Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia!
Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya.
"Sialan!" umpat gue marah dalam hati.
Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong.
Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
"Gue selama ini bertingkah baik ke lu, bukan karena gue takut sama elu. Gue hanya menghargai persahabatan orang tua gue dan orang tua lu yang terjalin baik, sialan. Asal lu tau, itu!" rasanya gue pengin nyerocos di hadapan dia kek gitu. Cuma gue malas dan lebih baik ngedumel di dalam hati.
Tiba-tiba tangan gue dicekal dari belakang sebelum gue sampai halaman rumah. Gue kibaskan tangan dia untuk melepas, terus gue lanjut jalan.
Lagi, dia cekal tangan gue. "Berhenti!" pintanya lalu dengan tenaga yang ia miliki balikin badan gue untuk menghadap ke dia.
"Lepasin!" nyolot gue dengan mata sengaja menghunus tajam ke matanya.
Dia tidak menggubris ucapan gue malah narik gue dibawa ke meja makan terus disuruh duduk. "Sarapan dulu," pintanya dengan suara lembut.
Gue gak nyautin. Rasanya males mau ngucap sekata pun. Bahkan gue tidak mau duduk, memilih berdiri acuh membelakangi Mas Alvin.
"Mas gak bermaksud tidak mau disalamin sama kamu. Tidak. Bukan itu. Maksud Mas, Mas gak mau kamu berangkat dulu, sementara sarapan sudah tersedia di meja. Hanya itu niat Mas. Tapi kamu keburu salah paham sebelum Mas memberitahu," kata Mas Alvin sadar kalau gue marah karena hal itu.
"Kamu adik, Mas. Walau selama ini Mas bersifat dingin sama kamu, bukan berarti Mas benci atau apa pun yang Salsa pikirkan tentang Mas. Tidak. Mas tidak seperti itu. Jadi ...." Mas Alvin megang dua pundak gue dari arah belakang, menyuruh gue duduk di bangku yang baru ditarik ke belakang oleh tangan satunya yang baru diturunkan dari pundak gue.
Gue nurut aja duduk, hati yang tadinya panas, jadi mendingin. Tiba-tiba gitu, rasa amarah gue luntur. Emang dasar wanita, mudah banget berubah moodnya.
"Sekarang kamu sarapan dulu sebelum berangkat kuliah. Kalau berangkat dulu, makan pagi kamu sudah sangat terlewat. Bahkan ini saja sudah lewat dari yang seharusnya." Mas Alvin duduk di kursi sebelah gue.
"Dan ...." Mas Alvin nyendokin nasi goreng ke piring jatah gue. "Kamu harus menghargai usaha orang lain. Kasihan orang yang sudah nyiapin sarapan ini. Dia pagi-pagi sudah perang di dapur bikin sarapan, lalu tidak dimakan. Bagaimana perasaan dia?" Mas Alvin ngadep ke arah gue.
Gue yang lagi menundukan kepala liatin nasi goreng yang ada di hadapan gue, segera menoleh ke arah Mas Alvin, saat tau kalau Mas Alvin lagi ngadep ke arah gue.
"Dia mungkin di depan kamu masang wajah baik-baik saja, tapi kamu tidak tau di belakangnya? Bisa jadi, dia ngedumel, "kalau tau gini lebih baik gak usah masak! Cape-capein aja". Gak enak 'kan kedengeranya? Iya, walau dia digaji untuk melakukan itu, tapi pekerjaan dia 'kan bukan cuma itu saja. Coba kalau tidak masak, mereka bisa ngerjain kerjaan lain. Betul tidak?" lanjut Mas Alvin.
Lalu Mas Alvin menyendok nasi goreng di piringnya yang buat gue kaget karena dia nyedok nasi goreng bukan buat nyuapin dia sendiri, tapi buat gue.
"Aaa," pinta dia sambil mengarahkan sesendok nasi goreng ke mulut gue dan gue yang sanking kagetnya, bukannya buka mulut malah terpaku dengan menatap dia.
***
Karena kejadian tadi, dia yang mau nyuapin gue, membuat sekarang suasana jadi kaku.
Gue yang awalnya mau berangkat sendiri dengan menolak ajakan Mas Alvin yang mau ngantar gue ke kampus, berakhir gue berangkat bareng Mas Alvin.
Bagaimana tidak? Saat gue sampai di halaman, di sana tidak ada Pak Jijat. Biasanya kalau habis nganter nyokap ke kantor, doi pulang lagi untuk nganter gue ke kampus. Lalu kenapa sekarang tidak ada?
Malah adanya supir Tante Wanda— Pak Joni—sedang ngotak-ngatik mobilnya Mas Alvin. Mau pesen ojek online atau taksi online kelamaan, jadilah gue berangkat ke kampus sama Mas Alvin.
"Eng, Mas?" panggil gue dengan noleh ngadep dia, memecah keheningan yang sedari tadi tercipta.
"Hmmm," sahut dia tanpa noleh.
Gue tarik napas pelan dulu sebelum lanjut ngomong. "Menurut Salsa, Mas gak harus seperti ini deh. Maksud Salsa, kata Mas waktu itu jalanin saja dulu, ok jalanin dulu. Tapi Mas jangan terlalu dalam memainkan peran. Biasa aja gitu, gak usah seperti ini. Jemput Salsa, ngajak jalan, terus tadi pagi bangunin Salsa, niat banget pagi-pagi dah ke rumah, dan tadi Mas mau nyuapin Salsa, cuma gara-gara siapa tau Mbak liat terus nanti lapor ke Nyokap.
Menurut Salsa gak harus sampai segitunya. Pura-pura sangat dekat bila kebetulan
kita bertemu dan di saat pas ada Ibu Salsa atau Ibu Mas. Gak harus main peran di belakang mereka." Gue natap serius ke dia.
Coba bayangin, Pemirsa. Tadi, saat kejadian dia mau nyuapin gue dan guenya gak buka-buka mulut, dia minta gue untuk buka mulut lagi. "Aaa."
Gue tepis pelan tangan dia untuk menjauh dan dia nurut langsung naro sendok di piring.
Pala dia maju lebih dekat ke arah gue. Saat itu jantung gue berdegup kencang. Gue kira dia mau nyium gue, ternyata salah.
"Nurut saja, siapa tahu ada Mbak kamu yang memperhatikan kita. Biar dia lihat bagaimana tingkah kita berdua lalu dia lapor ke Tante Mira, bukankah itu bisa buat ringannin pura-pura kita?" bisik dia ke telinga gue.
Gue yang awalnya sudah baper gitu atas tingkah laku baiknya dia, tiba-tiba rasanya pengin marah. Marah pada diri sendiri, bisa semudah itu lho gue baper sama dia. Taunya dia cuma sandiwara. Malu banget gue sama diri sendiri?
"Bukankah lakon yang baik, harus bisa mendalami perannya?" jawab dia sekarang. Semudah itu sambil noleh ke arah gue lalu kembali ke arah depan.
"Tapi gak harus sampai segitunya. Lagian, Mas bukan peran yang mau main film," rajuk gue tidak setuju.
"Nikmati saja, tak perlu banyak protes."
Apa? Nikmati saja, gak harus protes?! Bagaimana bisa? Ini tuh sangat mengganggu!
"Kancing kemeja kamu."
Mulut gue baru saja ingin bersuara memprotes, sudah keduluan sama dia yang memerintah.
Saat ini gue pake celana jeans warna telur asin yang dipadukan dengan kemeja putih yang dimasukan ke dalam celana, lalu dua kancing atas kemeja sengaja gak dikancing, sepatu sneakers warna putih dan rambut sengaja gue cepol sedikit berantakan biar terlihat natural tapi keren. Menurut gue gaya gue oke.
Sekarang disuruh dikancing sama dia. Dia gak tau fashion atau gimana sih?
"Kenapa harus dikancing? Gak mau," tolak gue langsung. Jadi jelek lah kalau dikancing. Gak kebayang gimana gaya gue? Kelihatan anak culun. Oh My God, ogah.
Gue langsung ngadep ke depan. Enak banget ngatur gaya orang!
Pas jalanan ke arah belok, dia membelokan arah laju mobilnya lalu setelah itu ia noleh ngadep gue. "Kamu mau ngampus 'kan? Bukan mau tebar pesona?"
"Iya, lalu apa hubungannya sama baju yang gue pake? Ini 'kan gaya tampilan yang wajar," jawab gue dalam hati.
"Mau kancing sendiri apa dikancingi sama Mas?"
Heoh!
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya
Malam ini nyokap kelihatan seneng banget. Raut wajahnya terpancar kebahagiaan, buat hati gue menghangat. Sudah lama banget gak makan bersama bertiga yang di mana salah satunya pria. Dulu, waktu bokap masih ada, makan bersama seperti sekarang, sering dilakukan bahkan hampir tiap hari. Setelah bokap gak ada, makan bersama di meja makan hanya gue dan nyokap. Berduan saja. Makan malam ini spesial menurut gue. Liat Mas Alvin, gue kaya liat bokap. Memori kebersamaan bokap jadi berputar di otak gue. Jadi kangen bokap. Tuh kan gue sedih. "Lho, kok, Salsa nangis?" Mas Alvin bertanya sambil natap gue. "Makanannya pedas, ya, tapi menurut Mas nggak kok. Menurut Tante pedas gak?" "Nggak, bukan makanannya, tapi Mas yang bikin Salsa nangis." Yang awalnya hanya air mata yang keluar, kini diiringi dengan isakan kenceng. "Mas? Maaf, memang apa yang Mas lakukan sampai buat kamu nangis?" "Mas bik
Sebagai anak satu-satunya, nyokap tidak mau acara lamaran gue hanya biasa aja. Sesuai permintaan gue yang hanya minta di rumah lalu makan-makan aja. Tapi nyokap dan Tante Wanda malah nyewa ballroom untuk acara lamaran gue dan Mas Alvin. Sebenarnya gue sedikit ragu dengan lamaran ini. Gue masih bingung dengan perasaan gue sendiri. Gue belum yakin kalau gue sudah ada rasa suka sama Mas Alvin, tapi rasanya kalau gue di dekat Mas Alvin, merasa nyaman apalagi setelah kejadian gue ketauan di club, perilaku Mas Alvin sama gue jadi gak dingin lagi. Buat gue gak takut berada di dekat dia. Gue milih maju, mengiakan adanya lamaran ini yang terkesan mendadak, persiapan hanya beberapa hari saja. Itu karena nyokap. Jujur gue gak tega mematahkan kebahagiaan nyokap yang begitu bahagia mengetahui Mas Alvin mau lamar gue. Nyokap aja sampe ngasih gue tas yang sudah dia janjiin beberapa minggu lalu. Yang tiap kali gue mau berangkat kampus terus tanya ke m
"Cantik banget kamu, Sa." Clarin berkomentar. "Kayak bukan Salsa deh, ya ampun pangling sekali kakak gue." Amel ikut berkomentar. "Duh, ini calon istri Bang Vin." Sekarang Maya yang berkomentar. Baru saja gue selesai dimake up oleh MUA yang dipesan nyokap. Gue sangat berterima kasih dengan orang yang rias, mata bengkak gue jejak habis menangis bisa tertutupi dengan make up. "Sudah siap, sayang?" Nyokap masuk ke kamar menghampiri. Gue ngangguk. "Anak Ibu cantik banget." Nyokap mengusap lengan baru kemudian beliau ngajak untuk ke tempat acara. Sedari tadi gue udah deg-degan banget, sumpah. Padahal waktu ketemu Mas Alvin mengantar ke makam, gue biasa aja. Tapi sekarang jantung gue memompa tidak semestinya, bahkan lebih dari saat gue di make up. Susunan acara sudah mulai hingga akan di waktu intinya, yaitu menemukan gue dengan Mas Alvin. Saat sang MC wanita mengintro agar gue masuk ke dalam r
Sesampainya di kamar hotel, kami berempat sama-sama membersihkan make up bersama sambil ngobrol dan bercanda. Tidak ada yang mandi, semuanya termasuk kategori orang malas. Selesai membersihkan make up kami cuma ganti baju terus tiduran di atas king bed. Sebelum hari ini, teman-teman gue sudah boking ke nyokap kalau pesan kamar jangan yang double bed tapi yang king bed saja. Kata mereka biar puas waktu kebersamaannya sama gue yang sebentar lagi akan nikah dan akan sulit untuk tidur bersama lagi. Mustahil kalau orang empat kumpul terus bisa tidur cepat, yang ada kami malah lanjut ngobrol dan bercanda. Seperti saat ini, sudah tidurannya tak beraturan, ada yang kakinya ke atas kepala ranjang, ada juga yang tiduran tepat di samping pantat, kayak gue tidur tepat di samping pantat Clarin. "Guys, ini 'kan kita tidur bersama nih, nanti kalau Salsa habis nikah, kita ikut tidur bareng aja, ya, lihat malam pertamanya Salsa sama Bang Alvin, s
"Lepaskan!" Bagas memerintah Mas Alvin untuk lepasin gue. "Siapa, lo?" Mas Alvin menolak, membawa gue di belakang tubuhnya. "Gue memang bukan siapa-siapanya Salsa, tapi gue orang yang sayang sama Salsa. Jadi, gue berhak larang lo bawa Salsa." Mas Alvin tersenyum sinis, "Lo cuma orang yang sayang, sementara gue calon suaminya. Catat baik-baik, CALON SUAMINYA!" Mas menjawab dengan penuh penekanan pas di kata calon suaminya. "Calon suami yang dijodohin maksud lo?" Bagas ketawa mengejek. "Lo tuh cowok, dah dewasa pula, lo harusnya punya pikiran yang jauh bukan pendek menerima perjodohan itu. Mikir! Kalau Salsa itu terpaksa mau nerima perjodohan ini. Lo harusnya mikir bagaimana kedepannya, bagaimana nasib Salsa hidup penuh keterpaksaan." "Iya, betul, gue dan Salsa menikah karena dijodohin. Tapi asal lo tau, Salsa sudah punya perasaan suka sama gue. Gue gak maksa agar Salsa mau menerima, tapi dia sendiri yang menerima." Mas Alvin