Pagi ini Emma bangun lebih pagi. Ia sudah mandi dari subuh dan berdandan. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja. Emma tidak ingin terlambat di hari kerja pertamanya. Ia harus menunjukan bahwa ia benar-benar kompeten dan bertahan di Alves Corp yang akan menjadi rumah keduanya.
“Ini mama sudah siapkan bekal.” Ester menyerahkan tupperware cokelat pada Emma.”Jangan lupa dimakan.”“Iya, Ma. Makasih,” ucap Emma tulus. Setelah menerima bekal dari Ester, Emma pun pamit dan berangkat ke Alves Corp. Ia tidak ingin memakai sepeda motor, takut dandanannya berantakan akhirnya ia memutuskan untuk naik bus.Hari yang cerah. Emma melihat jam di pergelangan tangannya. Masih banyak waktu. Ia duduk di halte bus dan menunggu bus tujuannya.Sepuluh menit kemudian bus akhirnya tiba. Sebagian kaum Adam dari dalam bus terus menatap Emma. Penampilan Emma hari ini benar-benar cantik. Baju kemeja putih berbahan katun yang dilipat sampai siku dan office skirt black berbahan polyester dan model span membuat Emma terlihat seksi dan cantik.Emma hanya tertunduk dan berjalan menuju kursi paling belakang. Hal itu dilakukannya karena ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Namun ketika ia sudah duduk di belakang, beberapa lelaki masih menoleh dan melihat ke arahnya. Bukan baru pertama Emma menjadi pusat perhatian dan itu senantiasa mengganggunya.Tidak lama kemudian Emma mengambil headset dari dalam tas kerjanya. Ia ingin mendengar musik dari pada harus menatap netra para lelaki yang melihat ke arahnya. Setelah memasang headset di telinga, Emma melihat ke luar kaca mobil diiringi alunan music klasik yang menjadi musik favoritnya.Lima belas menit kemudian gedung berbentuk piramid dan di dominasi oleh kaca terlihat dari kejauhan. Anna sudah semakin gugup karena hari ini adalah hari pertamanya bekerja.Setelah membayar ongkos bus, Emma melangkah dengan percaya diri menuju Alves Corp.BIP...Bel panjang dari sebuah mobil di belakang Emma membuat Emma terkejut dan menekan dadanya. Dengan cepat Emma menyingkir ke kanan jalan. “Mobil itu?” gumam Emma ketika melihat mobil yang tidak asing. Ia lupa pernah melihatnya di mana. Diingatnya sejenak sambil terus menatap mobil yag diketahui Emma setara dengan harga sebuah rumah mewah itu.“Dasar lelaki tidak tahu malu,” umpat Emma ketika mengingat siapa pemilik mobil itu. “Jadi dia seniorku di sini? Dunia memang selebar daun kelor.” Anna berpikir jika lelaki itu bekerja di cabang luar kota tapi ternyata di Alves Corp. Tidak ingin menghabiskan waktunya dengan mengumpat lelaki itu, Emma pun kembali melangkah kan kaki menuju pintu masuk Alves Corp.“Selamat pagi,” sapa Emma pada satpam yang berjaga di depan pintu masuk.“Anda siapa dan ada perlu apa, Bu?” tanya satpam itu dengan mata menatap Emma naik turun.“Maaf, saya pegawai baru yang diwawancarai kemarin.” Emma menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena merasa risih dengan tatapan satpam itu.Mendengar bahwa pegawai baru, satpam itu pun akhirnya menunjuk ke salah satu ruangan. Ia pun segera menormalkan tatapan buayanya. “Laporkan diri anda di sana terlebih dahulu.” “Terima kasih, Pak,” jawab Emma dengan nada lembut dan tidak ingin membuat satpam merasa kurang enak padanya karena tatapan khas lelaki mata keranjang ketika melihat wanita cantik.Emma berjalan menuju ruangan yang ditunjuk satpam. Setelah sampai ia mengetuk pintu ruangan itu. Dua kali ia mengetuk namun pintu itu tidak bergerak sedikit pun.