“Tanteee …!”
Bruk
“Akh!”
Hahahahahahaha ....
“Bellaaa …!”
Tawa Bella pun semakin membahana penuh kemenangan, mendengar kekesalanku pagi itu.
Dasar anak kutil! Masih pagi udah ngerecokin orang aja!
“Awas kamu, Bel! Sini Tante cubit ginjalmu!” marahku seraya bangkit dari lantai dan mengejar anak sialan itu.
Ya … gimana nggak menyebalkan kalau pagi-pagi begini, anak itu seenaknya datang ke kamarku dan berteriak di kuping dengan keras. Aku bahkan harus melompat dari atas tempat tidur saking kagetnya, kemudian nyungsep di lantai dengan mengenaskan.
Nah, gimana aku nggak murka, coba? Orang lagi enak-enak tidur, dirusuhin bocah gendeng itu.
“Bella sini kamu! Cepat sini!” seruku di sela langkah, sambil terus mengejar bocah kutil yang masih berlari sambil tertawa penuh kemenangan.
Emang bocah nggak ada akhlak!
“Bella!”
“Tante payah! Masa kejar Bella aja nggak bisa? Huh ... dasar, Tante Babon!”
Bajirut! Malah dia ngatain aku sekarang!
Wah. Ini, sih, nggak bisa dibiarin! Awas aja kalau ketangkap! Bakalan gue pites nih kutu satu.
Aku pun mempercepat langkah kakiku tanpa melihat kanan dan kiri lagi. Berusaha lebih keras mengejar bocah itu. Namun, saat aku hampir menangkapnya, bocah itu malah berbelok begitu saja ke arah dapur hingga aku ....
Kerompyang!
... Menabrak Mama tanpa sengaja, yang sedang membawa tepung di baskom untuk bahan kue.
Alhasil, kini wajahku pun putih semua penuh tepung itu.
“Mamaaa …!” teriakku yang nyaris menangis saking kesalnya.
Mama menutup kupingnya dengan dramatis, seolah suaraku ini bisa menghancurkan seluruh isi dunia. Sementara bocah sialan yang jadi penyebab semua kekacauan ini, malah terbahak kian kencang di balik tubuh Mama.
“Astaga, Intan!? Kebiasaan, sih? Masih pagi udah teriak-teriak aja. Malu sama … loh, Tan. Mukamu kenapa? Abis mandi bedak? Apa abis ketumpahan cat tembok?” Papa yang tiba-tiba muncul dari ruang TV pun langsung menghentikan omelannya, saat melihat tampilanku yang putih semua.
Sementara di belakang Papa. Pak Dika merapatkan bibirnya, yang aku tau pasti sedang menahan tawanya melihat tampilanku yang hancur saat ini.
Sialan memang!
Padahal aku jadi begini juga karena anaknya yang buandel banget! Bukannya minta maaf, pria itu malah ingin menertawaiku.
Dasar duda sialan!
“Ini semua gara-gara bocah rese itu, Pah! Dia ngerecokin tidur Intan tadi. Bikin Intan jatuh dari tempat tidur! Makanya Intan kejar, mau dicubit tadinya biar kapok. Eh, malah dimandiin tepung sama Mama,” aduku tanpa menutupi apapun di hadapan kedua orang tuaku dan Bapaknya Bella yang ... sialannya pagi-pagi udah cakep aja. Bikin aku hampir gagal fokus!
Papa dan Mama pun hanya menggeleng tak habis pikir, “Kamu, nih. Anak kecil aja dilawan.”
Eh? Kok, malah jadi aku yang disalahin? Tadi ‘kan yang bikin rusuh si boneka Annabell. Kenapa malah aku yang diomelin?
“Ish, Papa! Ini tuh gara-gara bocah setan itu yang rese!”
“Intan!” tegur Mama nggak suka dengan ucapanku.
“Apa? Emang bener kok, tuh bocah emang sialan banget. Jahilnya naudzubillah!” tukasku sengit, karena terlalu kesal dengan kelakuan si bocah.
“Tapi nggak gitu juga negornya, Intan,” bantah Mama tak setuju.
“Ya, terus? Intan harus gimana? Anaknya udah nggak bisa dibaikin gitu. Semakin lama malah semakin ngelunjak,” balasku tak mau mengalah.
“Tap—”
“Saya minta maaf.”
Eh?
“Saya belum bisa mendidik anak saya untuk jadi anak manis seperti yang lainnya karna keterbatasan waktu. Saya memang belum bisa mendidiknya dengan baik. Saya minta maaf ya, Intan. Semoga kamu mau memaafkan saya.”
Suasana pagi itu pun langsung hening, saat Pak Dika mengintrupsi Mama begitu saja dengan permintaan maafnya. Membuat aku merasa linglung seketika. Semua karena aku ini sebenarnya lumayan sungkan pada pria tersebut. Dia sangat pendiam dan jarang terlihat berinteraksi dengan orang lain.
Aku saja lumayan bisa dihitung dengan jari melihat pria ini selama jadi tetangga. Apalagi dengar suaranya, yang selama ini hanya terdengar kala menegur anaknya doang. Itu pun selalu cuma dua kata saja, “Bella, masuk!”
Hanya itu, selebihnya pria ini memang minim kata dan interaksi. Jelas saja saat akhirnya dia bicara sepanjang itu, bisa apa aku selain terpesona. Pak Mahardika dalam mode banyak omong ternyata lumayan bersahaja.
