Sepanjang perjalanan, Rayna terus saja menggeleng pelan. Masih tak menyangka apa yang dia lihat barusan.
"Dasar laki-laki gila! Bisa-bisanya dia berbuat mesum di depan umum. Dan apa-apaan wanita itu, kenapa dia mau aja digituin sama dia. Nggak habis pikir aku," gerutu wanita itu."Hei, Rayna. Tunggu!"Rayna menoleh ke belakang, mengerutkan keningnya karena rupanya sedari tadi pria itu terus membuntutinya.Karena malas berhadapan dengan pria itu, ditambah lagi Rayna masih syok dengan pemandangan tadi, wanita itu memutuskan untuk mengacuhkan pria itu."Rayna, please berhenti dulu. Aku mau ngomong sama kamu. Kamu dengar nggak sih aku panggil?""Nggak dengar," sahut Rayna malas.Rayna tersentak kaget ketika ada yang menarik tangannya. Akibatnya, kini tubuh wanita itu menubruk pada dada bilang milik pria itu."Kamu ini kenapa sih, aku panggil-panggil malah dicuekin," gerutu pria itu."Kamu yang kenapa? Kenapa harus ngejar aku sampai sejauh ini, apa kita punya masalah?" tanya Rayna balik.Alden menggaruk kepalanya, ucapan Rayna memang benar.'Iya juga sih, ngapain ya aku ngejar dia. Pake acara mau jelasin yang tadi lagi, buat apa coba,' decak pria itu dalam hati."Udah sana pergi! Lanjutkan aktivitas kalian barusan," usir Rayna dengan suara nyaring."Ya ampun, ngomongnya jangan kencang-kencang dong, aku, kan, malu dengarnya," ringis Alden.Rayna berkacak pinggang. "Malu? Kalau kamu punya rasa malu kenapa harus berbuat mesum di tempat banyak orang?"Alden menggaruk kepala. "Ya ampun, harus banget ya diperjelas. Aku, kan ... anu ...." Alden kehilangan kata-kata, dia seperti tengah tertangkap basah oleh kekasihnya akibat berselingkuh."Halah! Udahlah, ngapain dijelasin, memangnya kamu siapa aku? Pacar juga bukan, sana pergi," usir Rayna lagi.Sebenarnya apa yang Rayna katakan ada benarnya juga, tapi entah mengapa pria itu berat sekali untuk meninggalkan Rayna, apalagi dalam keadaan salah paham."Gimana kalau kita minum-minum, atau makan-makan, aku yang traktir deh," rayu pria itu.Rayna menatap Alden dengan pandangan mengernyit. "Idih, siapa kamu. Berani ngajak-ngajak aku. Sorry, ya, aku nggak akan mempan sama rayuan kamu itu," kata Rayna songong."Tapi maaf nih, ya. Aku sama sekali nggak bermaksud mau ngerayu kamu, aku cuma mau ngajak kamu makan, udah itu aja, nggak lebih.""Iya, aku ngerti, kamu ngajak aku makan dalam rangka apa? Pasti punya niat terselubung," tebak wanita itu.'Ya ampun, nih cewek mulutnya asal nyablak aja, pengin aku cipok lama-lama,' batin Alden kesal.Ketika menyadari kesalahannya, pria itu langsung menggeleng. 'Astaga, Alden. Mikir apa sih kamu itu. Ingat! Dia itu calon istri teman kamu, jangan mikir yang aneh-aneh deh,' peringatnya pada diri sendiri."Nah, kan. Nggak dijawab. Halah, halah. Niatmu itu udah ketebak," cibir Rayna, karena melihat Alden tampak diam saja.Alden jadi gemas sendiri pada wanita itu. Jika dengan wanita lain dia akan melakukan adegan tak senonoh, saat ini dia mati-matian tidak menerkam Rayna di tempat umum."Ngomong sama kamu, waktu aku jadi terbuang banyak. Harusnya saat ini aku udah dapat kerjaan. Eh malah sial karena melihat orang berbuat mesum."Rayna membalikkan tubuhnya, ingin melangkah pergi, tapi tangannya lebih dulu dicekal."Kamu mau cari kerja?"Rayna tak menjawab, wanita itu berusaha melepaskan pegangan tangan Alden."Oh, sekarang aku