“Maaf, Bu. Orangnya belum datang, silahkan tunggu di sofa yang telah disediakan” ucap seorang cleaning service wanita yang memegang cling pembersih kaca.“Oh, terima kasih, Bu,” ujar Emma.Emma berniat untuk duduk namun beberapa orang sedang tergesa-gesa dan berlari. Entah apa yang membuat mereka seperti itu padahal ini masih pagi. Emma pun berdiri di depan ruangan itu.Tidak lama kemudian beberapa rombongan dengan seorang lelaki berjas hitam memimpin langkah mereka memasuki Alves Corp. Lelaki yang memimpin terlihat masih sangat muda dibandingkan beberapa lelaki paruh baya dan ada sebagian lelaki sudah memiliki rambut putih.Anna menajamkan penglihatannya. Ia seperti mengenal wajah lelaki itu. “Permisi.” Suara seorang lelaki membuat pandangan Emma pada lelaki itu terhalang. “Apakah anda saudari Emma Liandra Jones?” tanya lelaki itu lagi.“Iya, benar,” jawab Emma dengan mata masih tertuju pada rombongan lelaki yang berjalan dengan rapi menuju lift.“Silahkan ikut saya.” Suara lelaki itu membuat Emma lekas berpaling dan melihat wajahnya. “Baik, Pak.” Sekilas Emma ingin melihat lelaki itu namun mereka sudah memasuki lift. Terbersit kekecewaan di dalam hatinya. Dengan cepat Emma menormalkan raut wajahnya dan mengikuti langkah kaki lelaki dihadapannya. Tanpa disadarinya jika manik hitam milik lelaki dari balik lift yang hampir tertutup juga menatap ke arahnya.Emma yang sudah lama tidak mengenakan sepatu berhak tinggi merasa bahwa kakinya sudah sedikit sakit. Entah karena kakinya yang tidak terbiasa mengenakannya atau langkah kaki lelaki dihadapannya yang terlalu cepat.“Silahkan tunggu di sini, Bu.” Lelaki itu mempersilahkan Emma duduk di sebuah bangku tepat di rungan tanpa tuliasan. Alves Corp sangat sejuk dan bersih. Hal itu menandakan bahwa perusahaan ini sangat luar biasa dari hal kecil sampai hal besar.Emma pun menurut dan mendaratkan bokongnya di bangku yang sedikit empuk itu. ia merapikan kemeja putihnya agar jangan kusut. Tidak lama kemudian terdengar pintu di buka.“Silahkan masuk, Bu.” Emma langsung berdiri dan memasukan rambut hitam panjangnya ke samping telinga. Setelah menghembuskan napas pelan ia pun memasuki ruangan itu.Ketika pintu ruangan di tutup oleh Emma, betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang lelaki yang masih sangat muda duduk di sebuah kursi dengan tangan memegang sebuah berkas. Dapat dipastikan olehnya bahwa lelaki itu adalah seorang workaholich yang hidupnya hanya fokus bekerja.“Silahkan duduk.” Terdengar nada tegas dari pria itu. Ia sengaja datang pagi hari ini dan tidak menjemput atasannya karena telah mendapat perintah dari Ethand untuk bertemu secara langsung dengan wanita yang sedang berjalan ke arahnya itu. Ia menelan salivanya ketika wajah cantik Emma dengan hodeed eyesnya beradu dengan matanya. “Terima kasih.” Emma segera mengikuti perintah dari lelaki yang belum dikenalnya itu.“Perkenalkan saya Ryan, sekretaris dari CEO perusahaan ini.” Ryan mengulurkan tangannya ke hadapan Emma. Dengan cepat Emma berdiri dan menerima uluran tangan itu. Tas yang dipangkunya seketika jatuh dan mengenai kakinya. Emma tidak menghiraukan hal itu dan berbuat seperti tidak terjadi apa-apa.“Saya Emma Liandra Jones, Pak.” Sebuah senyum khasnya keluar dan membuat uluran tangan itu terasa sedikit lama. Wajah Emma mulai memerah ketika netra Ryan yang terus menatap wajahnya.“Ah, uhukk.. Silahkan duduk Emma.” Ryan sengaja membatuk untuk mencairkan suasana dan juga menormalkan detak jantungnya ketika menatap Emma tadi. Ia segera mengambil segelas air minum dan meminumnya sampai habis. Baru disadarinya jika kedua kalinya ia menyuruh Emma duduk. Dalam hatinya ia mengutuk dirinya sendiri.“Baik, Pak.” Emma tetap bersikap normal dan kembali mendaratkan bokongnya di kursi yang sangat empuk dari kursi sebelumnya. Tangannya dengan cepat memungut tas yang terjatuh di kakinya lalu kembali menormalkan posisi duduknya. Ryan membuang tatapannya ke arah lain dan memilih untuk tidak menatap hodeed eyes milik Emma. “Anda diterima dan ditempatkan di dalam tim IT. Dan berdasarkan keputusan dari atasan kami bahwa anda akan dipantau selama tiga bulan. Jika kinerja anda bagus akan tetap bekerja dan diangkat menjadi pegawai tetap. Jika sebaliknya maka anda harus berhenti.” Ryan perlahan menoleh ke arah Emma.“Saya siap, Pak.” Emma menjawab dengan nada semangat. Baginya bidang IT adalah sarapannya setiap hari. Selagi itu menyangkut IT, Emma tidak ragu untuk menyanggupi perkataan sekretaris Alves Corp tersebut.“Baiklah. Selamat bergabung di Alves Corp, Emma.” Ryan kembali mengulurkan tangannya sebagai tanda selamat datang untuk wanita pemilik bermata hodeed itu. Sungguh pesonanya mampu membuat Ryan enggan berpaling. Belum lagi senyumnya seakan menjadi candu bagi setiap kaum adam yang memandangnya.“Terima kasih, Pak.” Emma lagi-lagi menyambut uluran tangan Ryan dengan harapan kejadian sebelumnya tidak terulang kembali. “Ruang kerja tim IT berada di lantai empat puluh Sembilan.” Ryan kemudian memberikan sedikit senyum kea rah Emma dan melepaskan genggaman tangannya di tangan Emma.“Baik, Pak.” Emma yang sedang menggenggam tas dengan tangan kirinya kemudian menyampirkan tasnya di bahu kanan. Ia sedikit menundukkan kepala ke arah Ryan. “Saya permisi, Pak.” Emma pun berbalik dan meninggalkan Ryan yang masih terpana dengan senyum manisnya.“Wanita yang mampu membuat seorang CEO Alves Corp penasaran,” gumam Ryan pelan sambil menatap punggung Emma yang sudah keluar dari ruangan itu.Suasana pagi ini terasa berbeda. Ethand dengan setelan jas hitamnya sedang memakai jam tangan bermerek Rolex edisi terbatas. Rambutnya terlihat lembab dengan wajahnya yang maskulin dan rahangnya yang tegas. Pakaian santai yang biasa dipakainya ketika berada di Amerika kini tergantikan dengan pakaian formal dan membuat dirinya terlihat berbeda. Ketika berada di Amerika ia menyembunyikan statusnya sebagai pewaris tunggal Alves Corp. Hal itu dilakukannya agar dapat menemukan lingkungan yang tulus tanpa memandang latar belakangnya.Tok…tokEthand segera membalikkan badannya yang semula menghadap cermin dan berjalan menuju pintu. Ia segera membukanya. Terlihat Ella dengan raut wajah keibuannya.“Ternyata kamu sudah siap?”“Sudah, Ma.” Ethand dengan suara baritonnya. Ella menatap wajah putranya yang seakan tumbuh lebih cepat dan sudah sangat matang untuk menikah itu.“Mama lupa kalau kamu sudah besar dan mandiri.” Suara Ella membuat Ethand melingkarkan tangan dibahu i
Emma berlalu menuju tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Ethand menggigit bibir bawahnya dengan mata mengekori kemana Emma pergi. Ethand sedikit geram karena Emma tidak menjawab pertanyannya sehingga percakapan di antara keduanya menggantung. Emma menepuk-nepuk tangannya untuk sekedar membersihkan tangannya dari kotoran daun yang masih menempel di tangannya. Ia masih terus mengamati punggung wanita yang kini membelakanginya. Rambut hitam panjang dan pinggang yang ramping dan … Ethand sontak membuang tatapannya ke tempat lain karena Emma tiba-tiba berbalik dan mendapati manik hitamnya sedang menjelajahi tubuh Emma. Seperti pencuri yang ketahuan, raut wajah Ethand memerah dan ia sedang menahan napasnya. “Bodoh kamu, Thand.” Maki Ethand pada dirinya sendiri. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana kerjanya dan perlahan menghembuskan napasnya untuk sekadar melegakan dadanya dan jantungnya yang memburu. Emma menyadari
Emma berusaha menahan rasa gugupnya. Ia menyesal dan memaki dirinya sendiri karena tidak bisa menahan diri ketika melihat yang cantik-cantik, yaitu bunga.“Jika aku bertemu dengannya lagi, akan ku pastikan hidungnya patah.” Nada suara Emma terdengar serius. Wanita mana yang akan terima jika dirinya dikatakan murahan oleh lelaki yang belum sama sekali mengenalnya.Ting!Pintu lift terbuka tepat di lantai empat puluh sembilan. Emma memperbaiki kerak baju kemeja putihnya sebelum dengan percaya diri memasuki ruangan yang akan menjadi rumah keduanya sehari-hari.Emma terpana dengan desain interior ruangan itu. Interior dengan gaya Victoria terlihat sangat elegan dan mewah. Ruangan itu bagaikan sebuah hotel jika peralatan elektronik tidak tersusun di atas sebuah meja panjang, pengunjung pasti akan salah mengiranya. Ruangan yang di dominasi oleh warna hijau sehingga memberi atmosfer sejuk dengan beberapa tanaman hijau di beberapa sudut ruangan. Permadani berwarna hi
“Bukankah lantai empat puluh lima memang disediakan untuk para pegawai, Pak?” tanya Json , pria berkepala botak tadi.“Memang benar. Namun karena keterlambatan, maka Emma mendapat punishment dari beliau,” jelas Ryan.“Tapi, hari ini pekerjaannya lumayan banyak, Pak. Belum lagi komputer di sana harus kita perbaiki dan install ulang Windows-nya.” Mac merasa tidak tega juga mengingat begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.Emma hanya mengamati para lelaki itu berdebat secara bergantian. Ketika memasuki ruangan tadi, ia sudah melihat beberapa komputer di atas meja panjang. Perihal menginstal ulang, sudah biasa di lakukannya. Namun untuk memperbaiki kerusakannya perlu data dari pegawai yang sudah menganalisanya.Ryan terdiam sejenak dan berpikir. “Apakah kamu sanggup melakukannya, Emma?” tanya Ryan kemudian.“Bisa, Pak. Jika teman-teman lain dapat menjelaskan kerusakannya di bagian mana,” jawab Emma mantap.Ryan tersenyum lega. Para lelaki hanya mengge
Kampus Merbaya Tahun 2015.“Apakah benar situs web kampus telah di retas?” Suara seorang mahasiswa di tengah kerumunan yang sedang bergunjing. Mereka memegang ponsel sembari menutup mulut dan mata memelotot karena melihat web kampus berisi kritikan pedas dan gambar Rektor yang sudah di edit menjadi bentuk meme yang sangat lucu untuk di pandang.“Ini baru betul. Aku salut sama peretas ini.” Suara mahasiswa lainnya memuji dan manggut-manggut tanda setuju.Kampus Merbaya yang merupakan kampus ternama kini seakan terbalik. Di serang oleh peretas handal dan membocorkan beberapa rahasia kampus seperti pemberian beasiswa pada keluarga dan kerabat dosen dan pegawai kampus saja.“Mahasiswa jurusan Information Technology berkumpul di aula jurusan.” Terdengar pengumuman di seluruh kampus memanggil mahasiswa dan mahasiswi IT untuk berkumpul.“Semoga saja bisa menyelesaikan masalah kampus kita yah.” Beberapa mahasiswa harap-harap cemas. Mereka berharap agar
