Gue dan teman-teman geng gue sedang jalan menuju parkiran, mau ke mobil Amel.
Biasa, nebeng. Kita berempat yang bawa mobil cuma Amel. Jadi, ya nebeng semua ke mobil dia. Rencananya, gue dan teman-teman mau ke mall pulang kuliah ini.
Saat lagi asik jalan di lorong kampus menuju parkiran sambil mengobrol bercanda, salah satu temen gue—Clarin—dia nepuk bahu gue nyuruh untuk berhenti.
"Tunggu," pintanya.
Gue berhenti melangkah lalu menoleh ke kiri, arah Clarin "ada apa?" Begitu kesan tolehan pala gue.
"Itu bukannya Kakak lu, Sa? Ka Alvin, cowok ganteng yang kata lu dinginnya melebihi es balok," kata Clarin sambil menatap dan nunjuk ke arah parkiran. Temen gue yang lainnya, yang jalan di sebelah kanan badan gue —Amel dan Maya —ikut menghentikan langkahnya mungkin karena mendengar perkataan Clarin.
"Mana?!" seru mereka berdua menoleh ke arah Clarin kemudian tatapan mereka langsung ngikutin arah tunjuk Clarin.
Gue juga langsung ngikutin arah tunjuk Clarin dong. Benar adanya, itu Mas Alvin.
Jelas gue kaget, dia mau apa coba di kampus gue? Ini pertama kalinya gue lihat dia ada di kampus gue.
Gak mungkin 'kan dia seorang dokter merangkak mencalonkan diri jadi dosen? Ya, kali punya dosen es batu, otak gue bisa- bisa membeku tanpa tau caranya mencair.
Mas Alvin gayanya sok ganteng banget sumpah. Berdiri nyender samping mobil sportnya yang berwarna merah sambil melipat kedua tangannya di atas dada, kaca mata hitam yang bertengger cakep menutupi kedua matanya, dan baju formalnya; kemeja warna biru yang dipadukan celana bahan panjang, dan sepatu pantofel warna hitamnya.
Itu, tuh buat gue dongkol, karena dia terlihat keren dan gue nggak mau mengakui fakta itu. Ah, gue benci itu!
Gue milih mengalihkan pandangan menatap ke depan, menatap halaman kampus yang lebih menenangkan hati gue.
"Ya ampun ganteng banget," puji Amel yang suara pujiannya tuh bikin hati gue mau meledak. Bukan cemburu, serius bukan! Hanya saja gue tidak mau mengakui fakta itu. Gue bersiap ingin natap sinis ke arah Amel yang ternyata saat gue noleh, Amel sedang meluk lengan tangan Maya.
"Sa, gue rela jadi istri Kakak lu," timpal Maya. "Jodohin gue sama dia, Sa," lanjutnya lagi tanpa menoleh menatap gue. Terus aja natap cowok nyebelin itu.
Gue mendengus kesal lalu kembali menatap ke depan sambil melipatkan kedua tangan di atas dada dan mulut yang mencembik.
"Dia melambaikan tangan, Sa. Kayaknya nyuruh kita ke sana deh," kata Maya girang.
"Iya, betul. Oh My God, hati gue, jantung gue, badan gue, ahhh," seloroh Amel lebih kegirangan dari Maya.
Gue menoleh menghadap ke parkiran memastikan benar atau nggak kalau Mas Alvin melambaikan tangan, mengkode untuk ke sana. Dan ternyata salah, saat gue baru menoleh, mata gue harus melihat kalau Mas Alvin sedang jalan cepat menuju ke arah gue dengan kaca matanya yang sudah dibuka. Kayaknya sih ke arah gue, atau ....
Karena nggak mau kepedean dia mau nyamperin, gue noleh kanan, kiri, dan belakang. Memastikan, takutnya dia mau menghampiri orang yang kebetulan ada di sekitar gue.
Saat gue noleh kanan, kiri, dan belakang. Nggak ada tuh orang yang sedang berhenti, atau yang sedang menantikan kedatangan Mas Alvin. Orang yang berseliweran pada sibuk masing-masing, ada yang ngobrol bareng temen jalannya, ada yang jalan sambil sibuk main ponselnya, ada juga yang jalannya lurus sambil mengemban buku-buku di tangannya.