Terasa lebih anehnya lagi, ketika mendengar suaranya tadi, emosiku pun menyurut begitu saja. Hilang tak tau ke mana, berganti dengan degupan jantung cepat yang kurang ajar.
Jantung nggak ada akhlak!
“Bella, minta maaf sama Tante,” titah Pak Dika kemudian melirik anaknya.
Tidak keras memang, hanya suaranya penuh ketegasan, membuat Bella cemberut, tetapi bocah setan itu tetap maju menghadapiku.
“Bella minta maaf, Tante,” lirihnya sambil menunduk.
Kalau sudah seperti ini, bisa apa aku selain memaafkan?
“Iya, Tante maafin. Jangan diulangi lagi ya?” balasku sekenanya.
“Iya. Tapi ... Bella boleh ngomong sesuatu nggak sama Tante nggak?” jawabnya bertanya.
“Apa?” kepoku.
“Tante nggak pakai BH ya? Pentilnya keliatan, tuh!”
Dasar, Anak setan!
Mahardika POV“Mas, sarapannya udah siap!”“Iya, sebentar.”Sekali lagi, aku pun merapikan tampilanku dan memastikan kalau semuanya sudah terpasang sempurna. Setelah itu, aku langsung bergegas turun memenuhi panggilan istriku tadi.Istriku? Ya! Barusan yang tadi memanggilku memang adalah istriku. Namanya Intan Mulia Mardani. Mahasiswi cantik yang dulu tinggal di samping rumahku.“Bella nggak mau Mama!”“Nggak pakai ya, Bell! Pokoknya kamu harus belajar!”“Tapi Bella nggak suka.”“Ya, belajar sukalah!&rdquo
Bella POV“Bell, dimakan dong, Sayang. Jangan cuma diacak-acak terus. Nanti nasinya nangis loh.”Bodo amat! Nangis juga bukan urusan Bella. Bagus malah. Biar Bella ada temannya.“Bella, Sayang. Kamu kenapa, sih? Masih marah karena kita pindah ke sini atau ada yang menggangu kamu di sekolah barumu?”Semuanya benar! Bella memang masih kesal, karena tiba-tiba harus pindah ke sini, ke lingkungan yang banyak orangnya. Juga, harus sekolah di sekolah baru, yang nggak keren sama sekali.Hanya saja lebih dari itu, Bella kesal karena Papa selalu saja sibuk, bahkan di weekend seperti ini pun
Aku membuka mataku dengan tidak ikhlas pagi ini. Seluruh tubuhku rasanya ngilu dan sakit saat digerakkan. Rasanya, aku seperti baru saja menjadi korban tawuran antar kampung. Benar-benar remuk redam.Namun, yang paling terasa ngilu di antara semuanya adalah area pangkal paha. Rasanya seperti ada setrum setiap kali aku bergerak.Ah, tempat itu. Aku ingat. Semalam dia juga sempat mengeluarkan darah, saat Pak Dika pertama kali menerobosnya.Ya! Akhirnya, setelah sekian purnama dan ribuan halangan yang membentang, Pak Dika pun akhirnya berhasil buka puasa semalam, bahkan sampai nambah berkali-kali.Lebay ya aku? Emang! Hanya saja aku serius ini. Memang setelah menikah, kami tak bisa langsung menikmati malam pertama.Ada aja halan
Sebenarnya, mataku masih sangat perih untuk dibuka. Namun, kecupan bertubi di pipi dan leherku sangat mengganggu sekali. Membuatku mau tak mau terbangun, dan mulai mengerjapkan mata demi mengumpulkan kesadaranku.Ck, sialan! Siapa, sih, yang gangguin aku tidur? Nggak tahu apa, kalau badan aku capek banget, abis jadi ratu seharian tadi.Aku butuh tidur!CupCupCupCiuman itu semakin membuatku merinding, karena kini sudah sampai pada belahan dadaku.Nggak hanya itu saja, aku bahkan merasakan sebuah rasa dingin mulai merayap naik dari bawah kaos tidurku. Terus naik, naik dan naik hingga ....
Bella nih emang rese banget, sumpah!Padahal dia sendiri yang minta adik cepat, tapi dia juga yang berkali-kali menggagalkan proses pembuatannya.Menyebalkan banget ya ‘kan?Lebih dari itu, aku kasihan sama Pak Dika juga. Soalnya, dua kali lho pria itu harus berhenti saat nanggung. Nggak bisa aku bayangkan gimana sakitnya tuh, hihihi .…Rasanya, pasti seperti siap-siap mau bersin. Eh, malah digagalin teman. Jengkelnya sampai ke ubun-ubun.Akan tetapi mau gimana lagi? Kami nggak bisa mengabaikan Bella dan malah asyik sendiri dengan urusan kami ‘kan?Sekarang ini dia anak kami dan tentu nggak boleh mengabaikannya. Untung, Pak Dika lumayan paham akan hal itu dan si
“Njir! Akhirnya bisa rebahan juga!” seruku girang. Sambil melemparkan diri ke atas tempat tidur sembarangan.“Tan? Language, please!” tegur Pak Dika, yang baru saja menutup pintu di kamar kami.Ah, iya. Aku lupa kalau sekarang lagi sama dia. Akhirnya aku pun melirik ke arahnya, dan langsung nyengir konyol sambil bangkit untuk duduk kembali.“Maaf, Mas. Refleks,” cicitku kemudian.Kukira, dia awalnya akan mengomel dan menceramahiku seperti biasanya. Namun, yang terjadi dia hanya m