Baik Jane maupun Ester sama-sama berkerut karena bingung. Ketika mendengar kata lelaki dari mulut Emma membuat pikiran Ester sudah kemana-mana.
“Apakah kamu sudah punya pacar, Lin?” tanya Ester seraya memasuki kamar Alin. Ia yang semula mendengar dari luar kamar akhirnya memutuskan untuk masuk. Alin masih kelas satu sekolah menengah atas, membuat Ester harus memastikan sendiri apakah putri bungsunya benar-benar sudah memiliki kekasih.“Belum, Bu.” Cegah Alin.“Lalu siapa lelaki yang dimaksudkan Emma?” tanya Ester dan melihat ke arah Emma.“Lelaki yang mengambil mawarku, Ma,” ucap Emma kesal. “Alin menjualnya dengan harga lima juta pada lelaki itu.” Ucapan Emma sontak membuat Jane dan Ester melongo. Bagaimana bisa beberapa tangkai mawar seharga lima juta. “Apakah itu benar, Alin?” tanya Ester dan mendekati putri bungsunya itu. Alin tertunduk dan tidak berani menatap ibunya. “Kamu kan sudah tahu kalau kakak kamu sangat menyayangi mawar itu. Jangan karena kamu anak bungsu jadi bisa seenaknya mengambil barang yang bukan milikmu.” Ester dengan nada khas keibuannya.“Maaf, Bu.” Alin dengan air mata yang sudah menetes membasahi pipinya.“Maaf, maaf-“ Drt..drt..Ucapan Emma terjeda karena ponsel di dalam saku celananya berdering.“Siapa sih?” Emma yang sudah kesal tambah kesal karena nama penelepon tidak tertera di sana. Namun, ia memutuskan untuk mengangkatnya.“Halo,” ucap Emma dengan nada pelan. Ia berusaha menormalkan nada suaranya namun karena rasa kesal membuat suaranya sedikit berbeda.“Iya, benar.” “Benarkah? Saya di terima di Alves Corp?” Raut wajah Emma yang semula kesal kini berubah ceria. Siangnya ia pergi wawancara dan malam ini dia langsung mendapat kabar bahwa ia lulus.Ester yang melihat perubahan raut wajah Emma merasa tenang. Baru kali ini ia sulit menghadapi marahnya Emma. “Apakah kamu lulus?” tanya Jane yang langsung menghampiri Emma. “Iya, Jane.” Jane langsung memeluk Emma karena senang. Alves Corp sangat sulit untuk masuk ke sana. Para pelamar di tes dengan ketat dan benar-benar mampulah yang akan diterima.“Kamu hebat, Emma.” Puji Jane.“Ibu..,” panggil Emma dan langsung melangkah ke arah ibunya. Melihat Emma yang senang karena sudah diterima di perusahaan besar, Ester meneteskan air matanya karena terharu. Selain menangis karena Emma yang memakai pakaian wisuda, kini ia kembali terharu karena keberhasilan putri sulungnya.“Selamat, Emma.” Ester memeluk putrinya erat. Emma tidak henti-hentinya membuatnya bangga. “Makasih, Bu.” Alin hanya mampu menyaksikan ibu dan kakaknya berpelukan. Ia masih takut kepada Emma.***“Apakah sudah menghubunginya?” tanya Ethand pada Ryan yang datang menemuinya. Ryan dihubungi oleh Ella karena ingin merencanakan sesuatu.“Sudah dihubungi oleh HRD, Pak.” “Bagaimana tanggapannya?” koRyan mematung. Bagaimana ia bisa menjelaskan tanggapannya jika yang menelepon wanita itu adalah bagian HRD. “Merasa senang, Pak,” jawabnya singkat. Ethand manggut-manggut. “Tempatkan dia di bagian IT.”“Iya, Pak.” Ryan pun keluar dari ruangan kerja Ethand setelah melihat instruksi Ethand lewat tangannya. “Jadi kamu sesenang itu?” Ethand tersenyum sinis. Mengingat raut wajah wanita itu membuatnya tersenyum sendiri. Namun tiba-tiba ia berbatuk paksa karena merasa seperti orang konyol yang tertawa sendiri.Ethand pun bangun dari kursi kerjanya. Ella dan Gregorio sudah menunggunya di bawah untuk makan malam bersama. Ketika menuruni tangga, ia dapat melihat mawar Sunsprite di vas bunga tepat di bawah tangga. “Apakah Mama tidak mengawetkan mawar kesukaan itu?” tanya Ethand yang berjalan mendekati meja makan.“Itu sisanya. Tiga tangkai sudah ibu ambil untuk diawetkan.” Ella meletakkan sebuah mangkuk sup di hadapan Ethand. “Ayo kita makan.” Mencium aroma makanan yang sudah lama dirindukan Ethand membuatnya tidak menunggu lama lagi untuk menghabiskannya. Ella tersenyum senang melihat putranya yang makan dengan lahap. “Apakah kamu masih ingat Liandra William?” tanya Gregorio yang masih mengunyah makanannya.