“Hentikan semua ini, Adrian!” pekik Carissa ketika dia melihatku tak mengenakan sehelai pun kain. “Tidak saya sangka, penyakit mentalmu semakin parah, Adrian!”
Dia menatapku dengan tajam, berusaha mengintimidasi diriku. Sedangkan, aku sendiri terbengong dengan mata terbelalak.
Carissa tak sendirian, tetapi ia bersama Elaine yang tengah bersandar di dinding sambil menyesap rokoknya.
“Kamu sangat mengecewakan, Adrian!”
“Woy, woy! Yang benar aja! Lo nggak lihat gue lagi—”
Kosong. Kiana benar-benar lenyap hingga akhirnya membuatku lebih terkejut mengetahui kenyataan tersebut.
“Kiana?! Kiana! Kiana!” Berkali-kali aku berteriak, perempuan itu tak juga menampakkan keberadaan.
Aku mungkin telah menjadi gila. Sekarang, diriku hanya bisa menutup wajah menggunakan dua tangan, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangku.
“Dari awal, saya sudah mengatakannya p
Saat membuka mata, lalu melihat jam yang terletak di atas nakas, jarum pendek telah menunjukkan pukul 10.00 pagi.Aroma masakan menguar hingga kamarku dan memicu rasa lapar yang sangat kuat. Akhirnya, tak berselang lama, perut pun berbunyi, menandakan telah ingin diisi oleh makanan yang lezat.Ternyata, aku bisa tidur juga. Dini hari itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Yang jelas, aku hanya mengingat bahwa Carissa dan Elaine bisa lebih banyak menenangkan diriku.“Hai, Adrian! Selamat pagi, Sayang! Kamu sudah bangun ternyata.”Suara Carissa yang penuh semangat langsung menular pada diriku. Ditambah senyumannya yang merekah. Dirinya yang mengenakan celemek berwarna hitam terlihat sangat manis.Tak lupa, rambut panjangnya itu diikat dengan gaya kucir sehingga dirinya yang lebih tua dariku tidak terlihat cukup dewasa.“Bangunlah, Adrian. Ayo, sarapan dulu. Saya sudah membuatkanmu banyak sekali makanan. Kamu harus segera
Di suatu sore, ketika aku lagi-lagi termenung di sofa sendirian, ada banyak hal yang kepalaku coba telaah dan hati terbilang masih cukup sulit untuk merasa.Hal-hal yang telah terjadi terasa begitu ganjil dan seolah-olah ingkar dari kenyataan. Dunia yang penuh kebahagiaan, akhirnya menjadi dilema untuk terus dijalani atau ditinggalkan saja.Beberapa hari ini, Carissa tinggal di rumahku. Yah, aku memang sudah tak keberatan dengan keberadaannya. Sebab, dia telah jauh berbeda dari pertama kali bertemu dengannya.Tidak ada lagi pertengkaran yang terjadi di antara kami. Malah, dia dengan sukarela selalu membuatkan makan untukku, membelikan sesuatu jika perlu, serta melakukan beberapa pekerjaan rumah yang terbilang sangat malas aku kerjakan.Seperti yang kalian ketahui, aku tidak punya yang namanya asisten rumah tangga. Oleh sebab itu, Carissa-lah yang melakukannya untukku.“Kamu lagi nyantai, ya, Adrian.”Wanita ini duduk di sampingku
Aku mengakui cukup kebingungan dalam beberapa waktu dan hanya bisa tertunduk sambil berpikir. Sementara itu, Carissa tetap berbicara.Entah mengapa wanita ini sekarang berbicara dan bertindak seperti Kiana. Dan yang membuatku cukup tercengang ialah senyumannya yang begitu hangat dan hampir tak ada perbedaan dengan Kiana.“Ada apa, Adrian?” Carissa mungkin telah menyadari bahwa diriku sudah terlihat berbeda.Maksudku, aku tidak lagi terlihat menikmati obrolan kami. Memang benar, bahwa suasana hatiku perlahan-lahan kembali memburuk dengan praduga yang semakin membingungkan.Kuangkat kepala dan tatap wajah Carissa dengan tajam. Dia mengernyit heran.“Lo berusaha meniru Kiana!”Carissa terdiam sejenak. Kami hanya bersitatap dalam beberapa waktu terakhir. Tanganku masih Carissa genggam, tetapi elusannya telah perlahan berhenti.“Apa sekarang saya terlihat seperti Kiana bagimu?” Dia justru bertanya balik.
