Begitu pintu mobil ditutup dari luar, Pras membuka matanya perlahan. Menegakkan kepala dan membuang pandangan ke luar jendela. Ingatannya kembali berputar, akan rekaman pertemuan yang terjadi antara dirinya dan Daya, sekitar seminggu yang lalu di sebuah rooftop bar.
“Aku baru dengar kalau kamu cerai dengan Bintang.” Pras memandang cinta pertamanya itu lamat-lamat. Wajah kalem keibuan dengan senyum khas yang begitu hangat, selalu mampu mencairkan hatinya dahulu kala.
“Yaa, udah lama sih.” Daya menyematkan senyum manisnya. “Kamu, tumben ngajak ketemuan? Udah berapa lama yaa … kapan balik Singapur lagi?” ingatan Daya berputar di saat ia masih menjadi junior Pras di kampus saat itu. Dan pria itu tidak pernah lagi menemuinya, sejak Daya memberi Pras sebuah kartu undangan pernikahannya dengan Jagad, kakak Bintang.
“Kenapa kamu cerai dengan Bintang, Day?” Pras tidak pernah berubah, ia selalu saja tidak bisa berbasa basi untuk mengungkapkan tujuannya. Pria itu juga tidak menanggapi pertanyaan Daya.
“Itu bukan urusanmu kan? Jadi aku rasa, kamu gak perlu tahu.”
Pras tetap saja memasang wajah datarnya, “Sinar mengajukan gugatan cerai dengan Bintang, kamu sudah dengar?”
Kedua alis Daya terangkat cepat, sudut bibirnya pun tertarik tipis. Wanita itu tersenyum mendengar ucapan Pras. Tidak perlu bertanya darimana Pras mendapatkan informasi tersebut, karena pria itu adalah seorang pengacara. Bisa saja kan, kalau Sinar menggunakan jasa salah satu advokat di firmanya, atau mungkin saja Sinar, langsung memakai jasanya.
Tapi, apa itu mungkin? mengingat ini hanya kasus perceraian dan tarif seorang Pras pastilah tidak murah.
“Aku belum tahu, tapi terima kasih sudah memberiku kabar baik.” Daya lantas menghela napas, seakan penuh kelegaan. “Pantas aja, Mas Bintang belakangan ini sering nginap di rumah.”
Alis tebal Pras sedikit mengerut, ingin menelisik lebih dalam. Ia lalu mengambil botol air mineral dan menyesapnya hingga separuh. “Nginap? Dalam artian sebenarnya atau kalian … yah begitulah melepas rindu sebagai dua orang dewasa.”
Daya tergelak, wajahnya bersemu merah. Wanita berusia 35 tahun itu pun sempat mengusap hidungnya sejenak untuk mengalihkan sebuah rasa. “Menurutmu? Dua tahun dia menikah dengan Sinar tapi belum juga diberi keturunan. Jadi, kamu bisa simpulkan sendiri.”
Daya sedikit mencondongkan tubuhnya, berbicara pelan. Nyaris berbisik sebenarnya. “Sepertinya Mas Bintang pengen anak lagi, tapi dia gak dapetin itu dari Sinar, makanya dia kembali ke rumah.”
“Sepertinya kamu senang melihat Bintang mau bercerai dengan istrinya yang sekarang?” Pras masih saja memegang botol air mineralnya. Tidak berminat meletakkannya kembali di atas meja. Bersandar santai pada punggung kursi.
“Pastinya!” jawab Daya. “Sinar hadir di tengah-tengah rumah tanggaku dengan Mas Bintang, membuatku bercerai dan jadi single mom. Kamu gak akan tahu gimana sakitnya aku waktu itu, Pras. aku terpuruk! Sempat depresi sampai-sampai Kaivan di rawat sama ibu mertuaku.”
Pandangan Daya menerawang sejenak. "Mas Jagad meninggal, terus dicerai Mas Bintang. Dua kali jadi janda itu ... pukulan tersendiri buatku Pras."
Pras melihat segurat luka di manik Daya. Hatinya sedikit goyang mendengar penderitaan wanita yang dulu pernah menghiasi hari-harinya sebagai kekasih. Tapi sayang, Daya tiba-tiba memutuskannya karena sebuah perjodohan yang dilakukan oleh sang ayah.
“Kamu sudah lebih baik sekarang?” tanya Pras mencondongkan tubuh untuk lebih mengamati Daya. Wanita itu sepertinya tidak mengetahui kalau Sinar saat ini tengah hamil.
