Ruangan dengan minim penerangan terlihat berantakan. Komputer yang baru saja di banting terlihat retak di bagian layarnya. Kursi dan beberpa buku terlempar begitu saja. CPU dan alat elektronik lainnya sudah tidak berbentuk lagi. Di antara semua barang berantakan itu tergeletak seorang lelaki dengan kepala berlumuran darah. Di depan pintu berdiri Prima dengan wajah merah padam.
“Jangan salahkan diriku jika terjadi sesuatu pada anak dan istrimu,” ucap Prima dengan suara tegas lalu meninggalkan ruangan itu.
Lelaki dengan kepala penuh darah itu perlahan bangkit dari lantai. Pandangannya terlihat buram dan kepalanya terasa sakit. Ia berjalan menuju dinding dan duduk bersandar di sana. Sudah bertahun-tahun ia terkurung di sini dan Prima senantiasa mengancamnya. Lelaki itu melihat USB yang di pegangnya. Seketika ia tersenyum melihat USB tersebut.
Otaknya sudah tidak mampu lagi bersaing dengan peretas Alves Corp. Ia memutuskan untuk pensiun namun Prima menol
Ethand mengambil tas Emma dan memegangnya. Wanita yang hendak mengambil tasnya itu menatap kekasihnya heran. “Apakah kamu akan membawanya?” tanya Emma dengan tatapan tidak percaya. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Emma seketika berdiri dan berjinjit di depan lelaki itu. “Malu tahu dilihat orang,” bisik wanita itu dengan wajah bersemu merah. Pertama kalinya ia memberanikan diri mendekati wajah Ethand.Ethand seketika membeku. Ia tidak menyangka wanita yang dicintainya tiba-tiba mendekati wajahnya. Aroma lavender kembali masuk dalam rongga hidungnya. Menenangkan.Wajah Emma semakin bersemu merah kala melihat mata lelaki itu terus menatapnya. Bahkan diiringi senyum lembut yang mampu membuat jantung wanita itu berdetak tak karuan.“Kamu telah melakukan kesalah, Emma,” bisik lelaki itu di telinganya. Emma mengulum bibirnya. Dalam hati ia mengutuk dirinya karena telah berani mendekati wajah lelaki itu. Wanita itu menyeringai leb
Seiring dengan pintu toko roti dibuka, Emma dan Ethand langsung di sambut aroma kue yang lezat. Berbagai macam kue tertata di etalase dengan tampilan yang menggiurkan.“Apakah ibumu pecinta cokelat seperti dirimu?” tanya Ethand dengan mata tertuju pada kue di dalam etalase.Emma nampak terkejut. “Apakah kue ini untuk ibuku?” tanya Emma. Ethand menganggukan kepalanya. “Jangan repot-repot, Dimples,” ucap Emma.Tangan Ethand masih menggenggam tangan Emma. “Sudah beberapa kali aku ke rumahmu namun belum membawakan apa pun.”Emma hanya bisa terdiam. “Baiklah. Ibuku tidak menyukai cokelat. Dia lebih menyukai keju atau rasa mocca.”Ethand segera berbicara dengan pelayan toko. Tidak menunggu waktu lama kue pesanan mereka sudah di bungkus. Emma ingin membawa kue itu namun Ethand tidak mengijinkannya.“Bukankah itu untuk ibuku?” tanya Emma ketika Ethand tidak memberikan kue padany
“Jangan memanjakannya, Dimples,” ucap Emma setelah kesepakatan di antara kekasih dan adiknya disepakati.“Untuk adik iparku,” jawab Ethand. Ia segera mengambil cangkir teh dan menyeruputnya.“Dia akan menjadi seseorang yang gila belajar.” Emma mengambil kue dan memberikannya pada lelaki itu.“Bukankah itu hal yang baik?”Emma mengulum bibirnya. Sangat tidak mudah bertemu ketujuh member BTS namun mengingat siapa Ethand, Emma hanya bisa menghembuskan napas pelan. “Apakah kamu sudah siap untuk berbicara dengan ibuku?” tanya Emma.Ethand meletakkan cangkir teh di atas meja. “Untuk keselamatan dan kebaikan kalian, aku harus segera berbicara dengan ibumu,” jawab Ethand.“Apa yang mau dibicarakan Nak Ethand?” tanya Ester. Ia datang mengantarkan sepiring kue yang dibawa Ethand untuknya.“Ibu duduk saja dulu,” ucap Emma seraya bergeser ke kiri
Salah satu lingkungan mewah yang belum pernah dimasuki oleh keluarga Jones adalah kompleks Eves The Hill Vunia. Ketika mendengar di mana mereka akan tinggal membuat Ester dan Alin terkejut. Emma hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Ia tidak terkejut, untuk seorang Ethand tinggal di tempat itu merupakan keharusannya. Beruang dan juga cerdas. Apalagi lelaki yang menjadi kekasihnya ini adalah pewaris tunggal Alves Corp.“Apakah kita akan tinggal di apartemen mewah itu?” tanya Alin dengan mata berbinar. Ethand menganggukan kepalanya.“Apakah apartemen itu benar-benar milik Nak Ethand?” tanya Ester penasaran.“Iya, Bu,” jawab Ethand. Emma menyenggol lengan ibunya. Ester kemudian tertawa dan tidak bertanya lagi. Begitu pula Alin yang kembali fokus pada laptopnya. Sedangkan di otaknya sudah penasaran bagaimana kemewahan Eves The Hill Vunia.“Nak Ethand belum makan malam kan? Mari kita makan bersama,” ajak Ester. Me