“Aku belum pernah melihat seorang programmer begitu cepat menemukan masalah dan menyelesaikan coding.” Suara Trojan yang entah sejak kapan berdiri di belakang Sobig. Bukan hanya Trojan saja tetapi Mac juga ada di sana. Mereka dengan mata memelotot dan belum percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kamu benar-benar hebat, Emma.” Puji Trojan lagi.Emma hanya menyeringai dan langsung bangkit berdiri dari kursi Sobig. “Mohon bimbingannya untuk kerja selanjutnya,” pinta Emma pada ketiga lelaki yang menatap kagum padanya.“Aku akan membantu kamu,” ucap Mac.“Aku juga.” Trojan juga tidak mau kalah. Mereka berebut untuk menolong Emma. Sangat langka menemukan wanita cantik dan jenius seperti Emma.“Apakah diperbolehkan?” tanya Emma lagi. Sebelumnya sudah diberitahuka oleh Ryan bahwa Emma-lah yang harus menyelesaikan semua pekerjaan hari ini.“Aku akan meretas cctv di ruangan kita ini.” Trojan berinisiatif agar pertolongan mereka tidak ketahuan. Mac mengangguk setuju. “Komputer di
Di kursi kebesarannya, Ethand duduk terdiam menatap bunga hortensia yang di rawatnya seperti anak sendiri. Keindahan bunga tersebut tidak mampu menghibur hatinya. Pikirannya di penuhi oleh wanita yang baru beberapa kali ditemuinya, Emma Liandra Jones.“Komputer ini sepertinya eror. Panggilkan wanita itu untuk memperbaikinya.” Perintah Ethand pada Ryan yang berdiri menatap bingung dirinya sejak setengah jam yang lalu. Komputer itu belum dinyalakan namun atasannya sudah menilainya error. Ryan menggeleng kepalanya heran. Namun atasan tetap atasan. Dengan cepat ia merogoh ponsel dari saku celana kerjanya dan menelepon manajer tim IT.“Sudah dihubungi, Pak.” Ryan kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celana dan kembali berdiri tegak dihadapan atasannya itu.“Silahkan tunggu di meja kerjamu.” Perintah Ethand. Ryan langsung menunduk sejenak ke arah Ethand dan berbalik pergi dari ruangan kerja Ethand.Ethand melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Ibu jarinya menge
“Bagaimana tampang CEO baru kita, Emma?” tanya Trojan ketika melihat Emma sudah kembali. Mac dan yang lainnya juga turut menunggu jawaban dari Emma. Sejak pergantian CEO, mereka belum pernah bertemu CEO baru tersebut. Mereka hanya mendengar jika CEO baru itu sangat kompeten dan terkesan kejam.“Masih sangat muda,” jawab Emma lalu berjalan menuju meja kerjanya. Sobig hanya melihat Emma sebentar dan membiarkan yang lainnya menginterogasi Emma.“Apakah seumuran denganku?” tanya Mac ingin tahu.Emma memperhatikan Mac sejenak. “Kurang lebih.”“Jadi benar CEO baru kita adalah cucu tunggal dari tuan Alves. Dia sudah kembali.” Ucapan Mac membuat yang lainnya bingung.“Apa maksud dari perkataanmu, Mac?” tanya Ruby.“Namanya adalah Ethand. Sebelumnya dia berkuliah di luar negeri. Aku tidak tahu pasti di negara mana ia menuntut ilmu. Yang jelas, semenjak ia kuliah, CEO baru kita tidak pernah kembali. Banyak yang berpikir ia telah meninggal. Namun pada kenyat