tahu. Kamu mau mencoba melamar kerja di restoran aku, kan?"Alden dapat melihat raut wajah Rayna tampak terkejut, berarti dugaan pria itu benar."Aku akan membantumu, dengan syarat kamu mau makan denganku, gimana? Syaratnya nggak sulit-sulit banget kok, masa iya kamu keberatan?" tanya Alden sambil menaik-turunkan alisnya."Masalahnya aku yang keberatan. Kamu lupa kalau aku ini siapa. Aku ini calon istri teman kamu loh, kamu nggak takut kena damprat Zidan?" ujar Rayna menakuti.Alden mengedikkan bahunya. "Justru Zidan akan berterima kasih padaku karena sudah menjaga calon istrinya."Selesai mengatakan seperti itu, Alden menggandeng tangan Rayna, membawa wanita itu menuju ke restorannya."Eh, apa-apaan ini!" pekik Rayna.***"Calon istri kamu kerja di tempatku."Zidan yang tadinya tengah sibuk menatap layar laptopnya, kini matanya beralih menatap Alden. Tatapan pria itu tampak tajam."Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Alden bingung.Zidan menggeleng pelan. "Kapan?" pria itu balik bertanya."Tadi," sahutnya, kemudian menyeruput kopi yang dia pesan. Sekali lagi Alden menatap Zidan, kentara sekali jika raut wajah pria itu berubah begitu cepat, yang tadinya tenang, kini berubah muram.Zidan tampak menghela napas berkali-kali, sepertinya ada yang dia pikirkan."Tolong awasi dia ya," pinta pria itu."Gampang, asal ada bayarannya," canda Alden."Berapa pun, jika menyangkut Rayna, aku akan mengusahakan. Aku cinta banget sama dia, jadi aku nggak mau kehilangan dia," kata pria itu tegas.Kali ini Alden merasa tertohok, dia melihat dengan jelas bagaimana seriusnya Zidan ketika mengatakan seperti itu."Sebenarnya aku sudah melarang dia untuk bekerja. Kamu lihat bisnisku sekarang sudah lumayan maju. Itu semua aku lakukan buat dia. Tapi dia nggak dengar kata-kataku, dia malah cari kerja." Zidan kembali menghela napas. "Ya mau gimana lagi, aku sayang sama dia. Dia mau ngapain juga pasti aku turutin," imbuhnya sambil tertawa."Kamu beneran cinta sama dia?""Kamu meragukan ketulusanku, huh? Coba kamu pikir, kapan aku pernah memikirkan seorang wanita. Hanya Rayna yang bisa buat aku begini."Alden mengangguk. Dia merasa aneh pada dirinya sendiri karena sudah menanyakan hal yang menurutnya sangat privasi pada Zidan."Apa ada yang aneh?" tanya Zidan dengan alis berkerut.Alden menggeleng. "Mungkin pertanyaanku aja yang aneh," sahut pria itu sambil mengedikkan bahunya acuh."Sebenarnya aku tahu pikiran kamu sih. Mungkin kamu heran sama aku, selama ini nggak pernah dekat sama wanita, tapi sekalinya dekat nggak main-main. Itu namanya benar-benar jatuh cinta, aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan merasakan hal seperti itu juga," jelas Zidan."Apa? Jadi bucin gitu? Jatuh cinta? Yang benar saja. Wanita menurutku sama saja, nggak ada bedanya. Lagian nih ya, kalau sudah berurusan sama yang namanya wanita, hidup kita bakal selalu repot, nggak bakal tenang, selalu direcoki terus. Aku sih malas kalau gitu."Zidan menggeleng pelan sambil tersenyum miris. "Percayalah, rasanya jatuh cinta jauh lebih menyenangkan daripada selalu gonta-ganti pasangan setiap malam. Nyeselnya seumur hidup, Bro," peringat Zidan.Alden hanya tertawa ketika mendengar ucapan Zidan. "Kamu belum pernah merasakan yang namanya surga dunia, ya? Cobain deh, pasti kamu ketagihan. Sekali-kali ajak calon istrimu main, biar nanti kalau udah nikah nggak kaget."Zidan semakin menggelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar sesat ya," gerutu pria itu.Zidan menyesal karena sudah memperingati Alden, percuma saja hasilnya akan sia-sia. Ujung-ujungnya dia yang kalah kalau berdebat dengan pria itu."Selamat, Bro. Akhirnya nikah juga," kata Zidan seraya memeluk temannya itu.Alden pun membalas pelukan pria itu. "Terima kasih, Zidan. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin aku bisa seperti ini, menikah dengan orang yang aku cintai. Semua ini berkat kamu, karena kamu yang bantu aku, dan juga merelakan rasa egomu hanya untukku. Maaf karena aku udah egois banget sama kamu, mengambil pacarmu tapi tidak memikirkan bagaimana perasaanmu."Zidan tersenyum getir. "Aku rela mengorbankan perasaanku karena aku kasihan sama kamu. Aku tidak pergi, aku hanya membatasi diri untuk tidak menggangu Rayna lagi. Jujur, sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, aku masih mencintainya, tapi aku sadar kalau aku ini bukan pilihannya. Alden, jaga Raynaku baik-baik, sampai kapanpun itu. Hanya itu yang kupinta darimu," pinta pria itu."Apa kamu berniat ingin menghancurkan acara pernikahan ini?" tanya Alden dengan suara berat, kentara sekali kalau sedang menahan gejolak amarah."Nggak, aku cuma mau mengelua
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Alden dan juga Rayna.Zidan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin seraya tersenyum tipis.Sebentar lagi dia akan datang ke tempat acara mereka berdua, lantas kenapa dia menjadi gugup seperti ini?"Dek, bagus nggak sih kalau pakai ini?" tanya Zidan.Zara geleng-geleng kepala seraya tersenyum tipis. "Mas udah ganti baju berapa kali sih? Coba lihat tuh, berantakan," ujar wanita itu seraya menunjuk ke arah pakaian Zidan.Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir lebar. "Aduh, maaf ya, Dek. Nanti aku bantuin rapihin deh, habisnya aku merasa pakai baju apa aja nggak ada yang cocok. Heran deh," keluh pria itu."Bukan pada nggak cocok, tapi Mas itu terlalu gugup. Yang Mas pakai saat ini udah bagus kok, cocok banget. Udah ya, nggak usah diganti lagi," pinta istrinya itu."Tapi aku kurang suka sama warna bajunya.""Terus Mas mau pakai baju yang mana? Biar aku bantu cariin deh," usul wanita itu
Zidan menghela napas berkali-kali. Semenjak mendengar Alden dan Rayna akan menikah, pria itu tampak selalu menyendiri.Katakanlah kalau dia itu memang munafik, jika di depan Alden, pria itu terus ceria, seolah-olah berkata kalau dirinya sudah tak memiliki perasaan apapun lagi dengan Rayna, kenyataannya itu salah besar.Rasanya rumit kalau untuk dijelaskan, tapi ingin berteriak untuk hal yang dirasakan. Dari hati yang paling dalam, ada yang masih mengganjal di hati Zidan, entah itu apa.Kepala Zidan menengadah ke atas seraya memejamkan matanya."Pintu yang tidak dibukakan jangan diketuk lagi, itu namanya nggak sopan, Zidan. Lupakan saja, lupakan. Dia hanya masa lalu kamu, sementara kamu saat ini sudah mempunyai masa depan, yaitu istri kamu. Berhentilah menyakiti diri kamu sendiri dan juga orang yang ada di sampingmu, Zidan," gumam pria itu guna mengingatkan dirinya sendiri."Kenapa nggak masuk, Mas? Udara di luar tampak begitu dingin."Zidan tersentak, dia menoleh ke arah sumber suara