“Liandra?” Ethand berusaha untuk mengingat. “Oh anaknya pak Lionel William.” Gregorio menganggukkan kepalanya. “Dia sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik loh, Thanks.” “Oh.” Jawaban singkat Ethand membuat orang tuanya saling bertatap.“Papa ingin menjodohkan kalian berdua.” Girogino dengan nada mantap, sedangkan Ethand menatap nanar tumpukan nasi dan lauk di atas piringnya.Selama 28 tahun hidup, masa remaja serta perjalanan menuju dewasa seorang Ethand Giorgino Alves tidak pernah diisi dengan hubungan romantis bersama kaumhawa. Ia sering mendapat pernyataan suka dari banyak wanita namun tidak dipedulikannya. Bahkan ia tidak segan memberikan kalimat pedas kepada para wanita. Ketiadaan pengalaman tersebut menjadi salah satu penyebab kecemasan orangtua terhadap hidup Ethand. Pertanyaan yang sering muncul ketika bertemu orangtua adalah, “Kapan dikenalin sama cewek kamu?” atau “Gimana? Udah ada cewe atau tunangan? Gimana udah ada yang mengisi kekosongan hati?”Jawaban yang Ethand berikan selalu sama. Kalau tidak menjawab, “belum ada”, maka akan menjawab “doain aja ya, semoga ketemu yang baik.”. Bahkan Ethand tidak menjawab sama sekali pertanyaan dari sebagian orang karena sudah merasa jengah dengan pertanyaan yang sama.Sesungguhnya Ethand memahami kecemasan orang tuanya. Ia juga telah memaklumi dan kebal ketika pertanyaan tersebut dilontarkan. Namun ternyata, Ethand kembali cemas ketika lingkungan pertemanan orangtua turut menanyakan hal tersebut kepadanya. Dan malam ini kedua orangtuanya bahkan berniat menjodohkan Ethand dengan wanita yang baru dua kali bertemu dengannya.“Maafkan aku, Pa. Aku akan menikah pada waktunya, pada waktuku sendiri bukan dengan perjodohan.” Ethand kembali melanjutkan menyantap makanannya. Gregorio tidak bisa berkata-kata lagi. Ella hanya terdiam. Ia tidak makan dan hanya memainkan sendoknya di atas tumpukan nasi. Putranya sungguh kuat pendiriannya. Jika sudah berkata demikian maka akan sangat sulit di bujuk.“Jika sudah ada yang berkenan di hati jangan lupa kenalin ke kita.” Gregorio berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika istrinya merasa kecewa dengan jawaban putranya. Ella sampai harus bertemu sendiri dengan Liandra serta membujuknya untuk menikah dengan Ethand. Setelah Liandra setuju tapi malah Ethand lah yang menolaknya.“Iya, Pa. Secepatnya aku akan mengenalkannya pada kalian.” 'Secepatnya?’ Ella sedikit terhibur dengan kalimat itu. Berarti ia tidak harus menunggu lama lagi. “Nanti mama tagih ucapan kamu malam ini.” Ella dengan nada keibuannya.Ethand hanya mengangguk dan memberikan senyum khasnya pada Ella. Ia juga tahu jika ibunya sangat menginginkan dirinya untuk segera menikah.Setelah mencari tahu ke Ryan, Ella tahu jika putranya tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun. Bahkan di luar negeri sekalipun.***Emma masih tersenyum bahagia. Ia tidak menyangka akan diterima di Alves Corp. “Kak, bolehkah aku minta ponselnya?” Suara Alin terdengar gugup. Ia bisa hidup tanpa uang tapi tidak bisa hidup tanpa ponsel.“Jangan harap.” Emma menatapnya tajam. Rasa kesalnya kembali muncul ketika mendengar permintaan Alin. “Cari uang sendiri dan beli.”Alin pun terdiam. Ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk meminta ponselnya namun gagal total karena Emma masih marah padanya.“Aku pasti akan ketinggalan informasi dari sekolah.” “Gunakan kakimu untuk pergi tanya langsung ke teman-temanmu.” Alin lagi-lagi gagal membujuk Emma. Ia akhirnya duduk di tepi ranjangnya. Uang yang disembunyikan di kamar mandi pun sudah diambil oleh Emma. Jika ia tidak mendapat uang bulanan maka tamatlah riwayatnya.“Semua gara-gara lelaki itu. Aku kan sudah bilang tidak menjualnya tapi malah mengeluarkan uangnya.” Umpat Alin dengan nada pelan takut di dengar oleh Emma. “Apa yang kamu gunakan?” tanya Emma.“Apakah aku bergumam?” tanya Alin membela diri dan takut ketahuan.“Jangan berani-berani mengambil barangku lagi. Jika terjadi lagi maka aku pastikan namamu tidak akan terdaftar di dalam kartu keluarga Jones.” Ancam Emma tegas.Jane ingin tertawa namun ditahannya. Emma sampai segitunya mengancam Alin. Alin pun mengangguk. Ia takut jika ancaman Emma benar-benar terjadi.