Share

Hilang Fokus

"Aku beneran nggak bisa antar kamu, Sayang."

Rayna tersenyum kecut, selalu saja mendapat penolakan dari Zidan. Padahal dia hanya menginginkan ditemani oleh pria itu.

"Alasannya sibuk lagi?" tanya wanita itu sambil tersenyum miris.

"Iya, kafenya ramai banget."

"Nggak ada alasan lain selain kafe ramai? Dari dulu selalu itu saja yang kamu ucapkan."

"Maaf, Sayang. Aku memang berbicara jujur. Harusnya kamu senang, dong, karena nanti kalau kita sudah menikah, hidup kita nggak bakalan susah lagi," terang pria itu dari ujung sana.

"Aku cuma butuh waktu kamu, Dan. Nggak lebih." Rayna memohon, rasanya sungguh lelah karena setiap dirinya ingin mengajak calon suaminya bertemu, Zidan selalu saja menolak.

Dari ujung sana, Zidan menghela napas berat. "Maaf, Rayna. Aku beneran nggak bisa, lain waktu aja ya. Atau kamu pergi ke toko buku aja sendiri. Sekali lagi maaf, aku melakukan semua ini untuk masa depan kita."

Rayna mengepalkan tangannya. Rasanya sudah muak dengan alasan yang Zidan lontarkan. Pria itu terlalu berambisi dengan uang, sampai-sampai orang terdekatnya saja sudah dilupakan.

"Ya sudah, terserah kamu saja. Maaf karena sudah mengganggu waktumu," sahut wanita itu lirih.

"Kamu nggak marah, kan?" tanya Zidan memastikan.

"Lebih tepatnya kecewa," ungkap Rayna.

"Maaf, Rayna."

Rayna sudah tak ingin mendengar suara pria itu lagi, dia langsung mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Rayna menaruh ponselnya di meja, kemudian wanita itu menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya.

Dia merasa, calon suaminya itu sudah jauh berubah. Bukan lagi Zidan yang dulu dia kenal, yang terlihat apa adanya, selalu meluangkan waktu untuknya, selalu perhatian. Namun sekarang, pria itu tak lagi sama, semenjak usahanya yang pria itu rintis meningkat pesat.

Bukan Rayna tak mendukung Zidan, Rayna bahkan sesekali turut ikut andil jika Zidan membutuhkan bantuan. Namun tiba-tiba saja Zidan melarangnya karena kafenya sudah merekrut beberapa karyawan, dan sekarang dia jarang mengunjungi kafe calon suaminya itu karena Zidan yang melarangnya.

Sampai detik ini Zidan tak mengizinkan Rayna untuk kembali bekerja. Pria itu mengatakan sanggup membiayai kebutuhan Rayna.

Awalnya Rayna menolak, biar bagaimanapun status mereka itu hanya calon. Rayna tak bisa memprediksi kehidupan selanjutnya seperti apa, tapi karena sifat keras kepala pria itu, mau tak mau Rayna pun mengalah.

Namun, semakin ke sini Rayna sadar, sepertinya dia sudah salah mengambil keputusan.

"Sampai kapan kita akan seperti ini terus, Zidan. Kamu selalu aja nggak ada waktu untuk aku. Jika boleh memilih, aku lebih suka dengan sifat kamu yang dulu, Dan. Daripada yang sekarang, kamu banyak berubah," gumam wanita itu.

Rayna bangkit dari duduknya, dia bertekad ingin mengunjungi toko buku sendiri. Meskipun Zidan mengatakan lain kali akan menemaninya, tetap saja ucapan pria itu tidak bisa dipercaya.

Mulai detik ini, wanita itu memutuskan untuk melakukan segalanya sendiri, tanpa meminta bantuan dari calon suaminya, Zidan. Rayna sudah terlanjur kecewa dengan pria itu.

"Melihat bagaimana perubahan sikap kamu, sepertinya aku harus kembali mencari pekerjaan, aku takut kalau kamu mengkhianati kepercayaanku, maaf karena tidak mendengar ucapanmu, aku yakin kamu pasti akan mengerti."

Ponselnya berdering, Zidan kembali menghubunginya. Rayna sama sekali tak berniat untuk mengangkatnya, wanita itu malah membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Kalau pun aku angkat juga tetap tidak merubah keputusanmu, kan?" gumamnya lirih disertai senyuman kecut.

***

"Halo, Mbak Rayna. Mau beli buku, ya?"

Rayna tersenyum lebar ketika disapa oleh seorang kasir yang bekerja di toko buku tersebut.

"Iya nih, apa ada novel keluaran terbaru?" tanya wanita itu sambil melihat-lihat sekeliling toko itu.

"Tentu saja ada, tiap hari buku baru berdatangan. Sudah lama Mbak Rayna tidak datang ke sini, aku pikir Mbak sudah tidak ingin membaca buku novel lagi," celetuk kasir itu, yang bernama Dirga.

