Gara-gara mulut tanpa saringannya si Bella. Aku pun dengan refleks menyilangkan tangan di depan dada, untuk menutupi bagian yang Bella sebutkan tadi. Sebelum akhirnya menjerit histeris dan lari ke lantai atas, kembali ke kamarku.
Sumpah demi neneknya Tapasya yang jahat. Aku malu banget!
Tentu saja! Tadi itu ‘kan ... Astaga! Mau ditaruh di mana mukaku setelah ini?
Oke! Aku akui, memang yang dikatakan si Bella itu benar adanya. Aku memang terbiasa tidur tanpa dalaman apapun. Hanya daster rumahan yang panjangnya selutut. Namun, oh … ayolah! Aku rasa yang punya kebiasaan seperti itu bukan cuma aku, bahkan kuyakin 90% wanita memang suka tidur tanpa benda-benda sialan yang sering bikin nyesek itu. Iya, kan? Ngaku aja!
Nah, cuma masalahnya adalah ... kenapa si Bella harus mengatakannya selugas itu, sih? Aku ‘kan tengsin banget! Mana ada bapaknya pula di situ. Aduh ... sumpah demi apapun! Aku rasanya mau hilang aja dari bumi selamanya. Sayangnya, itu cuma akan jadi anganku saja, karena saat hari menjelang sore, si bocah gendeng itu kembali merecokiku.
Kali ini, dia seenaknya datang ke kamarku dan minta ditemani belajar sepeda. Kan? Nih, bocah emang minta dimutilasi. Nggak tau apa, kalau aku masih dalam mode sembunyi karena tengsin akibat kelakuannya?
“Bell, minta Bapakmu saja sana yang ajarin. Jangan gangguin Tante lagi!” omelku yang masih kesal padanya.
“Papa lagi pacaran. Gak bisa diganggu!”
Eh?
Apa katanya?
“Pacaran? Bapakmu emang punya pacar, Bel?” tanyaku akhirnya mulai kepo.
“Ck, Tante ini gimana, sih? Papanya Bella ‘kan, ganteng. Tentu aja punya pacar. Emang, Tante. Jones!”
Sialan! Malah aku dikatain. Dasar bola bekel!
“Sembarangan kamu kalo ngomong. Gini-gini Tante itu punya pacar, tau!” balasku tak mau kalah.
“Siapa? Om yang waktu itu?” tanya Bella.
Aku baru saja mau mengangguk dengan bangga. Sebelum nih kutil satu seenaknya bicara lagi.
“Jangan halu, Tante. Orang cakep kaya gitu, mana mau sama Tante. Palingan juga Tante cuma dijadiin mainan aja. Udah putusin! Lagian, kata Nenek pacaran itu dosa, tau. Mending langsung nikah aja. Menjauhi dosa zina.”
Tua ... tua ... bocah kelas 1 SD bisa-bisanya ngomongin dosa. Dada aja masih rata lo, Bell. Sok-sok ngomongin dosa.
“Sok tua lu, Bel!” Aku menoyor kepala mungilnya dengan gemas. Membuat gadis itu cemberut tak terima.
“Lagian ngapain kamu ngomongin soal pacaran itu dosa? Lah, Bapakmu aja pan lagi pacaran, katanya tadi. Sono ceramah depan Bapakmu kalo berani,” tantangku kemudian.
“Siapa yang pacaran?”
Eh?
Kepalaku pun sontak berputar ke arah pintu. Saat suara bariton itu tiba-tiba terdengar.
Mampus! Lagi enak-enaknya ghibahin orang, malah muncul dia. Alamak! Mati ajalah, ini mah.
“Papa?” seru Bella. Saat melihat penampakan Bapaknya yang muncul begitu saja di ambang pintu kamarku.
Bocah itu pun melompat ke tubuh Bapaknya, yang langsung ditangkap dengan sigap oleh pria itu.
“Papa udah selesai kerjanya? Udah bisa temenin Bella belajar sepeda, dong. Iya ‘kan?”
Tunggu!
Bukannya tadi ... si Bella bilang Bapaknya lagi pacaran ya? Kok, sekarang dia bilang kerja, sih?
Lah, ini yang budek aku atau emang si Bella yang baru aja nyebarin Hoax. Malah jadi nggak sinkron gini?
“Udah. Ini makanya Papa jemput kamu ke sini,” jawab Pak Dika lembut sekali, bikin aku salfok lagi.
Sialan! Si Bella yang dilembutin. Ngapa aku yang baper, coba?
“Ya, udah. Ayo, Pa. Lagian Tante Intan nggak asyik. Masa Bella minta ajarin cara naik sepeda. Malah dialihin jadi bahas pacaran. Nggak bagus kan buat Bella ya, Pa?”
Bangke! Nih, bocah malah nebar racun lagi.
“Sembarangan!” sergahku tak terima. “Yang duluan bahas pacaran siapa coba? Kamu ya kan?” sambungku membela diri.
“Dih! Kok jadi Bella?”
“Lah, iya! Kamu ‘kan yang awalnya bilang Bapakmu nggak bisa nemenin karena lagi pacaran. Terus ujung-ujungnya malah bawa-bawa dosa. Udah ngaku aja kamu, Bel!” desakku tak mau mengalah.
Biar dikata nih bocah masih piyik, tetap aja, kalau bibit netizen sudah terlihat. Wajib banget dibasmi dari usia dini.
“Tapi ‘kan Bella nggak bilang Papa pacaran sama orang.”
Eh? Maksudnya?
“Papa emang tadi pacaran, tapi sama kerjaannya. Bukan sama orang. Itu, sih, Tante aja yang cemburuan. Makanya langsung kepoin siapa pacar Papa. Iya kan?”
Asem! Dia ngerjain aku ternyata.
“Bell, Tante nggak—”
“Jadi kamu cemburu sama saya, Tan?”
Eh?
“Enggak gitu ceritanya, Pak. Saya—”
“Nggak papah. Saya ngerti kok,” sela Pak Dika seenaknya sambil menepuk kepalaku, sebelum pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih megap-megap di depan kamar.
Astaga!
Ini bapak sama anak kenapa, sih? Bikin pusing banget kelakuannya.
“Tanteee …!”Astagfirullah ...Aku langsung meloncat kaget, saat seruan itu menggema begitu saja dari belakangku. Saking kagetnya, bahkan donat yang sedang aku makan pun, melompat dari tanganku dan meluncur mulus ke arah got di sebelahku.Ya salam! Sarapan aku, tuh!Tak ayal karena hal itu, aku pun langsung melirik cepat dengan sinis ke arah belakang. Tepatnya pada mobil Range rover sport
Teman-temanku ngakak so hard, sampai guling-guling di tengah lapangan ketika aku selesai menceritakan kejadian tadi. Eh, canda. Nggak sampai guling-guling ke tengah lapangan kok. Cuma terpingkal-pingkal aja. Itu, sih, emang akunya aja yang lebay.Maklum, aku memang punya motto hidup, kalau 'nggak lebay itu, gak indah' dari dulu. Karena hidupku terlalu monoton kalau nggak lebay. Makanya butuh diwarnai sama pensil warna si Bella yang sering nyelip di pouch make up aku, sampai kadang aku salah pakai pensil alis sama pensil warna anak
Menurut kalian, apa yang harus kulakukan setelah disiram tak manusia seperti itu? Apalagi dengan Air yang aromanya busuk sekali.Mengamuk.Tentu saja! Memangnya aku harus diam saja diperlakukan seperti itu? Oh ... maaf. Aku nggak sebaik itu dan tidak salah. Jadi, tidak ada alasan untukku mengalah. Betul?Aku mengamuk, aku berteriak marah dan menerjang si cewek gila itu.Tadinya aku menjambak rambut cewek itu, tapi dia membalasku sambil meraup wajahku. Ya, sudah. Aku juga ikutin aksinya, meraup wajahnya yang penuh dempulan.Tak hanya itu, aku juga sengaja membasahi tanganku dengan tetesan air di baj
