Share

4. Cake Testing

Hari ini adalah Jumat, akan ada ujian penting hari ini dan terpaksa aku masuk kuliah—kemarin aku benar-benar tidur seharian. Sebenarnya aku tak terlalu fit hari ini, tapi apa boleh buat karena quiz hari ini adalah quiz terakhir sebelum ujian semester.

Aku nekat berangkat. Aku mengambil celana bahan longgar dengan blouse berwarna hitam, kupakai kembali jaket super tebalku yang memiliki hoodie, setidaknya tubuh dan leherku terasa hangat. Aku berjalan kaki ke kampus, aku tahu jalur cepat dan hanya akan memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki, melewati kampung bergang sempit.

"Hem! Kau ke mana kemarin? Kenapa ponselmu tak diangkat!" omel seorang perempuan yang menyambutku di gerbang kampus. Ia memakai setelah serba pink, entah itu brand dari fashion house mana.

"Sakit," jawabku irit. "Ponselku hilang, waktu aku ke downtown untuk membeli peralatan lukis, aku dicopet."

"Jangan bilang kau marah denganku! Yang berulah kan David, jangan aku yang jadi sasaran. Kalau ponselmu hilang, kenapa tak langsung beli?" protesnya lagi.

Aku berjalan masuk menuju fakultasku membiarkan Lindsay berjalan di belakangku sambil menggerutu. "Aku sakit, Linds, malas berdebat!" ucapku malas. "Oh ya, aku tidak membeli ponsel karena aku orang miskin, remember?" jawabku santai.

"Lalu aku nanti harus hadir appointment mencicipi kue dengan siapa kalau kau sakit?" protesnya lagi.

Ah ya, aku baru ingat, Lindsay pernah bilang dia ada pertemuan untuk mencicipi kue, sebuah acara penting dan menarik, khususnya untukku, tapi dengan keadaanku seperti ini sepertinya aku akan berucap, 'Pass'.

"Masih ada Lili, Rowena, dan Gracia, mereka sahabatmu juga kan? Lagi pula mereka sudah komplain karena mereka merasa 'kurang dilibatkan' dalam acara besarmu," jawabku menoleh ke belakang.

"Huft... gara-gara David! Aku akan menghajarnya nanti!" geram Lindsay kesal.

"Pastikan kau meng-castrate kemaluannya... demi kepuasanku!" jawabku tersenyum sinis.

***

Kuliah hari ini berhasil kulewati, quiz itu juga lumayan bisa kujawab. Kuliahku tinggal esok lalu libur minggu tenang dan ujian semester. Ah, setelah itu aku akan pulang kampung ke rumah orang tuaku. Menghirup udara Texas yang kering dan panas. Aku tertawa sangat sarkas. Karena kenyataannya aku terlalu miskin untuk pulang ke Texas.

Dosen metodologi penelitianku tadi bersikap sedikit kurang ajar denganku. Di dalam kelas yang ia awasi, ia sengaja berdiri di belakangku sepanjang waktu. Dan aku baru sadar kalau aku memakai sebuah kaus berbelahan dada sedikit rendah. Dasar pervert! Selama aku mengerjakan ujian, ia cuci mata melihat belahan dadaku.

"Rose, kau sudah nggak ada ujian lagi, kan?" tanya Lindsay. Saat ini kami sedang berada di kantintadi pagi ia memintaku menemuinya di sini saat jam istirahat.

"Masih ada satu Matkul. Kenapa memang?" tanyaku seraya menyeruput sebuah lemon juice dingin yang dibelikan oleh Lindsay.

"Okay, kalau gitu aku tunggu kau pulang," ucap Lindsay menatapku mantap.

"Why?" tanyaku curgia.

"Cake tasting!"

Aku mengembuskan napas kesal. "Kan sudah kubilang beberapa waktu yang lalu, kau bisa ajak yang lain, Linds!" ucapku. Bukan aku tak mau mengantarkannya mempersiapkan hari besarnya, tapi cake tasting… pasti akan ada David di sana karena pria busuk itu yang akan membayar semuanya.

"Aku maunya sama kamu, Rose. Mereka kurang asyik diajak diskusi urusan ini!" ucap Lindsay memberi alasan.

"Wait... wait..." aku berhenti dari aktivitasku menyeruput minuman nikmat dengan kesan kecut dan segar di depanku. "Kau memaksa aku ikut karena urusan kue, begitu? Menurutmu aku yang paling pas menemanimu, gitu?" tanyaku dengan nada sakit hati. Kenapa sahabatku juga memperlakukanku seperti ini? Aku menangis dalam hati.

"No... hell, no! Kenapa kau berpikiran seperti itu sih? Ini gara-gara David! Aku nggak maksud gitu, Rose... jujur deh!" rengeknya. 

"The answer is still no! Aku ada pertunjukan lukisan jalanan, dan aku mau memajang lukisanku... mungkin saja laku, lumayan untuk makan minggu ini," jawabku ketus.

Lindsay sepertinya kehabisan kata-kata. Ia tahu betul, walaupun ia ingin memberikanku uang untuk menunjang hidupku yang sulit ini, aku takkan mau menerimanya.

"Berapa lukisan yang akan kau jual?" tanyanya lagi.

"Satu. Aku tak sanggup membeli kanvas dan semua catnya karena harganya terlalu mahal. Jadi aku cuma membuat satu lukisan saja dan semoga saja laku mahal," jawabku sambil berdoa. Lukisan itu adalah harapan hidupku minggu depan, karena menurut e-mail yang kuterima, beasiswaku baru cair dua minggu lagi, sedangkan uang yang ada di tasku tinggal lima puluh dolar.

"Setelah acara itu, kau free?"

Aku mengangguk kecil. 

"Kalau begitu... aku menunggumu sampai lukisanmu terjual, lalu kita pergi ke cake tasting, ya? Please, please. Aku ikut berdoa agar lukisanmu laku paling mahal," rengek Lindsay memegang kedua tanganku di atas meja.

"Hmm, lihat besok saja," jawabku asal. Lalu sekarang aku berharap lukisanku terjual paling terakhir, agar aku tak harus pergi dengan Lindsay. Aku mempertanyakan kepada Tuhan, kenapa orang sebaik Lindsay memiliki kakak bermulut ular seperti David Robinson, manusia tanpa lemak yang hobi menjual tubuh bercelana dalamnya?

Apa aku sudah bilang? Kalau David dikontrak menjadi brand ambassador sebuah celana dalam branded dunia? Jadi akan sangat sering melihat tubuhnya yang hanya bercelana dalam hitam berlenggak-lenggok di layar televisi, sungguh menjijikkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status