“Dan juga, jika lelaki itu datang lagi segera hubungi saya.”Pagi ini Emma bangun lebih pagi. Ia sudah mandi dari subuh dan berdandan. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja. Emma tidak ingin terlambat di hari kerja pertamanya. Ia harus menunjukan bahwa ia benar-benar kompeten dan bertahan di Alves Corp yang akan menjadi rumah keduanya.“Ini mama sudah siapkan bekal.” Ester menyerahkan tupperware cokelat pada Emma.”Jangan lupa dimakan.”“Iya, Ma. Makasih,” ucap Emma tulus. Setelah menerima bekal dari Ester, Emma pun pamit dan berangkat ke Alves Corp. Ia tidak ingin memakai sepeda motor, takut dandanannya berantakan akhirnya ia memutuskan untuk naik bus.Hari yang cerah. Emma melihat jam di pergelangan tangannya. Masih banyak waktu. Ia duduk di halte bus dan menunggu bus tujuannya.Sepuluh menit kemudian bus akhirnya tiba. Sebagian kaum Adam dari dalam bus terus menatap Emma. Penampilan Emma hari ini benar-benar cantik. Baju kemeja putih berbahan katun yang dilipat sampai siku dan office skirt black berbahan polyester dan mode
Suasana pagi ini terasa berbeda. Ethand dengan setelan jas hitamnya sedang memakai jam tangan bermerek Rolex edisi terbatas. Rambutnya terlihat lembab dengan wajahnya yang maskulin dan rahangnya yang tegas. Pakaian santai yang biasa dipakainya ketika berada di Amerika kini tergantikan dengan pakaian formal dan membuat dirinya terlihat berbeda. Ketika berada di Amerika ia menyembunyikan statusnya sebagai pewaris tunggal Alves Corp. Hal itu dilakukannya agar dapat menemukan lingkungan yang tulus tanpa memandang latar belakangnya.Tok…tokEthand segera membalikkan badannya yang semula menghadap cermin dan berjalan menuju pintu. Ia segera membukanya. Terlihat Ella dengan raut wajah keibuannya.“Ternyata kamu sudah siap?”“Sudah, Ma.” Ethand dengan suara baritonnya. Ella menatap wajah putranya yang seakan tumbuh lebih cepat dan sudah sangat matang untuk menikah itu.“Mama lupa kalau kamu sudah besar dan mandiri.” Suara Ella membuat Ethand melingkarkan tangan dibahu i
Emma berlalu menuju tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Ethand menggigit bibir bawahnya dengan mata mengekori kemana Emma pergi. Ethand sedikit geram karena Emma tidak menjawab pertanyannya sehingga percakapan di antara keduanya menggantung. Emma menepuk-nepuk tangannya untuk sekedar membersihkan tangannya dari kotoran daun yang masih menempel di tangannya. Ia masih terus mengamati punggung wanita yang kini membelakanginya. Rambut hitam panjang dan pinggang yang ramping dan … Ethand sontak membuang tatapannya ke tempat lain karena Emma tiba-tiba berbalik dan mendapati manik hitamnya sedang menjelajahi tubuh Emma. Seperti pencuri yang ketahuan, raut wajah Ethand memerah dan ia sedang menahan napasnya. “Bodoh kamu, Thand.” Maki Ethand pada dirinya sendiri. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana kerjanya dan perlahan menghembuskan napasnya untuk sekadar melegakan dadanya dan jantungnya yang memburu. Emma menyadari
Emma berusaha menahan rasa gugupnya. Ia menyesal dan memaki dirinya sendiri karena tidak bisa menahan diri ketika melihat yang cantik-cantik, yaitu bunga.“Jika aku bertemu dengannya lagi, akan ku pastikan hidungnya patah.” Nada suara Emma terdengar serius. Wanita mana yang akan terima jika dirinya dikatakan murahan oleh lelaki yang belum sama sekali mengenalnya.Ting!Pintu lift terbuka tepat di lantai empat puluh sembilan. Emma memperbaiki kerak baju kemeja putihnya sebelum dengan percaya diri memasuki ruangan yang akan menjadi rumah keduanya sehari-hari.Emma terpana dengan desain interior ruangan itu. Interior dengan gaya Victoria terlihat sangat elegan dan mewah. Ruangan itu bagaikan sebuah hotel jika peralatan elektronik tidak tersusun di atas sebuah meja panjang, pengunjung pasti akan salah mengiranya. Ruangan yang di dominasi oleh warna hijau sehingga memberi atmosfer sejuk dengan beberapa tanaman hijau di beberapa sudut ruangan. Permadani berwarna hi
