Bab143
"Kamu tahu, pengalaman mengajarkan aku. Lalai adalah hal yang bisa membuat celaka."
"Maksudmu?"
Wiliam menghela napas.
"Dulu aku terlalu santai dan tidak terlalu waspada. Sehingga, banyak yang menjadi korban, termasuk aku sendiri."
Aluna Welas terdiam.
"Terkadang. Musuh yang paling kejam dan mengerikan itu, bukanlah orang yang membenci kita. Melainkan, bisa jadi, orang yang paling dekat dengan kita. Maka dari itu, waspada itu perlu."
"Kamu tidak lagi menyindirku kan?" tanya Aluna, membuat Wiliam tersenyum.
"Itu bukan sindiran. Hanya ungkapan."
"Hhhmmm."
Mobil memasuki halaman istana Wiliam yang semakin megah. Sebab setiap harinya, Amira selalu ingin istana megah mereka diberikan perawatan dengan baik.
Aluna Welas menggandeng lengan Wiliam, memasuki rumah. Baru selangkah mereka memasuki pintu utama, sudah terdengar teriakkan suara Amira dari dapur.
"Dasar anak haram. Jangan pernah kamu bermimpi
Bab144"Ya, kenapa?" tantang Aluna Welas. "Mau menampar lagi?" lanjutnya."Aluna Welas hentikan sikap burukmu ini. Hal ini tidak baik di saksikan anak-anak," tegur Wiliam, yang masih berusaha tenang."Sudah terlanjur basah. Biarkan saja, biar anak-anakku tahu. Bahwa wanita tua bermulut sampah ini, pantas untuk dibenci. Sekalipun, dia kau panggil Ibu.""Apa? Kurang ajar sekali wanita ini. Berani sekali wanita murahan ini menghinaku," teriak Amira dan berusaha menampar Aluna Welas kembali.Namun dengan gerakkan cepat, Wiliam menahan tangan Ibunya."Sudah cukup, Bu. Seharusnya Ibu minta maaf pada anak-anak. Bukannya terus memancing masalah menjadi besar," terang Wiliam.Amira menatap kecewa pada Wiliam."Ibu tidak salah. Untuk apa minta maaf? Apakah kamu mau Ibu merendahkan diri di depan Aluna? Jangan mimpi," ucap Amira dengan kesal, sembari menarik kasar tangannya."Bu. Seharusnya Ibu malu berucap begini. Aku dengan jelas
Bab145"Aluna," panggil Wiliam. Namun Aluna tetap melangkah dengan cepat, sembari memegangi tangan kedua anaknya.Saat langkah Aluna semakin lebar. Dia berhenti, ketika sosok yang sangat dia kenali, berdiri di depan pintu utama."Tante Merlin," gumam Aluna.Merlin bersikap, seolah tidak mengenali Aluna. Dia pun berbincang hangat dengan Amira yang menyambut kedatangannya."Merlin, mana anakmu?" tanya Amira dengan ceria."Tuh, yang lagi jalan menuju kesini," tunjuk Merlin ke arah luar."Wah, cantik sekali," ucap Amira dengan sedikit keras."Hallo Tante, aku Angela, anak semata wayang Ibu," kata Angela memperkenalkan diri.Aluna Welas semakin terkejut, melihat sosok wanita itu.Wiliam pun berjalan pelan, dan berdiri di belakang Aluna Welas."Bawa anak-anak ke dalam. Aku ada urusan penting hari ini, dan jangan biarkan mereka melihat semua yang terjadi," bisik Wiliam pelan, tepat di samping telinga A
Bab146 "Lepaskan aku!" Suara teriakkan wanita itu, membuat mereka yang berada di dalam ruangan, menoleh ke arahnya. "Jonas," seru Amira. Wanita paru baya itu sangat terkejut, melihat anaknya babak belur. Amira mendekati Jonas. "Apa yang terjadi?" tanya Amira, menatap cemas pada Jonas yang wajahnya di penuhi lebam. Seseorang berperawakan besar, menggunakan pakaian kulit serba hitam, mendekati Wiliam. "Misi telah selesai, Bos." Lelaki itu melapor dan memberikan benda berukuran kecil berwarna hitam. "Bukti dari rencana jahat Juana Zambora dan Jonas pada perusahaan. Dan rekaman penyiksaan mendiang Esmeralda." "Ada rekaman mendiang istri saya?" "Ya Bos! Penyiksaan disertai pemerkosaan sadis, semua terekam jelas di sana. Maafkan saya, bukan saya yang melihat semua adegan dalam video, ada rekan perempuan yang bertugas khusus untuk pengecekkannya, agar tidak keliru." "Baiklah." Wiliam menatap ke arah Juana Zambora, yang juga sa