Kedua orang seperti tikus dan kucing itu akhirnya memutuskan makan di kafe Janasses. Jane dengan wajah cemberut menatap makanan di depannya. Sedangkan Ryan melipat tangannya menatap wanita yang duduk di depannya.“Aku tidak akan makan sebelum kamu makan,” ujar Ryan dengan nada serius. Jane meletakkan sendoknya di atas piring. Ia mengambil segelas air lalu meneguknya.“Ini mulutku. Mau makan atau tidak bukan urusanmu,” balas Jane lalu menghapus beberapa tetes air tersisa di sudut bibirnya. Ryan hanya bisa menghembuskan napas kesal. Baru saja beberapa jam jadian, hubungan mereka sudah seperti ini.“Jane,” panggil Ryan dengan nada lembut. Jane melihatnya dengan ekor mata. “Apakah kita bisa lebih rukun?” tanya Ryan. Raut wajahnya terlihat putus asa.Jane memaksa menelan salivanya. Jika lelaki lain mungkin tidak akan bisa bertahan dengan sikapnya yang mudah cemberut itu. Namun sudah beberapa jam berlalu
Ethand senantiasa bertanya pada pengawalnya yang menjaga rumah Emma. Ia baru saja melewati tikungan namun ia sudah khawatir akan keselamatan kekasihnya. Setelah mendapat jawaban dari pengawalnya, ia kembali fokus pada jalanan.Kota Vunia masih ramai walaupun sudah hampir tengah malam. Mata Ethand menangkap sebuah Porsche hitam di belakangnya. Ia mencoba berbelok dan melihat apakah mobil itu membututinya. Ternyata benar dugaannya. “Siapa lagi itu?” gumam Ethand dengan mata mngarah pada kaca spion. “Plat mobilnya berbeda dengan dengan yang tempo hari.” Ethand mengambil ponselnya lalu mengirim pesan kepada Ryan. Ia ingin memastikan bahwa sekretarisnya itu baik-baik saja.Ethand segera menelepon Ryan karena lelaki itu tidak membalas pesannya. Ia semakin khawatir karena sekretarisnya itu tidak mengangkatnya. Ethand berdecak kesal. Ia ingin memastikan semua orang terdekatnya dalam kondisi aman. Ethandy segera mencari nomor ponsel ibunya.
Sudah pukul 2 malam. Ethand dan Emma masih saja mengamati ruang server. Berkali-kali terdengar lelaki itu menguap. Emma hanya bisa menahan senyumnya dan membiarkan Ethand menahan rasa kantuknya.“Sepertinya sudah tidak ada lagi usaha dari Melissa.” Emma mulai mematikan laptopnya. Terdengar helaan napas lega dari lelaki itu.“Istirahatlah Emma.” Ethand dengan suara yang hampir saja tidak terdengar oleh Emma. Wanita itu meletakkan laptop ke dalam laci mejanya. Ia menoleh kea arah Ryan yang sejak tadi sudah terlelap. Terdengar suara ngorok dari lelaki itu.“Apakah kamu bisa tidur di kasur tipis itu?” tanya Emma. Ia tahu jika kekasihnya ini sejak kecil hidup di tengah kemewahan.“Tidak masalah. Kamu segeralah istirahat,” ucap Ethand.“Baiklah. Have a nice dream, Dimples,” balas Emma. Lelaki itu mengernyit melihat Emma seakan melupakan sesuatu. “Ada apa dengan raut wajahmu?” tanya
Emma mematung ketika mendengar ucapan Ethand. Bagaimanapun ia telah bersalah pagi ini. Wanita berbalik sejenak menatap Ethand. Ia tidak berkata-kata dan malah memberikan senyum yang membuat lelaki itu menahan napasnya dan menggigit bibir bawahnya gemas akan senyum polos Emma.“Benar-benar cobaan,” batin Ethand dalam hatinya. Dengan tangan kekarnya, Ethand memutar kepala wanita itu dan mendorongnya keluar dari kamar.“Aku belum selesai merapikan tempat tidurnya,” ujar Emma yang berusaha membebaskan kepalanya dari cengkraman tangan Ethand.“Ada Ryan dan Jane,” balas Ethand sambil terus mendorong wanitanya menuju dapur.Ester yang melihat kedatangan Ethand dan Emma hanya bisa tersenyum dengan tingkah lucu pasangan itu.“Ini, Bu. Calon ibu rumah tangga tapi bangunnya siang.” Ethand mulai mengadu pada Ester. Wajah Emma bersemu merah ketika mendengar kalimat yang dilontarkan lelaki itu. Sedangkan si pengadu