“Bukankah lantai empat puluh lima memang disediakan untuk para pegawai, Pak?” tanya Json , pria berkepala botak tadi.“Memang benar. Namun karena keterlambatan, maka Emma mendapat punishment dari beliau,” jelas Ryan.“Tapi, hari ini pekerjaannya lumayan banyak, Pak. Belum lagi komputer di sana harus kita perbaiki dan install ulang Windows-nya.” Mac merasa tidak tega juga mengingat begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.Emma hanya mengamati para lelaki itu berdebat secara bergantian. Ketika memasuki ruangan tadi, ia sudah melihat beberapa komputer di atas meja panjang. Perihal menginstal ulang, sudah biasa di lakukannya. Namun untuk memperbaiki kerusakannya perlu data dari pegawai yang sudah menganalisanya.Ryan terdiam sejenak dan berpikir. “Apakah kamu sanggup melakukannya, Emma?” tanya Ryan kemudian.“Bisa, Pak. Jika teman-teman lain dapat menjelaskan kerusakannya di bagian mana,” jawab Emma mantap.Ryan tersenyum lega. Para lelaki hanya mengge
Kampus Merbaya Tahun 2015.“Apakah benar situs web kampus telah di retas?” Suara seorang mahasiswa di tengah kerumunan yang sedang bergunjing. Mereka memegang ponsel sembari menutup mulut dan mata memelotot karena melihat web kampus berisi kritikan pedas dan gambar Rektor yang sudah di edit menjadi bentuk meme yang sangat lucu untuk di pandang.“Ini baru betul. Aku salut sama peretas ini.” Suara mahasiswa lainnya memuji dan manggut-manggut tanda setuju.Kampus Merbaya yang merupakan kampus ternama kini seakan terbalik. Di serang oleh peretas handal dan membocorkan beberapa rahasia kampus seperti pemberian beasiswa pada keluarga dan kerabat dosen dan pegawai kampus saja.“Mahasiswa jurusan Information Technology berkumpul di aula jurusan.” Terdengar pengumuman di seluruh kampus memanggil mahasiswa dan mahasiswi IT untuk berkumpul.“Semoga saja bisa menyelesaikan masalah kampus kita yah.” Beberapa mahasiswa harap-harap cemas. Mereka berharap agar
“Aku belum pernah melihat seorang programmer begitu cepat menemukan masalah dan menyelesaikan coding.” Suara Trojan yang entah sejak kapan berdiri di belakang Sobig. Bukan hanya Trojan saja tetapi Mac juga ada di sana. Mereka dengan mata memelotot dan belum percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kamu benar-benar hebat, Emma.” Puji Trojan lagi.Emma hanya menyeringai dan langsung bangkit berdiri dari kursi Sobig. “Mohon bimbingannya untuk kerja selanjutnya,” pinta Emma pada ketiga lelaki yang menatap kagum padanya.“Aku akan membantu kamu,” ucap Mac.“Aku juga.” Trojan juga tidak mau kalah. Mereka berebut untuk menolong Emma. Sangat langka menemukan wanita cantik dan jenius seperti Emma.“Apakah diperbolehkan?” tanya Emma lagi. Sebelumnya sudah diberitahuka oleh Ryan bahwa Emma-lah yang harus menyelesaikan semua pekerjaan hari ini.“Aku akan meretas cctv di ruangan kita ini.” Trojan berinisiatif agar pertolongan mereka tidak ketahuan. Mac mengangguk setuju. “Komputer di
Di kursi kebesarannya, Ethand duduk terdiam menatap bunga hortensia yang di rawatnya seperti anak sendiri. Keindahan bunga tersebut tidak mampu menghibur hatinya. Pikirannya di penuhi oleh wanita yang baru beberapa kali ditemuinya, Emma Liandra Jones.“Komputer ini sepertinya eror. Panggilkan wanita itu untuk memperbaikinya.” Perintah Ethand pada Ryan yang berdiri menatap bingung dirinya sejak setengah jam yang lalu. Komputer itu belum dinyalakan namun atasannya sudah menilainya error. Ryan menggeleng kepalanya heran. Namun atasan tetap atasan. Dengan cepat ia merogoh ponsel dari saku celana kerjanya dan menelepon manajer tim IT.“Sudah dihubungi, Pak.” Ryan kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celana dan kembali berdiri tegak dihadapan atasannya itu.“Silahkan tunggu di meja kerjamu.” Perintah Ethand. Ryan langsung menunduk sejenak ke arah Ethand dan berbalik pergi dari ruangan kerja Ethand.Ethand melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Ibu jarinya menge