Bab147 "Karena apa?" tanya Angela. "Karena aku memberi kesempatan, untuk kalian melakukan apapun, kepada wanita ini." Angela dan Merlin mengernyit. "Apa kau berniat menghasut kami? Untuk memukulinya?" tuduh Angela. Wiliam terkekeh. "Kau harus tahu ini," tunjuk Wiliam ke layar lebar, yang tersedia di ruangannya. Video mesum Angela pun berputar liar, membuat Merlin dan Angela memekik. "Kalian tahu, ini siapa yang merekamnya?" "Siapa?" tanya Angela. "Tolong matikan," pintanya mengiba. "Nikmatilah dulu, jangan buru-buru." Wiliam kembali terkekeh, membuat Angela terisak, menahan malu laksana duri yang menelanjangi tubuhnya. "Juana merekam semuanya. Demi apa? Mari kita dengarkan rekaman ini." Wiliam memutar rekaman suara. "Bagus. Aku yakin, jika kita sudah memperalat Merlin dan Angela, maka langkah balas dendam akan mulus tanpa hambatan. Dan setelah itu, gunakan video ini, untuk mengancam mereka, agar ma
Bab1 Sebuah gubuk tua, menjadi saksi bisu, kebencian dan kemarahan Amelia. Wanita ini sangat membenci menantunya sendiri, yaitu Jeremy. Bagi Amelia, lelaki ini bukan hanya sekedar miskin. Tapi juga pembawa sial bagi keluarganya. "Jeremy, siapkan air panas! Aku ingin mandi." Sudah menjadi kebiasaan wanita itu, berteriak di pagi hari, jika Jeremy lambat menyiapkannya air hangat untuknya mandi. Jeremy yang sedari tadi sibuk, membawa air dari sungai pun merasa sangat lelah. "Suamiku, kamu nampaknya begitu lelah, beristirahatlah dahulu," ucap Esmeralda, istri Jeremy, wanita yang begitu sangat mencintainya. "Tidak apa-apa, aku sudah biasa!" sahut Jeremy. Hanya dengan menatap wajah istrinya saja, Jeremy mampu melupakan rasa sakit hatinya. "Jeremy, cepetan! Jangan lelet seperti siput," teriak Amelia, yang tiba-tiba datang mendekat. Jeremy bergegas meletakkan wadah air yang di bawanya dari sungai. "Ibu, tol
Bab2 Beberapa lelaki berpakain hitam itu, membawa kayu, untuk menghajar Jeremy. Jeremy Mose berusaha terus menghindar, meskipun sebenarnya, dia bisa saja melawannya. "Hentikan!" teriak lelaki berperut buncit, dengan kacamata hitam, juga topi dia kenakan. Penampilannya begitu nyentrik, layaknya seorang kepala preman. "Don Lee," lirih Jeremy. Lelaki berpakaian hitam, yang berjumlah lima orang itu pun berhenti. Ketika melihat dibelakang lelaki tua itu, ada dua orang, yang memegang senjata api di tangannya, dan mengarah ke arah mereka berlima. "Siapa kamu?" teriak lelaki yang tadi memerintahkan, untuk menghajar Jeremy Mose. "Don Lee, pemimpin tertinggi keluarga Mose yang terkenal kejam, dari kota Yuzong." Lelaki yang merupakan pemimpin para lelaki berpakain hitam tadi itu pun terkejut. Siapa yang tidak mengenal Don Lee? Lelaki kejam, tangan kanan Jhon Mose. Apapun bisa dia lakukan,
Bab3 Esmeralda berlari meninggalkan gedung istana Tones. Dia menangis, sakit hati dan dipermalukan di depan orang banyak hari ini, tidak akan dia lupakan, kehancuran hatinya malam ini semakin dalam. Jeremy yang menunggunya, tidak jauh dari gedung Tones pun terheran. Melihat suaminya, Esmeralda langsung berlari cepat dan memeluk suaminya dengan erat. "Apa yang salah denganmu?" tanya Jeremy kebingungan. Esmeralda terisak, dia tidak tahu bagaimana menjelaskan rasa sakitnya saat ini. "Sayang, tenanglah, oke." Jeremy dengan lembut mengelus punggung istrinya yang gemetar hebat. Jeremy yakin, Esmeralda pasti mengalami penghinaan lagi. Perasaan Jeremy menjadi bimbang, haruskah ia menerima pemberian kakeknya dan menjadi penguasa? Atau tetap seperti ini? Menjadi pecundang dimata keluarga istrinya. Namun, kekuasaan tidaklah sederhana. Banyak orang-orang serakah, berperan di dalamnya. Mengingat kematian
Bab4 "Tuan, Tones enterprise dalam keadaan krisis. Mereka merengek memohon bantuan." "Tolak!" sahut Jeremy, sambil menatap layar monitornya. Debara Hwang mengangguk patuh._____Di perusahaan Tones. Mike Tones, memanggil Esmeralda, masuk ke dalam ruangannya. "Aku tidak melakukan itu!" sahut Esmeralda, ketika Mike menuduhnya, melakukan konspirasi jahat. "Jangan berbohong Esmeralda. Kalau kakek sudah tidak sabar lagi, maka Kakek tidak segan-segan, membuat kalian jadi gelandangan." Air mata meluncur bebas, di wajah Esmeralda, mengapa kakeknya nampak selalu begitu membenci dia dan keluarganya. "Kamu harus membantu perusahaan!" tekan Mike Tones. Esmeralda masih terdiam. "Datang ke perusahaan Giant Company Group. Dan, dapatkan kontrak kerjasama dengan mereka. Agar, perusahaan kita, keluar dari masa krisis ini." "Kenapa harus aku? Bukankah ada Khan, Albert. Seorang cleaning service yang hina i