Ngerasa ada yang beda hari ini, deh. Biasanya, nyokap kalau bangunin gue tuh dengan suara keras dan menggoyangkan tubuh gue lalu buka gorden yang bikin mata gue silau.
Mba pun begitu. Kalau misal nyokap sibuk atau sudah berangkat, beliau bakal nyuruh mba bangunin gue. Mba kalau bangunin gue, ya emang gak bersuara keras tapi dengan penuturan kata lembut, "Kak bangun, Kak udah siang. Kata Ibu ...." Mba akan jelaskan apa yang nyokap perintah.
Misal, " Kata Ibu, Kakak mau kuliah. Nanti telat. Ayo bangun." Atau apa lah. Setelah itu mba buka gorden lalu berucap lagi bangunin gue.
Di sini emang gitu, ya. Maksud gue, emang mbak kalau manggil gue itu "kakak" bukan "non". Karena nyokap yang nyuruh. Lebih enak kata nyokap kalau manggil gue kakak dari pada non.
Namun, kali ini yang bangunin gue beda. Tanpa bersuara hanya ada goyangan lembut di lengan gue dan gue ngerasa nyokap atau mba, duduk di tepi ranjang.
"Hmmm," gumam gue tanpa berniat bangun, malah narik selimut lebih ke atas.
"Bangun, sudah siang. Bukankah kamu mau ke kampus."
"Jam berapa sekarang?" tanya gue tanpa ngebuka mata. Gue masih ngantuk berat.
"Jam 8 lebih 20."
"Ah, masih jam segitu. Aku berangkat jam 10, kelas mulai jam 11. Nanti bangunin aku lagi jam 9 lebih aja, ok?" sahut gue bergumam lalu lebih memilih meringkuk. Mau lanjut tidur.
"Bangun sekarang atau tidak usah bangun sama sekali."
Eh, tunggu. Kok suaranya kaya berat gitu ya? Kaya bukan suara cewe. Gue membalikan badan jadi terlentang lalu memicingkan mata sedikit.
Demi apa? Gue terlonjak kaget. Benar, bukan nyokap atau mba tapi Mas Alvin.
Walau Mas Alvin tidak menghadap ke arah gue, dia menghadap ke samping. Gue yakin itu Mas Alvin, garis wajah bagian samping dan postur tubuhnya meyakinkan kalau itu memang Mas Alvin.
Sumpah, ini beneran? Gue lagi gak mimpi 'kan?
Gue langsung bangkit lalu duduk di atas ranjang sambil mengamati kalau itu beneran Mas Alvin. Rasa kantuk seketika hilang.
Apa gak cukup kemarin waktu gue dihabisin sama dia? Kenapa sekarang segala muncul dalam mimpi gue?
Detik berikutnya gue langsung nepuk-nepuk keras pipi gue. Meyakinkan kalau ini hanya mimpi, tapi pipi gue terasa sakit.
Jadi, beneran ini bukan mimpi?
Mas Alvin bangkit lalu ngebuka gorden membuat sinar mentari masuk lewat pantulan kaca.
"Lihat, sudah siang. Anak gadis jam segini baru bangun!"
"Ibu mana? Kenapa Mas ada di sini?" Alih-alih menggubris perkataan Mas Alvin, gue malah bertanya.
"Tante sudah berangkat sendari pagi, makanya Mas yang bangunin kamu."
Aish, sejak kapan Mas Alvin datang? Kenapa nyokap gak nyuruh mba aja yang bangunin gue? Kenapa harus Mas Alvin segala? Ahh, ngeselin!
Gue menenggelamkan wajah ke dalam batal yang baru gue ambil di atas pangkuan.
"Buruan mandi. Mas tunggu di bawah!" Nada ucapannya terdengar tidak enak. Gak ada lembut-lembutnya
Gue mengangkat kepala lalu mengagguk. Walau sebenarnya enggan.
Setelah itu Mas Alvin langsung jalan ke luar dari kamar gue. Menghilangnya tubuh Mas Alvin, gue yang merasa frustasi mengacak-ngacak rambut sendiri, menjejak-jejakan kaki dengan keras di ranjang.
"Kenapa dengan Mas Alvin? Kenapa dia seperti itu? Jalani saja dulu, tapi gak harus sampai seperti ini! Apa harus dia pagi-pagi sudah datang gangguin gue?"