Ada juga sih, gerombolan cewek-cewek centil yang sedang berdiri pas di depan pintu kelas mereka sambil bisik-bisik dan terlihat jelas kalau mereka tuh kegirangan lihat cowok ganteng.
Sama lah kayak geng gue. Kalau lihat cowok segeran dikit, langsung jejeritan mengagumi kegantengannya. Dah, gitu kadang juga gak tahu malu, merapikan tampilan, tersenyum manis, dan melambai kegenitan. Lihat mereka berasa gue sedang melihat fotocopy-an gue dan temen geng gue.
Baru sadar gue, tingkah laku kayak gitu tuh kalau diperhatiin lebih dalam lagi, kok merasa jijik sendiri. Nggak kebayang deh, kok bisa gue dan geng gue punya sifat tingkah laku menjijikan seperti itu.
"Jam kuliahnya sudah selesai?" Terdengar suara tanya Mas Alvin dekat sekali.
Eh, gue nyembul kaget. Gue yang pas sedang noleh ke kiri langsung menghadap ke depan yang ternyata Mas Alvin sudah ada di hadapan gue.
Alih-alih menjawab langsung pertanyaan dia, gue malah nyengir kuda. Apa-apaan coba, kenapa gue bertampang bodoh seperti ini?
Detik berikutnya gue tersadar atas letak tangan gue yang masih melipat. Perlahan tangan gue turunin.
"Iya, Kak. Udah," jawab Amel kegirangan. Sementara Clarin dan Maya menganggukan kepala. Sama, mereka berdua juga kegirangan. Mata mereka tak berkedip menatap Mas Alvin.
"Pas, dong? Sekarang Salsa dan teman-teman Salsa mau pulang?" tanya dia lagi dengan raut wajah menenangkan.
"Iya. Nih, baru saja kita mau pulang," jawab gue dengan sopan tanpa menunjukan sifat angkuh yang beberapa menit lalu hinggap di tubuh gue. "Kalau gitu, Salsa dan teman-teman duluan, Mas," pamit gue sambil tersenyum.
"Mari." Gue ngangguk kecil dengan mendorong Clarin dan menarik Amel yang masih setia memeluk lengan Maya.
"Eh, tunggu!" cegah Mas Alvin sambil mencekal lengan gue.
Gue berhenti, nggak jadi kabur. "Ada apa, Mas?"
"Kamu pulang sama Mas. Mas ke sini sengaja mau jemput kamu."
Mendengar perkataan Mas Alvin, buat mata gue membelalak, sangking kagetnya.
Apa?! Dia sengaja ke kampus karena mau jemput gue? Yang bener aja!
Gue kira, dia datang ke kampus ini, karena mau ketemu sama seseorang. Makanya gue buru-buru pamit bertujuan menghindar dan malas lama-lama ngobrol sama dia.
Bukan gue saja yang kaget. Gue nglirik ketiga teman gue, mereka juga sama berekspresi terkejut kaget. Mungkin nggak percaya. Karena yang mereka tahu dari cerita gue, hubungan gue dan Mas Alvin nggak baik. Mirip minyak sama air.
Mereka juga belum tahu kalau gue dan Mas Alvin dijodohin, ya kerena gue nggak cerita ke mereka. Mereka hanya tahu kalau gue dan Mas Alvin hanya sekadar anak dari bokap yang bersahabat dekat dengan ayahnya Mas Alvin.
"Hah, Mas ke sini mau jemput Salsa?" tanya gue memastikan dan sedikit nggak percaya. Gue emang nggak suka sama Mas Alvin. Benci bahkan, tapi selama ini gue nggak pernah menampakan ketidak sukaan gue di hadapan dia. Selalu berwajah dan bersifat baik. Bertujuan supaya hubungan kedekatan orang tua gue dan orang tua dia tidak renggang.
"Iya, untuk apa Mas ke sini kalau bukan untuk jemput Salsa," jawabnya sambil tersenyum.
Di sini perlu gue jelasin lagi, di awal gue udah jelasin kalau Mas Alvin, tuh orangnya dingin. Tapi anehnya, dia tuh dinginnya cuma sama gue dan Mas David. Selain itu, dia ramah, baik, dan terkesan hangat.
Lihat saja, dia jawab pertanyaan gue dengan diiringi senyuman. Yang senyuman itu, mungkin bagi teman-teman gue bisa meluluh lantahkan tulang sendi-sendi yang ada di tubuh mereka.