“Tentunya, apalagi waktu kamu bilang kalau Mas Bintang akan bercerai dengan Sinar.” Manik Daya berkilat sumringah saat mengucapkannya. “Aku harap hal itu terjadi secepatnya! Biar dia mendapat karma dan merasakan apa yang pernah aku rasa!”
“Pak, sudah sampai.” ucapan dari Arkan, sang supir pribadi Pras menguapkan semua lamunannya tentang Daya.
Kemudian Pras keluar. Mengancingkan jasnya sebentar lalu memasuki firmanya dengan tegap dan gestur yang terlihat arrogan. Tidak ada sapa maupun senyum, yang diberikan pada pegawai yang berada di kantornya. Karena pada dasarnya, Pras tidak suka menghabiskan waktu untuk berbasa-basi.
--
Sinar yang telah diturunkan di pinggir jalan oleh Pras, akhirnya memesan taxi. Ia kembali ke Metro. Ingin meminta sebuah penjelasan pada Harsa maupun Zain tentang pemecatannya secara sepihak.
Sesampainya di Metro, Sinar bergegas pergi ke lantai dua dan menemu Harsa terlebih dahulu. Mengetuk pintu kaca ruang pemred dua kali kemudian masuk dan berdiri di tengah ruang. Tidak berniat untuk duduk di manapun.
“Apa betul saya dipecat, Pak?”
Wajah Harsa mengernyit, terkejut dengan pertanyaan yang dimuntahkan oleh sang sekred. Tidak ada angin, tidak ada hujan, mengapa Sinar tiba-tiba bertanya hal demikian. Lagipula, bukankah gadis itu baru saja meminta izin untuk pulang, tapi kenapa kembali lagi.
“Siapa yang mecat kamu, Nar?” Harsa bertanya balik. “Sepertinya kamu benar-benar harus istirahat dulu, kamu bisa ambil cuti lagi.”
Kepala Sinar menggeleng berulang kali. “Pras yang bilang sama saya, dia bilang, Metro sudah jadi perusahaannya dan mulai besok saya gak usah bekerja karena sudah dipecat.”
Pras?
Sinar hanya memanggil sang pengacara terkenal dan disegani itu hanya dengan namanya saja? tanpa ada embel-embel sebagai sebuah kesopanan, seperti yang dilakukannya selama ini, kepada para tamu yang datang ke Metro.
“Kamu kenal, Pras?”
“Sebenarnya saya gak kenal siapa dia, Pak. sempat ketemu dan memang pernah dengar namanya sesekali saat rapat redaksi.” Sinar mulai tertunduk dengan mengeluarkan sebuah isakan. Memegang perutnya dengan kedua tangan yang saling menumpuk. “Tapi, orang itu yang sudah bikin ayah saya di penjara, dia juga yang sudah bikin saya cerai sama Mas Bin, dan sekarang dia bilang sudah mecat saya. Sebenarnya, salah saya itu apa sama dia.”
Harsa beranjak dari kursi kerjanya. Menghampiri Sinar dan menggiring tubuh bergetar gadis itu agar duduk di sofa terlebih dahulu.
“Kamu pernah buat salah sama, Pras?” Harsa duduk di samping Sinar, menatap gadis itu dengan tanda tanya besar dan rasa ingin tahu yang memuncak. Mengapa Pras sampai tega melakukan itu semua kepada Sinar.
“Setahu saya gak ada, Pak.” Sinar yang terisak itu langsung menceritakan awal pertemuannya dengan Pras. Dan, bagaimana akhirnya ia sampai bisa bercerai dengan Bintang, karena ulah pria itu.
Harsa menghela panjang dengan sederet rasa iba melihat Sinar yang masih saja terisak. Ia mengambil satu kotak tisu dan meletakkannya di pangkuan Sinar.
“Tunggu di sini sebentar, saya hubungi Pras dulu.”
Sinar hanya bisa mengangguk dan menunggu kabar baik dari Harsa yang sudah keluar ruangan dengan meletakkan ponsel di telinga. Pria paruh baya itu tengah menghubungi sang pengacara yang telah memecat sekrednya secara sepihak.
Butuh dua kali Harsa men-dial nomor Pras, sampai sang pengacara itu mengangkat teleponnya. “Hmm.” Tidak ada kata sapaan yang terdengar dari ujung sana saat Pras sudah mengangkat telepon dari Harsa. Hanya sebuah gumaman angkuh yang pastinya menjengkelkan indera pendengaran. “Kamu memecat Sinar, Pras? tanpa berdiskusi terlebih dahulu denganku? dia itu sekretarisku.” Harsa tidak perlu berbicara formal dengan sang pemilik baru Metro Ibukota itu, karena ia sudah mengenal Pras sedari pria itu masih menjejakkan awal karirnya menjadi pengacara. “Aku pemilik Metro sekarang, Om. Dan, aku sudah bilang dari awal kalau akan merombak manajemen di sana dan sekred Om itu salah satunya.” “Pras.” Harsa meraup separuh wajahnya. “Nyari sekred yang bisa dibilang multitalenta dan gak pernah mengeluh seperti Sinar itu sekarang susah! Apalagi, dia sudah 3 tahun jadi sekred di Metro. Seluruh wartawan cabang sudah kenal akrab dan Sinar tahu past
Bagi Sinar, Bintang adalah sosok suami yang sempurna. Sangat bertanggung jawab, dan tidak segan membantunya dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasa-rasanya, tidak ada yang tidak bisa Bintang lakukan. Pria itu, juga sangat lihai dalam memasak, bahkan, terkadang rasa masakan yang dibuatnya justru lebih nikmat daripada milik Sinar sendiri. Beruntung! Hanya satu kata itu yang bisa diungkap Sinar, saat bisa memiliki seorang suami seperti Bintang. Tapi kalau diselami lagi, ternyata tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Dibalik itu semua, Sinar harus bisa merelakan sebagian besar waktu Bintang untuk putranya lalu pekerjaannya. Setelah semua selesai, barulah giliran Sinar mendapatkan waktu berdua dengan sang suami. Hal itu sudah berlangsung selama masa pernikahan mereka. Belum lagi, jika ibu Bintang yang memang sering sengaja mengadakan makan bersama, dan juga terang-terangan tidak mengajak Sinar di dalamnya. Sinar sudah cukup bersabar untuk m
Jelang siang, Sinar menelepon Bintang agar tidak perlu datang ke apartemannya. Wanita itu hendak pergi mengunjungi sang bunda di butiknya. Mungkin sudah waktunya bagi July mengetahui segalanya. Kalau Sinar sebenarnya sudah bercerai dengan Bintang. Sekaligus ingin meminta saran, tentang tawaran Bintang untuk menikah secara siri terlebih dahulu. “Kamu gak kerja? Jam segini sudah nongol di butik?” July merupakan seorang modiste* yang sudah merintis usahanya sejak lulus SMA. Berawal dari menerima jahitan di rumah, hingga kini memiliki dua buah ruko hasil keringatnya sendiri yang dinamai Julynisme House, atau sering disebut JH oleh para pelanggannya. “Aku dipecat,” kata Sinar merebahkan diri pada sofabed yang tersedia di ruang kerja sekaligus tempat istirahat bagi sang bunda. “Dipecat?” July membuka kacamatanya, membiarkan tergantung di dada lalu menghampiri Sinar. Duduk di samping putrinya, ditepi sofa. “Kamu bikin ulah? Ada salah apa?” “Metro gan
Setelah sepuluh menit Pras menunggu Sinar di ujung koridor yang mengarah ke toilet. Wanita itu tidak kunjung keluar, untuk menampakkan batang hidungnya.Karena Pras bukan pria penganut kata sabar, maka ia berinisiatif untuk menyusul Sinar. Melewati koridor, kemudian berbelok lalu tercengang.Dua pintu kamar toilet yang saling berdampingan itu terbuka semuanya. Pras berjalan perlahan untuk menengok ke dalam. Tidak ada tanda-tanda Sinar di sana.Shoot!Kembali dengan emosi yang bergejolak. Pras bertanya kepada salah seorang pramuniaga yang ada di sana.“Apa … ada pintu lagi di belakang ruko ini?” tanya Pras dengan mengarahkan telunjuknya ke belakang punggungnya.Sang pramuniaga tersebut ternganga takjub sejenak, menatap Pras.“Mbak!”“Eh, iya, ada, Mas. Pintu ke belakang.”“Di mana?”“Lorong ini lurus, belok kiri terus belok kanan, ada taman belakang, nah,