Saat gue lagi bergumam seperti itu dengan gerakan tubuh frustasi, tiba-tiba gue denger suaranya Mas Alvin, "Siapa yang nyuruh kamu bertingkah seperti itu? Apa kamu tidak dengar Mas nyuruh kamu apa?"
Otomatis gue berhenti bertingkah lalu menoleh ke asal suara, Mas Alvin sedang berdiri di ambang pintu dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.
Gue cuma nyengir memamerkan gigi rapi gue dengan raut wajah cengengesan, " Hee, iya, ini Salsa baru mau mandi." Gue gerak-gerakin tangan kanan saat berucap dan selesai berucap langsung menurunkan kaki ke lantai dengan perlahan terus langsung berdiri.
"Mas keluar aja, nunggu di bawah. Nanti kalau Salsa sudah selesai, pasti Salsa ke bawah," pinta gue tersenyum sambil jalan menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar. Gue sengaja nyuruh Mas Alvin karena takut liat wajah dinginnya yang seakan membekukan tubuh aktif gue.
"Mas akan turun kalau kamu sudah masuk kamar mandi!"
Astaga, mimpi apa gue semalam?
"Ahh, begitu? Baik." Gue langsung ngibrit masuk kamar mandi dengan sangat terpaksa.
Hilang semua rasa semangat untuk hari ini. Tergantikan dengan rasa malas untuk beraktivitas
Sengaja gue lama-lamain, dari mandi, milih baju mau pakai yang mana plus ganti bajunya pun lama. Dan pake skin care rutin, bermake up, semuanya sengaja gue lama-lamain.
Untuk apa coba? Berharap saat gue turun Mas Alvin sudah tidak ada. Dia 'kan dokter. Harusnya 'kan waktunya padat untuk bekerja di rumah sakit, jadi gue berharap saat turun Mas Alvin sudah pergi ke kerjaannya atau ke mana kek. Yang penting sudah tidak ada di rumah ini.
Kayaknya harapan gue terkabul deh, saat gue sedang turun di tangga, gue mengedarkan pandangan mencari keberadaan Mas Alvin dan gue gak lihat adanya Mas Alvin.
Bersinar kembali semangat gue, senyuman cerah pun gue lukisan 'kan untuk membingkai wajah gue di pagi ini.
Walau gue gak denger suara gerbang dibuka, gue yakin, mungkin Mas Alvin pergi saat gue sedang di kamar mandi. Jadi, gue gak denger suara gerbang.
Sambil turun menyelesaikan anak tangga yang masih tersisa beberapa biji lagi sampai lantai bawah, gue nyanyi dan joget-joget bahagia.
Akhirnya bisa terbebas dari manusia es, yang entah dinamakan berperan sebagai apa akhir-akhir ini? Kaka, ajudan, atau pengganggu?
Tapi tiba-tiba ....
"Mas Alvin," gumam gue saat baru sampe menepakkan kaki di lantai bawah.
Seketika senyum dan kebahagiaan gue lenyap kembali, permisah. Saat gue lihat Mas Alvin baru ke luar dari kamar tamu dengan pakaian formalnya.
"Kenapa Mas Alvin ke luar dari kamar itu?" tanya gue dalam hati.
Sedetik kemudian otak gue mengingat pakaian apa yang Mas Alvin pakai saat bangunin gue.
Gue masih sangat ingat sekali pakain apa yang dipakainya. Ingatan gue masih tajam. Mas Alvin saat tadi hanya pakai celana pendek warna putih dan kaos oblong warna hijau.
Lalu sekarang Mas Alvin pakai baju formal?
Detik itu juga otak gue dipenuhi banyak pertanyaan. Apakah Mas Alvin semalam tidur di rumah ini? Benarkah semalam Mas Alvin tidak pulang?
Nggak! Nggak mungkin Mas Alvin tidur di rumah ini tanpa ibunya, Tante Wanda. Seumur-umur, selama ini, hal itu belum pernah terjadi.
Baik Mas Alvin maupun Mas David bila tidur di sini selalu bersama Tante Wanda. Itu pun bila ada acara. Selain itu belum pernah terjadi hal itu.
Nggak mungkin 'kan Mas Alvin tidur di sini? Ya, nggak mungkin!
Mata kami saling bersitatap sebentar, sebelum akhirnya Mas Alvin memutuskan tatapan itu karena jalan menuju meja makan. Saat jalan di hadapan gue, Mas Alvin gak nyapa apa gitu. Basa-basi gitu, paling nggak senyum tipis, bukan ngelewatin begitu saja. Padahal gue aja rela senyum merekah, walau hati kesal padanya. Dah gitu, saat dia jalan gak ngadep ke wajah gue. Jalan lurus gitu dan gue yakin, Mas Alvin gak liat kalau gue senyum padanya. Sia-sia buang tenaga dikit untuk senyum yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Gue menghembuskan napas dengan berlalunya Mas Alvin, lalu teriak manggil mbak. "Iya, Kak, bentar," sahut mbak yang terdengarnya suara itu dari samping.
Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia! Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya. "Sialan!" umpat gue marah dalam hati. Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong. Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya
Malam ini nyokap kelihatan seneng banget. Raut wajahnya terpancar kebahagiaan, buat hati gue menghangat. Sudah lama banget gak makan bersama bertiga yang di mana salah satunya pria. Dulu, waktu bokap masih ada, makan bersama seperti sekarang, sering dilakukan bahkan hampir tiap hari. Setelah bokap gak ada, makan bersama di meja makan hanya gue dan nyokap. Berduan saja. Makan malam ini spesial menurut gue. Liat Mas Alvin, gue kaya liat bokap. Memori kebersamaan bokap jadi berputar di otak gue. Jadi kangen bokap. Tuh kan gue sedih. "Lho, kok, Salsa nangis?" Mas Alvin bertanya sambil natap gue. "Makanannya pedas, ya, tapi menurut Mas nggak kok. Menurut Tante pedas gak?" "Nggak, bukan makanannya, tapi Mas yang bikin Salsa nangis." Yang awalnya hanya air mata yang keluar, kini diiringi dengan isakan kenceng. "Mas? Maaf, memang apa yang Mas lakukan sampai buat kamu nangis?" "Mas bik
Sebagai anak satu-satunya, nyokap tidak mau acara lamaran gue hanya biasa aja. Sesuai permintaan gue yang hanya minta di rumah lalu makan-makan aja. Tapi nyokap dan Tante Wanda malah nyewa ballroom untuk acara lamaran gue dan Mas Alvin. Sebenarnya gue sedikit ragu dengan lamaran ini. Gue masih bingung dengan perasaan gue sendiri. Gue belum yakin kalau gue sudah ada rasa suka sama Mas Alvin, tapi rasanya kalau gue di dekat Mas Alvin, merasa nyaman apalagi setelah kejadian gue ketauan di club, perilaku Mas Alvin sama gue jadi gak dingin lagi. Buat gue gak takut berada di dekat dia. Gue milih maju, mengiakan adanya lamaran ini yang terkesan mendadak, persiapan hanya beberapa hari saja. Itu karena nyokap. Jujur gue gak tega mematahkan kebahagiaan nyokap yang begitu bahagia mengetahui Mas Alvin mau lamar gue. Nyokap aja sampe ngasih gue tas yang sudah dia janjiin beberapa minggu lalu. Yang tiap kali gue mau berangkat kampus terus tanya ke m
"Cantik banget kamu, Sa." Clarin berkomentar. "Kayak bukan Salsa deh, ya ampun pangling sekali kakak gue." Amel ikut berkomentar. "Duh, ini calon istri Bang Vin." Sekarang Maya yang berkomentar. Baru saja gue selesai dimake up oleh MUA yang dipesan nyokap. Gue sangat berterima kasih dengan orang yang rias, mata bengkak gue jejak habis menangis bisa tertutupi dengan make up. "Sudah siap, sayang?" Nyokap masuk ke kamar menghampiri. Gue ngangguk. "Anak Ibu cantik banget." Nyokap mengusap lengan baru kemudian beliau ngajak untuk ke tempat acara. Sedari tadi gue udah deg-degan banget, sumpah. Padahal waktu ketemu Mas Alvin mengantar ke makam, gue biasa aja. Tapi sekarang jantung gue memompa tidak semestinya, bahkan lebih dari saat gue di make up. Susunan acara sudah mulai hingga akan di waktu intinya, yaitu menemukan gue dengan Mas Alvin. Saat sang MC wanita mengintro agar gue masuk ke dalam r