'Sayang'Hanya karena satu kata itu, aku langsung linglung seketika. Blank dan haluku membumbung tinggi.Serius!Saking linglungnya, setelah itu aku sampai tidak tau bagaimana perdebatan Pak Dika dengan Guntur. Aku hanya ingat mereka memang sempat berdebat sebentar, sebelum Pak Dika menggiringku pergi dari sana.Anehnya, Pak Dika tidak membawaku ke parkiran atau tempat mobilnya terparkir, melainkan ke sebuah warung rokok yang ada di dekat kampusku. Warung ya
“Papa nggak ada!”“Masa, sih, Bel? Itu mobilnya masih ada kok?”“Bella bilang nggak ada, ya gak ada! Udah tante pergi sana!”“Ih, Bella. Kok nggak sopan, sih? Gini-gini Tante calon Mama kamu, loh. Belajar hormat sama Tante, Sayang!”“Ogah! Bella nggak mau punya Mama kaya Tante.”“Eh, Bella. Kok ngomongnya gitu? Tante bisa loh jadi Mama yang baik buat kamu. Plus ngasih kamu adik-adik yang lucu, terus— arghhh ... Bella! Kok Tante disiram, sih? Jadinya basah baju Tante nih?”
“Kiri-kiri, Sist. Di sini aja.” Aku menepuk pundak Nur, yang hari ini tumben baik hati mau nganterin aku pulang.Nurhayati tepatnya, karna Nurbaiti sedang tidak masuk hari ini. Si Nur pun mencebik kesal dan menoyorku yang tadi iseng memperlakukannya seperti kang ojeg.“Kunyuk! Ngelunjak emang lo ya? Udah gue anterin bukannya makasih, malah bikin gue kaya kang ojek aja,” omelnya membuat aku terbahak saja.“Abis lo mirip banget sama kang ojek jaman now. Sweater ijo sama helm ijo. Jadi salfok ‘kan gue. Lo kayaknya benar-benar menghayati banget peran lo jadi kang ojek ya, Nur?” sindirku di sela kekehanku.“Bangke emang lo! Temen nggak ada akhlak. Nama gue emang Nurhayati, kali! Dan gue—”“POKOKNYA BELLA NGGAK MAU!”Ucapan si Nur pun langsung terhenti, tatkala lengkingan suara Bella menginterupsi dari arah rumahnya. Aku dan si Nur sontak menoleh ke arah sumber suara. Kami langsung melihat Bella tiba-tiba keluar dari sana, sambil berlari sembarang arah. Entah mau ke mana itu bocah, yang jela
“Tunggu deh, Pak!” Aku akhirnya menarik tangan Pak Dika, setelah kami lumayan jauh dari mantan istrinya.Ya! Setelah pernyataan sepihaknya itu. Pak Dika memang langsung menyeretku lagi, hingga aku tidak bisa berkilah untuk ucapannya tadi. Namun, walau pun begitu, tetap saja ini harus diluruskan. Semua karena wanita selalu membutuh kepastian. Iya ‘kan?“Kenapa, Tan?” tanya Pak Dika akhirnya. Ia menurut untuk menghentikan langkahnya.“Itu, Pak. Sebelum kita lanjut cari si Bella. Saya mau tanya dulu. Tadi itu ... maksud Bapak apa men
“Pokoknya Bella maunya sama Tante Intan aja!” Bella merapatkan pelukannya padaku, saat ibunya berusaha menggendongnya.Ya! Akhirnya kami berhasil menemukan Bella, berkat orang gila yang terus saja menyebut Bella ini boneka. Wajar, sih. Bella memang seperti boneka tampangnya. Soalnya, biangnya juga licin banget kayak keramik di mall.Nggak itu bapak atau ibunya. Dua-duanya dari bibit unggul. Lalu, apa kalian mau tau di mana Bella ditemukan?