“Di taman inilah tempat gue pertama kali ketemu dengan Kiana. Bukan, maksud gue, saling bicara.”Carissa bergerak maju menuju bangku memanjang yang merupakan tempat diriku dan Kiana pertama kali saling berkomunikasi. Sebelum mulai duduk, dia menatap bangku tersebut.Setelah mengempaskan pantat, Carissa berkata, “Ayo, duduk di sini, Adrian.”Kutanggapi tawarannya dengan anggukan pelan, lalu duduk di sebelah Carissa. Hampir tak ada jarak di antara kami. Dan debaran jantungku masih sama seperti beberapa waktu lalu.Hal yang menjadi perhatianku ialah, Carissa yang selalu tampil begitu elegan. Mengenakan gaun dengan rok selutut yang membuat dirinya terlihat sepantaran denganku.Nyatanya, dia sedikit lebih tua dan dewasa dariku.Kini, aku tertunduk menatap rerumputan kering tempat kakiku berpijak. Tak lama, Carissa meraih lenganku dan menggandengnya.Kontan aku terkejut dan menatapnya. Dia pun tersenyum dengan kehang
Rembulan malam telah mulai meninggi di kubah langit. Para pengunjung taman, demikian telah berkurang satu per satu. Sementara aku dan Carissa, masih menikmati malam indah ini dengan saling memancarkan keyakinan agar lebih kuat dan terarah.Tiba-tiba, Carissa terkikik pelan.“Saya jadi merasa muda kembali malam ini, Adrian.”Padahal bagiku, Carissa masih sangatlah muda. Mungkin jiwanya yang terlewat dewasa. Hanya saja, secara fisik, dia masih terlihat muda dengan kulit yang kencang dan bersih.Sama seperti Elaine yang sebenarnya di usia yang tak lagi terbilang muda, seharusnya kecantikan wanita itu memudar. Akan tetapi, dalam pandanganku, dia masih terlihat sangat elegan. Dan tentu saja, kerap kali membangkitkan gairah di dalam diri.“Bagi gue, lo masih muda, Carissa. Mungkin jiwa lo aja yang kelewat dewasa.”“Oh, ya?!” Carissa terkesima. “Saya jadi senang sekali malam ini. Memang tidak ada penyesalan
Tak bisa aku memasrahkan seluruh tubuh diganyang habis oleh Carissa. Maka, hanya aktivitas ringan yang kami lakukan.Ketika bibirku menempel pada bibir tipis Carissa, seketika kulihat Kiana berdiri di belakang wanita ini sambil menyunggingkan sebuah senyuman.Kontan saja kuhentikan aktivitasku dengan Carissa. Dengan tatapan nanar, aku memandang lurus. Namun, Kiana tak benar-benar ada di tempatnya berdiri barusan.“Ada apa, Adrian?”Tentu saja, Carissa bertanya dan mulai meneliti arah pandangku.Aku begitu takut jika pada akhirnya Kiana akan marah dan berpaling dariku. Meski sebelumnya, ketika bersama Carissa, keberadaannya telah samar dan kepalaku melupakannya sejenak.“Kiana. Gue lihat Kiana di sana berdiri.”Dahi Carissa mengerut. Segera dia beranjak bangkit dari sofa dan menuju ke arah yang aku tunjuk.“Di mana, Adrian?”“Di samping lemari itu.”Wanita tersebut ba
Ketika membuka kedua mata, telah ada Carissa yang duduk di tepi ranjang sembari menatapku dengan senyuman lebar.“Bangun juga, Adrian.”Segera aku beranjak duduk.“Aduh, lo sejak kapan di sini?” tanyaku seraya mengusap-usap wajah dan kedua mata yang mungkin diselimuti kotoran.“Baru aja, kok. Saya suka melihat kamu saat tidur.”Pagi-pagi, Carissa sudah membuatku tersipu malu.Ya, ampun, wanita ini!“Thanks, ya, atas selimut tadi malam. Kamu sangat perhatian dan peduli.”“Ya, sama-sama. Gue cuma melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Lagian, lo bisa kedinginan kalau nggak pakai selimut.”Dari yang terlihat, Carissa sepertinya sudah bersih dan wangi. Itu artinya, dia sudah mandi sebelum masuk ke kamarku.“Sekarang, kamu harus mandi, ya. Saya akan mengajakmu ke acara resepsi pernikahan salah satu teman saya.”Mataku terbelalak. “Ke
“Carissa! Wow! Kamu sama ….”Tiba-tiba saja, seorang perempuan menghampiri dan terlihat sangat terkejut sambil menunjuk diriku.“Oh, kenalin. Adrian, dia teman saya, namanya Tika.”“Salam kenal, Tika. Gue—”“Kamu Adrian Satria Sanjaya?!” potongnya dengan segera, masih dengan wajah terkejut dan mulut menganga.Carissa yang melihat ekspresi temannya itu pun tertawa kecil.“Maafkan dia, Adrian. Orangnya memang seperti ini. Palingan, dia mengenalmu sebagai aktor film.”“Ya! Gue tahu, dong, si Adrian ini. Ya, ampun. Sebuah keberuntungan bisa bertemu dengan orang yang sangat terkenal.”Tak sungkan, teman Carissa bernama Tika ini memegang-megang rahangku, seperti sedang memeriksa keaslian wajahku saja.“Tika, jangan lakukan itu. Kebiasaanmu dari dulu tidak pernah berubah,” ketus Carissa yang tak suka akibat perlakuan Tika padaku.