Pagi ini, cuaca di luar sedang gerimis. Aku sibuk menyiapkan menu sarapan terbaik untuk suami dan juga anak-anakku. Untuk pekerjaan rumah lainnya, masih ada Bik Isah yang membantuku menyelesaikannya. Mas Teja sudah rapi dengan celana bahan, serta kemeja berwarna pastel. Siwi dan Adam juga sudah duduk di kursi makan, siap menanti sarapan roti bakar keju dan juga sosis bakar yang sedang kutata di atas meja.
"Bunda, makan yuk!" ajak Siwi sambil memperlihatkan gigi depannya yang baru saja copot. Aku pun ikut tersenyum, lalu mengangguk. Baru akan menarik kursi di depan mereka, Mas Teja langsung menarikku untuk duduk di pangkuannya.
Siwi dan Adam terkikik geli melihat kelakuan ayah mereka yang sangat aneh. Aku pun demikian. "Mas, malu ada anak-anak," ujarku dengan wajah merona merah.
"Gak papa. Mereka juga tahu kalau ayah dan bundanya sedang pacaran. Ya kan?" lelaki itu dengan penuh percaya dirinya mengedipkan sebelah mata pada
"Mohon maaf, untuk nama anak Mas Teja yang laki-laki. Saya ganti ya. Bukan Adam, tetapi Aji."Aku membawa Aji pulang ke rumah. Anak lelaki itu terlihat biasa saja dan juga ceria, hanya saja aku yang masih khawatir dengan keadaannya. Mas Teja belum kuberitahu, biarlah saat dia pulang saja baru kami diskusikan, baiknya seperti apa ini.Dengan taksi online, kami pulang ke rumah. Aji tertidur karena lelah menangis, saat dijahit kepalanya. Anak yang kuat, dia hanya menangis karena kesakitan, bukan karena manja."Mas, mampir ke restoran cepat saji di depan ya," kataku pada sopir taksi. Kami belum sempat memasak dan aku yakin, saat bangun nanti Aji pasti lapar. Menikmati makan siang dengan fried chicken dan juga es krim coklat adalah kesukaan Aji dan juga Siwi. Aku memutuskan untuk membeli empat paket makan siang untuk kami berempat."Wangi sekali." Aku membaui aroma ayam goreng kriuk yang
Sudah 3 bulan aku menikah dengan Mas Teja. Setiap angka di kalender melewati dua puluh, hati ini selalu harap-harap cemas. Bulan-bulan lalu, aku gagal. Darah haid mengalir dengan deras seperti biasanya. Tentu aku kecewa karena berharap begitu menikah, aku langsung hamil.Aku menangis dan suamiku dengan sabar menenangkanku, serta memberikan semangat. Dia sama sekali tidak marah, saat jadwal datang bulanku hadir lagi. Lelaki itu melapangkan hati ini dengan mengatakan, kita coba lagi esok.Hari ini, sudah tanggal dua puluh. Mas Teja sudah berangkat pagi mengantar Aji dan Siwi ke sekolah. Aku merasa sangat bersukur, saat bangun pagi, tidak kutemukan darah haid. Semoga dia tidak muncul lagi dan di dalam perutku ini ada bayi. Buah cintaku dan Mas Teja."Non, lemes sekali. Udah minum vitamin belum?" tanya Bik Isah saat menghampiriku yang tengah melamun di teras depan. Aku menoleh, lalu mengangguk."Non haid lagi?
Akhirnya ijin itu turun juga, setelah dua pekan berlalu.Dengan sarat, suamiku ikut menemani ke sana. Dengan mengendarai motor, kami berdua pergi menuju Lapas Cipinang. Perihal mobil yang sempat dijadikan barang bukti saat kami kecelakaan waktu itu, beberapa hari lagi sudah bisa diambil. Fotonya juga sudah kusebar di media sosial untuk dijual saja.Mas Dirman tidak setuju, jika di dalam rumah tangga kami masih ada barang berharga pemberian Edwin. Lebih baik dijual saja, lalu uangnya disimpan sebagian, dan sebagian lagi diserahkan kepada Raka.Ya, begitu mulia hati suamiku. Di balik keengganannya berurusan dengan Edwin, dia tetap memikirkan Raka;anak dari Edwin. Bocah lelaki itu benar-benar kehilangan sosok ayah untuk belasan tahun.Begitu sampai di parkiran, aku mengonfirmasikan pada Herman yang juga akan datang mendampingiku untuk mengunjungi Edwin. Lelaki itu belum datang. Kusempatkan makan bubur ayam pinggir jalan,
POV AuthorRia berlari menyusuri koridor rumah sakit XXX, tempat suaminya dirawat. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat, antara lelah berlari dan juga khawatir akan keadaan suaminya."Permisi, Sus. Anyelir tiga di mana ya?" tanya Ria pada salah seorang perawat yang berada di front desk."Dari sini lurus saja, lalu ke kanan, Mbak," jawab perawat itu sembari mengarahkan dengan tangannya."Baik. Terima kasih, Sus," ujar Ria dengan mengangguk. Dia kembali berjalan cepat karena sudah tak sabar ingin mengetahui keadaan suaminya."Mbak Ria!" seru seorang lelaki yang berada di depan sebuah kamar perawatan. Baju yang dikenakannya, sama persis dengan seragam kerja suaminya. Ria mengangguk, lalu mendekat pada lelaki itu."Di mana suami saya?" tanya Ria. Lalu masuk begitu saja di kamar perawatan yang ternyata ruang kelas dua. Karena isi kamar itu ada tiga berangkar.
Warna pagi begitu terang. Sinar indahnya menerobos masuk ke dalam rumah-rumah penduduk, menerobos lewat celah ranting pohon. Sisa udara sejak karena hujan gerimis semalam, masih mendominasi udara, hingga membuat sebagian orang lebih memilih berada di balik selimut. Bersenda-gurau dengan bantal dan guling, tanpa memikirkan mau sarapan apa pagi ini?Pohon jambu air dan mangga yang ada di pekarang rumah Ria, menjadi saksi, bahwa sang pemilik mereka begitu semangat menyambut hari di setiap paginya. Dalam keadaan perut yang semakin membuncit, di usia kehamilannya yang menginjak sembilan bulan, Ria semakin rajin untuk melatih kaki, tubuh, serta napasnya sebagai persiapan melahirkan normal nanti.Jika pagi kemarin dia ditemani oleh suaminya;Teja. Namun kali ini, ada Siwi yang sedang enggan ke sekolah. Gadis kecil itu begitu tak sabar menunggu Bundanya segera melahirkan dua orang adik bayi untuknya. Sambil bergandengan tangan, ibu dan anak itu men
POV Edwin."Mana Raka, Bu?" tanyaku lemas. Wanita yang melahirkanku datang seroang diri saja menjenguk di penjara. Sebenarnya anak kecil juga dilarang berkunjung ke tempat seperti ini, tetapi sudah dua tahun aku menahan rindu untuk bertemu dengannya, tetapi Raka masih tidak mau menemuiku."Ada di rumah Bude kamu. Ibu sudah ajak, tetapi tidak mau. Ini, makanlah!" Kupandangi wajah tua yang semakin lusuh. Dulu, ibu masih rajin perawatan wajah dan tubuh, karena ada aku yang selalu mensupport keuangannya. Jalan-jalan bersama teman arisan keluar kota, aku pun selalu memberikan bekal yang cukup. Namun saat ini, ibu tampak lusuh, pucat, dan terlihat sangat tua.Kepalanya yang dahulu tidak tertutup kain, kini sudah satu bulan memakai kerudung instan. Tubuhnya kurus dengan berjuta keriput muncul di balik kulit wajah dan juga tangannya. Kupandangi paper bag yang disodorkan ibu. Kulepas perekatnya, untuk melihat makanan apa yang
"Ya Allah, bagaimana ini, Pa? Zamir tidak bisa dihubungi. Nomor ponsel kakaknya juga tidak aktif. Apa yang harus kita lakukan pada Siwi? Tamu undangan sudah hadir semua dan ini sudah telat satu jam." Ria merasakan sesak di dadanya. Belum pernah dia dipermalukan dengan sadis seperti ini. Bagaimana mungkin dia membatalkan semuanya?"Aji sedang menyusul ke rumah Zamir. Kita tunggu saja kabar darinya. Semoga calon menantu kita dan keluarganya baik-baik saja," ujar Teja masih berusaha berpikiran positif.Posisinya sebagai kepala keluarga tidak boleh panik. Walau jujur saja, kondisi hati dan perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Nalurinya sebagai lelaki mengatakan, ada yang tidak beres dengan Zamir. Teja menoleh pada sang putri yang tengah menunduk dan terisak dalam. Diremasnya dalam ujung kebaya yang menjuntai hingga mata kaki. Pakaian pernikahan yang sudah sangat cantik dikenakan oleh putrinya. Teja berjalan mendekat pada Siwi, lalu merangkul pundak
Siwi tersentak dengan wajah membeku, saat Raka mengatakan akan membawanya ke Samarinda. Dia belum siap jika harus secepat ini berjauhan dari keluarga, terutama orang tuanya. Namun, Raka nampak bukan seorang lelaki yang mudah diajak bernegosiasi. Selepas semua tamu pulang, Raka meminta Siwi malam itu juga berkemas.“Pekerjaanku di sini bagaimana, Mas?” tanya Siwi pada suaminya yang saat ini tengah berbaring di ranjang pengantin. Lelaki itu menatap langit-langit dengan perasaan sulit diartikan dengan sorot mata. Seperti ada yang disembunyikan, tetapi entah apa.“Suami adalah raja dan kamu harus menurut. Tidak ada bantahan. Lekaslah berkemas dan kita terbang Ke Balikpapan besok subuh. Jangan lupa matikan lampu sebelum tidur,” pesan Raka sebelum lelaki itu berbalik memunggungi istrinya. Siwi hanya bisa menghela napas kasar dengan mata berkaca-kaca. Ini bukanlah pernikahan yang sesungguhnya. Tidak ada cinta, yang ada hanya siasat seorang