“Pesangonmu sudah ditransfer, Nar.”Chat dari salah satu staff keuangan di Metro, membuat Sinar buru-buru membuka aplikasi mobile bangking-nya. Melihat rincian mutasinya selama tiga hari terakhir.“Lumayan.” gumamnya namun dengan bibir yang mengerucut kemudian, memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia ambil dengan kondisi hamil seperti ini. Ikut membantu sang bunda di JH bukanlah passion Sinar sama sekali. Meskipun ia memiliki bakat dalam hal jahit-menjahit, namun Sinar enggan berurusan dengan itu semua. Sinar sama sekali tidak tertarik.Terlihat juga nama Bintang di sana, pria itu juga mentransfer sejumlah nominal yang tidak bisa dibilang sedikit sebenarnya. Sinar tidak akan menolak atau mentransfer kembali uang tersebut. Toh ada anak Bintang yang tengah ia kandung saat ini, jadi pria itu juga punya kewajiban untuk menafkahinya.Kembali Sinar berpikir tentang tawaran Bintang untuk menikah siri, dengan pria itu. Dan
Keesokan paginya, setelah melalui rutinitas subuh dengan mengeluarkan seluruh isi perut alias morning sickness seperti biasa. Raga Sinar terasa lebih ringan.Setelah mandi, ia memutuskan untuk membuat sarapan sederhana dan tidak lupa membuat dua loyang kecil cheesecake khusus untuk Bira, yang akan datang melihat apartemennya. Satu untuk di makan di tempat, dan satu lagi untuk dibawanya pulang nanti.Tepat setelah Sinar menyelesaikan sarapannya, yang hanya berbekal telur dadar dan nasi hangat ditambah kecap. Bel apartemennya berbunyi, sudah dipastikan bahwa Biralah yang datang untuk menemuinya.Senyum yang tadinya melengkung sempurna kini mendadak berubah datar. Bira tidak sendirian, ada Pras di sampingnya. Tapi, untuk apa pria itu juga datang ke tempatnya?“A—ku kira kamu sendirian, Bir.”“Laki-laki dan perempuan itu, gak baik berada di dalam satu ruang hanya berdua.” Pras mengambil alih jawaban Bira, lalu mas
Sekali lagi Pras menyapu tajam setiap sudut apartemen Sinar dengan tatapannya. Kakinya tidak melangkah ke manapun. Masih terpaku ditempat yang sama. Terakhir, maniknya jatuh dengan dingin pada Sinar kemudian Bintang."Ayo, Bir!"Pras melangkahkan kaki panjangnya melewati sepasang mantan suami istri, yang menurutnya telah melakukan drama murahan. Sinar ternyata tidak sepintar seperti gosip yang ia dengar dari keluarganya, maupun beberapa karyawan kalangan Metro. Buktinya, ucapan Bintang yang terlihat omong kosong dan tidak masuk akal, masih bisa dipercaya oleh wanita itu.Bagi Pras, Sinar tidak lebih dari wanita lainya. Bodoh dan mudah terpedaya dengan kebohonhan pria yang dicintainya."Bira, tunggu!” Sinar beranjak menuju dapur dan memasukkan dua buah cheesecake yang sudah ia buat khusus untuk Bira ke dalam paper bag yang sudah disiapkan sebelumnya. Setelah itu, ia memberikan tas berbahan kertas berwarna cokelat itu kepada Bira.
Seminggu berlalu sejak keributan yang terjadi di apartemen milik Sinar. Kini, ia sudah tinggal bersama sang bunda juga adik laki-lakinya. Menempati kamarnya dahulu kala, yang tidak tampak berubah sedikitpun.Hatinya lebih terasa tenang. Berharap, hari itu, adalah hari terakhir ia bertemu dengan Pras. Lagipula, nominal yang ditransfer oleh Pras ke rekeningnya atas penjualan apartemen, bisa membuat Sinar tidak kekurangan apapun. Bahkan sampai bayinya lahir kelak, uang hasil penjualan apartemen, pemberian Bintang, serta tabungannya, sangatlah mencukupi.Tapi, tidak mungkin kan, kalau dirinya hanya hidup dari itu semua. Anaknya kelak tidak akan kecil terus-terusan. Semakin lama akan semakin dewasa dan membutuhkan biaya yang lumayan besar.Mungkin, bersabar dulu sampai kehamilannya selesai, barulah Sinar akan mencari kerja. Cita-cita untuk menjadi full time mommy yang bisa mengurus anaknya 24 jam selama seminggu, menguap begitu saja, hanya karena seorang Pra