Hal itu lah yang buat teman-teman gue nggak percaya kalau Mas Alvin orangnya dingin.
Percayalah sama gue, Mas Alvin emang bener orangnya dingin kalau cuma sedang sama gue atau saat gue sedang berduan saja sama Mas David. Kalau ada pihak lain selain gue dan Mas David, dia berubah seratus delapan puluh derajat, jadi manusia hangat dan baik.
Nggak tahu kenapa dia bisa kayak gitu sama gue, kayak ada masalah besar sama gue. Tapi entah masalahnya apa? Perasaan dari dulu, pas gue masih kecil selalu baik deh sama dia. Nggak pernah, tuh, berantem besar sama dia.
"Kenapa Mas mau jemput Salsa gak bilang dulu? Ini pasti perintah Ibu, ya, Mas? Maafkan Ibu Salsa, ya, Mas. Sudah nyuruh Mas untuk jemput Salsa. Ngerepotin Mas, aja. Padahal, Salsa biasa pulang nebeng ke temen, kok. Ibu ada-ada aja," kata gue yang nebak ini pasti ibu yang nyuruh Mas Alvin untuk ngejemput gue. "Nggak, Tante gak nyuruh Mas untuk njemput kamu. Ini inisiatif Mas sendiri ingin ngejemput calon istri." Oh, tidak! Dia bilang apa? Calon istri? Mata gue memelotot galak ke dia. Masa bodo tentang hal yang harus bertindak baik ke dia. Eh, dianya malah tersenyum. Apa- apaan coba? Sumpah demi Tuhan pencipta langit dan bumi, gue berharap tadi gue salah dengar dan temen- temen gue gak dengar ucapan itu.
Lagian juga gue masih muda, masih bisa cari pasangan yang pas buat gue. Yang se-frekuensi, yang sayang, dan cinta ke gue. Gue bukan manusia yang sudah berusia cukup tapi belum nikah dan diharuskan bersegera nikah. Jadi, gak harus 'kan gue nerima perjodohan ini? "Maaf, Tan. Tapi Salsa ...." Gue jawab belum selesai tapi sudah dipotong sama perkataan Mas Alvin. "Gak usah dijawab sekarang," potong Mas Alvin yang dengan spontannya gue langsung menghadap ke dia. "Jalani saja dulu. Maksud Mas, kita, Salsa dan Mas lebih dekat dulu. Bila sama-sama cocok, yaudah lanjutkan perjodohan ini," tambah Mas Alvin dan gue setuju dengan pendapat dia. &
Ngerasa ada yang beda hari ini, deh. Biasanya, nyokap kalau bangunin gue tuh dengan suara keras dan menggoyangkan tubuh gue lalu buka gorden yang bikin mata gue silau. Mba pun begitu. Kalau misal nyokap sibuk atau sudah berangkat, beliau bakal nyuruh mba bangunin gue. Mba kalau bangunin gue, ya emang gak bersuara keras tapi dengan penuturan kata lembut, "Kak bangun, Kak udah siang. Kata Ibu ...." Mba akan jelaskan apa yang nyokap perintah. Misal, " Kata Ibu, Kakak mau kuliah. Nanti telat. Ayo bangun." Atau apa lah. Setelah itu mba buka gorden lalu berucap lagi bangunin gue. Di sini emang gitu, ya. Maksud gue, emang mbak kalau manggil gue itu "kakak" bukan "non". Karena nyokap yang nyuruh. Lebih enak kata nyokap kalau manggil gue kakak dari pada non. &nbs
Mata kami saling bersitatap sebentar, sebelum akhirnya Mas Alvin memutuskan tatapan itu karena jalan menuju meja makan. Saat jalan di hadapan gue, Mas Alvin gak nyapa apa gitu. Basa-basi gitu, paling nggak senyum tipis, bukan ngelewatin begitu saja. Padahal gue aja rela senyum merekah, walau hati kesal padanya. Dah gitu, saat dia jalan gak ngadep ke wajah gue. Jalan lurus gitu dan gue yakin, Mas Alvin gak liat kalau gue senyum padanya. Sia-sia buang tenaga dikit untuk senyum yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Gue menghembuskan napas dengan berlalunya Mas Alvin, lalu teriak manggil mbak. "Iya, Kak, bentar," sahut mbak yang terdengarnya suara itu dari samping.
Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia! Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya. "Sialan!" umpat gue marah dalam hati. Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong. Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya