja jika dia menyukainya bukan?

"Iya, saya pedofil. Kamu keberatan?"

Chalondra cepat-cepat menggeleng. Dia meraba kedua pipi Dominic dengan tangan-tangan kecilnya. Matanya yang indah menelusuri setiap inci wajah tampan dan tegas Dominic.

"So? You are my sugar daddy and i am your sugar baby?" tanyanya dengan nada menggoda. Kali ini jemarinya yang bermain-main di belahan bibir Dominic.

"Kamu mau? Sebagai imbalannya kamu bisa minta apa saja ke saya..." tawar Dominic, berpura-pura belum tau jika Chalondra adalah anak seorang konglomerat yang tentunya hidup dengan berkelimpahan. Dia pasti sudah memiliki segalanya.

"Apa saja?" mata Chalondra yang indah itu berbinar-binar. Dominic menyambutnya dengan anggukan.

"DEAL!!" Chalondra menciumi pria itu lagi pertanda mereka sepakat.

*****

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Tarra
menarik lanjut baca nih
goodnovel comment avatar
Mami Erny S. Rihi - Loupatty
lanjtkan buat penasaran saja.
goodnovel comment avatar
Mami Erny S. Rihi - Loupatty
Kegairahan yang ada pada anak kecil itu lebih kuat daripada om2 itu. karena biar bagaimanapun om tu sudah merasakan hal2 itu' tapi si anak itu baru pertamakali merasakannya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status