Sekali lagi Pras menyapu tajam setiap sudut apartemen Sinar dengan tatapannya. Kakinya tidak melangkah ke manapun. Masih terpaku ditempat yang sama. Terakhir, maniknya jatuh dengan dingin pada Sinar kemudian Bintang.
"Ayo, Bir!"
Pras melangkahkan kaki panjangnya melewati sepasang mantan suami istri, yang menurutnya telah melakukan drama murahan. Sinar ternyata tidak sepintar seperti gosip yang ia dengar dari keluarganya, maupun beberapa karyawan kalangan Metro. Buktinya, ucapan Bintang yang terlihat omong kosong dan tidak masuk akal, masih bisa dipercaya oleh wanita itu.
Bagi Pras, Sinar tidak lebih dari wanita lainya. Bodoh dan mudah terpedaya dengan kebohonhan pria yang dicintainya.
"Bira, tunggu!” Sinar beranjak menuju dapur dan memasukkan dua buah cheesecake yang sudah ia buat khusus untuk Bira ke dalam paper bag yang sudah disiapkan sebelumnya. Setelah itu, ia memberikan tas berbahan kertas berwarna cokelat itu kepada Bira.
<Seminggu berlalu sejak keributan yang terjadi di apartemen milik Sinar. Kini, ia sudah tinggal bersama sang bunda juga adik laki-lakinya. Menempati kamarnya dahulu kala, yang tidak tampak berubah sedikitpun.Hatinya lebih terasa tenang. Berharap, hari itu, adalah hari terakhir ia bertemu dengan Pras. Lagipula, nominal yang ditransfer oleh Pras ke rekeningnya atas penjualan apartemen, bisa membuat Sinar tidak kekurangan apapun. Bahkan sampai bayinya lahir kelak, uang hasil penjualan apartemen, pemberian Bintang, serta tabungannya, sangatlah mencukupi.Tapi, tidak mungkin kan, kalau dirinya hanya hidup dari itu semua. Anaknya kelak tidak akan kecil terus-terusan. Semakin lama akan semakin dewasa dan membutuhkan biaya yang lumayan besar.Mungkin, bersabar dulu sampai kehamilannya selesai, barulah Sinar akan mencari kerja. Cita-cita untuk menjadi full time mommy yang bisa mengurus anaknya 24 jam selama seminggu, menguap begitu saja, hanya karena seorang Pra
Sinar berdiri setelah selesai menghabiskan makanannya, tidak ingin berlama-lama dengan Bira. Ia masih merasakan sebuah ketakutan tersendiri, jika mengingat Pras yang tidak menginginkan Sinar dekat dengan keluarganya.“Mau ke mana habis ini?” Bira mensejajarkan langkahnya dengan Sinar yang tampak berjalan dengan tergesa.“A—ku, mau nyalon,” secepat kilat Sinar mencari alasan, yang sekiranya Bira tidak dapat mengikuti apa yang akan dilakukannya. Dan, pergi ke salon adalah alasan yang sepertinya tepat. “Aku mau perawatan, menenangkan pikiran dari ulah kakakmu yang sa—”Sinar tidak melanjutkan kalimatnya, sekali lagi pikirannya terus saja ingin memaki Prasetyo Sagara. Jika tidak ingat saat ini tengah hamil, Sinar akan mengumpat serta merutuk pria itu di setiap tarikan napasnya.Bira membuang napas pasrah. Ia ingin menemani Sinar sebenarnya, tapi Bira angkat tangan jika harus menemani seorang wanita di salon. Apa
Titik bening itu masih saja menetes di wajah Sinar, ketika ia sudah sampai di rumah. Supir taxi yang mengantarkannya pun hanya bisa berempati, karena tidak satupun dari ocehan sang supir yang ditanggapi oleh Sinar sepanjang perjalanan.Sinar memutuskan untuk langsung mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Menghilangkan rasa panas yang menyelimuti tubuhnya, dari ujung kepala hingga kaki. Sinar ingin mengenyahkan semua racun, yang berputar-putar di otaknya karena Daya. Wanita itu memang pantas dijuluki sebagai ular, karena begitu licik dan mulutnya begitu berbisa.Setelah selesai membersihkan diri. Sinar memutuskan untuk menelepon Bintang, ada sesuatu yang harus ditanyakannya, dan ia ingin mendengar sendiri jawaban langsung dari pria itu.Tidak perlu menunggu lama, pria yang ia hubungi segera mengangkat teleponnya di nada tunggu ke dua.“Halo sayang.” sapa Bintang di ujung sana begitu manis, seolah tidak ada hal yang terjadi dan disembuny
Berkali-kali napas kasar terhembus perlahan dari mulut Sinar, untuk menghangatkan kedua telapak tangannya yang membeku. Ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan Raja, namun saat ini, banyak perasaan gugup yang menyelimuti hatinya. Sinar juga tidak menduga kalau harus melewati sesi wawancara dengan bakal calon gubernur itu di rumahnya, bukan di perusahaannya seperti karyawan pada umumnya.Kemudian, di sinilah Sinar berada. Di ruang kerja Raja yang berada di kediamannya yang megah. Rumah bunda Sinar saja, besarnya tidak sampai satu garasi dari kediaman pria paruh baya itu. Tidak jarang Sinar bertanya-tanya, berapa banyak saldo yang ada di rekening bank orang-orang kaya seperti mereka itu.“Pagi, Nar.”Buru-buru Sinar berdiri dari tempat duduknya, saat melihat Raja memasuki ruang kerjanya. Sinar menundukkan tubuhnya dengan hormat lalu menyambut uluran tangan Raja yang telah menyapanya terlebih dahulu.“Pagi, Om, eh Pak Raja.”
“Yes, Mom.”Kelopak mata Pras kembali terpejam, setelah menggeser icon hijau pada ponselnya untuk menerima panggilan dari Aida. Menjawab pendek seperlunya atas semua pertanyaan klasik, yang biasa ditanyakan oleh seorang ibu kepada anaknya. Rasa kantuk yang masih mendera, membuatnya enggan untuk membuka mata.“Oia Pras, kamu gak usah balik Jakarta dulu. Mami besok pagi mau ke Singapur, jadi nanti kamu pulangnya sama Mami. Temani Mami shoping dulu di sana.”“Mau ke sini? sama siapa? keperluan papi gimana? sudah dapat sekretaris?” Pras membuka sedikit celah diantara kelopak matanya, menyesuaikan pendaran mentari yang memasuki kamar penthousenya.“Sudah! hari ini mulai kerja. Ada Bira juga kan yang nemenin papi. Jadi bisalah ditinggal,” terang Aida. “Lagian Sinar juga sudah kenal lama sama papimu, pengalamannya juga gak sedikit. Amanlah pokoknya.”Nyawa Pras yang belum terkumpul sempu
Sepanjang jalan menuju ke kediaman Raja untuk bekerja, Sinar hanya melamunkan semua takdir hidupnya yang tiba-tiba saja menjadi berliku. Kemarin lusa, setelah bercengkrama akrab dengan begitu mesra bersama Bintang, Sinar memutuskan menolak ajakan pria itu untuk kembali menikah siri dengannya. Meskipun Bintang masih saja berkeras mengatakan, kalau nantinya akan mengisbatkan pernikahan mereka di pengadilan agama. Namun, tetap saja banyak keraguan di hati Sinar dan ia tidak ingin melakukan sesuatu yang sedari awal sudah diragukannya.Apapun alasannya, tidak ada yang bisa mejamin masa depan. Sinar hanya mau menikah kembali, jika semua sah, baik di mata agama juga hukum. Untuk itu, mereka kembali berdebat dan tidak ada titik temu hingga Bintang pulang, dan tidak menghubunginya sama sekali hingga saat ini. Sinar tahu, kalau pria itu tengah marah dan kecewa karena tidak bisa lagi bersama, karena Sinar menolak untuk melakukan pernikahan siri.Itu baru masalah nikah siri, Sinar
“Argh!” “Fvck!” “SINAR!” Pras mundur satu langkah tanpa melepas cengkraman tangannya, yang masih saja mengalung erat pada pergelangan tangan Sinar. Satu tangan bebasnya mengusap darah yang merembes pada sisi bibir, yang baru saja digigit dengan sangat kencang oleh Sinar. Sementara itu, Sinar masih saja kesusahan untuk melepaskan tangan Pras, yang begitu erat mencengkram pergelangan tangannya. Tubuhnya sampai harus menggeliat untuk menarik tangan kanannya, namun tetap tidak bisa. Ia merasa, saat ini tangannya sudah memerah karena cengkraman itu terasa semakin kuat, setelah Sinar menggigit bibir kissable pria brengsek, yang masih sibuk mengusap darahnya. “Kamu!” Pras kembali menghempas tubuh Sinar ke dinding. “Pras! sakit!” pekik Sinar yang merasa pergelangan tangannya semakin terasa memanas. Pun punggungnya terasa kebas karena sudah terhempas kasar sebanyak dua kali. Pras tidak memedulikannya. Sinar benar-benar membuat
"Tante, mau ngomong apa sama bunda?" tanya Sinar penasaran.Aida tersenyum penuh maksud. "Tante ..." menggantungnya sejenak untuk menatap putra sulungnya yang juga menatap Aida dengan tajam. Bukannya tidak sopan, tapi, tatapan Pras memang seperti itu ke semua orang, tidak bisa diubah.“Pras, kamu tahu kan, kalau nguping pembicaraan orang lain itu gak baik?” lanjut Aida menaikkan kedua alinya.“Tahu,” jawab Pras pendek. Tapi tidak mengerti kemana arah pembicaraan sang mami.“Terus, ngapain kamu masih di sini?”Apalagi ini? Kenapa harus dirinya yang diusir keluar, seolah penguping yang hendak membocorkan rahasia penting ke negara tetangga. Bukankah, Pras yang lebih dahulu masuk ke dalam ruang kerja dan sang mami itu malah menyusulnya di belakang.“Ini ruang kerja, Mi. Bukan ruang untuk curhat.”Aida tidak menjawab argumen Pras. Tapi lirikan tajam wanita paruh baya itu, sudah menyiratkan se