Rayna tertawa. "Akhir-akhir ini aku sibuk, jadi jarang datang ke sini," ucap wanita itu memberi tahu.

"Sibuk sama calon suaminya ya, Mbak? Jadi kapan nih nikahnya, jangan lupa undangannya ya."

Ucapan Dirga membuat senyuman Rayna seketika hilang.

"Aku mau lihat-lihat buku dulu, ya."

Dirga mengerutkan keningnya karena melihat Rayna pergi dengan terburu-buru. Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari berpikir, apakah tadi ucapannya menyinggung wanita itu?

'Padahal aku cuma bertanya kapan nikah? Bukankah harusnya dia senang, kok mukanya malah sedih gitu,' batin pria itu.

Beberapa menit kemudian, Rayna kembali menuju ke arah kasir, wanita itu membawa beberapa buku yang ingin dia beli.

"Sudah, Mbak?"

"He'em, ini sudah cukup."

"Kok tumben sebentar banget, biasanya keliling-keliling dulu."

"Soalnya yang ada di tanganku udah ada banyak, sebenarnya banyak novel yang pengin aku beli, melihat judul-judulnya yang bikin penasaran, tapi sadar diri juga, karena isi dompet nggak mendukung," jawab Rayna sambil nyengir lebar.

"Kan ada calon suaminya, Mbak. Tinggal minta belikan, semua kelar."

Rayna berdeham keras, sedari tadi Dirga selalu saja menyinggung calon suaminya. Tidak tahukah bahwa saat ini dirinya tengah kecewa dengan Zidan?

"Semuanya ditotal, ya. Jangan lupa harga teman," ucap Rayna mengalihkan pembicaraan.

Pria itu mencebikkan bibirnya. "Jangan gitu dong, Mbak. Kasihan saya nggak ada buat jajan kalau Mbak minta harga teman terus," kata Dirga dengan raut wajah melas.

Rayna terkikik geli, memang selama ini dia selalu meminta harga diskon ketika membeli buku di toko buku itu.

"Aku belinya banyak loh, lima, masa iya nggak boleh nawar."

"Mbak, ih," rajuk Dirga.

"Iya, iya. Nggak jadi deh, jadi semua totalnya berapa?" Kali ini raut wajah Rayna tampak serius.

Dirga pun langsung merinci pesanan wanita itu dengan teliti.

"378, Mbak."

"Oke, tunggu sebentar."

Rayna memberikan uang itu pada Dirga, yang dihadiahi senyuman manis oleh pria itu. Ketika Dirga ingin memberikan kembaliannya pada Rayna, wanita itu menolak.

"Kembaliannya ambil aja. Aku langsung pergi, ya. Ada yang mau aku cari lagi," pamit Rayna.

"Ah, iya. Jangan lupa besok balik lagi ke sini, ya."

Rayna tak menjawab, wanita itu hanya mengacungkan jempolnya saja.

Saat ini yang ada dipikiran wanita itu adalah pekerjaan. Ya, dia harus mencari pekerjaan.

"Mungkin melamar sebagai pelayan restoran lagi nggak masalah. Tapi kira-kira cari di mana, ya?" gumam wanita itu.

Sembari berpikir, wanita itu terus melangkahkan kakinya. Entah ke mana arah yang ingin dia tuju, sesekali wanita itu melihat-lihat bangunan yang ada di sekelilingnya.

Senyumnya mengembang ketika matanya tiba-tiba saja melihat sebuah bangunan yang bertuliskan 'Restaurant Harmoni'. Rayna ingin melangkahkan kakinya ke sana namun diurungkan karena melihat betapa megahnya bangunan itu.

Di saat kebimbangan itu melanda, tanpa sengaja wanita itu melihat ada sebuah mobil mewah yang terparkir tak jauh dari restoran itu. Sebenarnya bukan itu yang menjadi penyebab hilang fokus Rayna, akan tetapi karena mobil itu terus saja bergoyang.

Karena terlanjur penasaran, akhirnya wanita itu memutuskan untuk mendekati mobil itu. Diketuknya pintu mobil itu agak keras, cukup lama dia melakukan seperti itu, hingga pada akhirnya kaca mobil itu pun terbuka.

Mata Rayna mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.

"Ra-Rayna. Kamu ngapain di sini?" tanya pria itu tampak gugup.

Rayna mengabaikan pertanyaan dari pria itu, matanya beralih menatap pada seorang wanita yang saat ini tengah bersama pria itu.

Rayna terkesiap ketika melihat penampilan wanita itu, terlihat acak-acakan, nahasnya lagi bra wanita itu sudah berada di tempat yang tidak seharusnya.

"Astaga! Apa yang kalian lakukan di sini?!" teriak Rayna. Wanita itu tampak syok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status