"Aku nggak mau, Alden. Kita nggak perlu rayain pesta yang begitu megah, seadanya aja udah cukup."Alden menggeleng. "Hari pernikahan kita harusnya kita rayakan dengan pesta besar-besaran, Rayna. Ingat, itu pernikahan kita loh, kita harus merayakannya hitung-hitung buat kenangan di hari tua kita kelak," bantah Alden."Kenapa kita harus capek-capek merayakan yang jelas-jelas pernikahan hanya di laksanakan hanya satu hari saja? Harusnya kita memikirkan bagaimana nantinya ketika kita sudah menikah, kita selamanya akan hidup berdua. Harusnya kita memikirkan hal itu, Alden," jelas Rayna."Gini, Sayang. Ya, aku tahu kalau hari pernikahan itu hanya sekali atau sehari, tapi itu, kan, hari yang sakral. Momen di mana tempat kita melepas lajang. Jadi--""Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku ngikut aja," sela Rayna cepat."Nah, gitu dong. Wanita lain itu ketika ingin menikah, pasti minta pesta yang besar-besar, tapi kamu ini nggak mau, aneh banget. Aku senang loh kalau kamu minta ini minta itu, per
"Thanks ya, karena kamu akhirnya Rayna mau diajak nikah."Zidan mendengkus pelan. "Cuma gitu aja, cuma bilang makasih aja? Ya kali, kasih hadiah kek, mobil atau apa gitu," cibir pria itu.Alden mendelik kesal. "Dikasih hati malah minta jantung. Kemarin pas kamu nikah, aku udah kasih kamu mobil ya, kira-kira dong kalau minta.""Halah! Kamu kasih hadiah mobil juga bukan karena hadiah pernikahanku, tapi karena aku berhasil suruh Rayna datang," kata Zidan tak terima.Alden tertawa keras. "Nah, anggap aja itu sama.""Nggak bisa gitu. Harusnya kamu kasih aku hadiah dobel. Hadiah karena berhasil membuat Rayna datang ke sini, hadiah untuk hari pernikahanku, dan yang terakhir, hadiah karena aku udah berhasil bujuk Rayna mau nikah sama kamu. Sekarang mana dong hadiahnya?" pinta Zidan sambil memberi kode ke arah Alden menggunakan tangannya."Nanti aku pikirin, kalau aku udah nikah sama Rayna. Sial! Harusnya aku yang dikasih hadiah, kenapa jadi aku yang kasih hadiah?" tanya pria itu seraya meliri
Setelah berbicara dengan Zidan, akhirnya pikiran Rayna pun mulai terbuka. Dia akan membuka hatinya untuk Alden walau hanya sedikit demi sedikit."Zidan nggak ngomong macam-macam, kan, sama kamu?" tanya Alden memastika.Rayna menggeleng. "Harusnya kamu bersyukur karena mempunyai teman sebaik dia."Alden mendengkus pelan. "Apa nih maksudnya? Kok tiba-tiba bicara kayak gitu?""Aku udah tahu semuanya kok. Tadi Zidan yang cerita sama aku, kalau selama ini kamu yang nyuruh Zidan buat ketemu sama aku. Padahal diam-diam kamu ngelihat aku dari kejauhan, kan?"Alden menghela napas berat. 'Sial! Kenapa tuh orang mulutnya bocor banget,' gerutu Alden dalam hati."Kenapa harus Zidan yang kamu suruh terus? Kasihan loh dia.""Kalau aku langsung temuin kamu, yang ada kamu langsung kabur. Makanya aku diam-diam perhatikan kamu dari kejauhan. Aku selalu mencari momen yang pas, agar kita bisa ketemu, tanpa ada paksaan sedikit pun. Dan menurutku waktu pernikahan Zidan memang momen yang begitu pas. Lagian Z
"Aku mau ketemu sama Rayna sebentar saja.""Nggak boleh!" tolak Alden mentah-mentah.Zidan mendengkus keras. "Kamu ini kenapa? Kok mendadak jadi posesif begini?" tanya pria itu ketus."Gimana nggak posesif coba, Rayna aja baru aku temuin, kalau nggak kayak gitu nanti dia hilang lagi, pergi lagi," gerutu Alden."Ya tapi jangan dikurung juga kali, kasihan dia. Bukannya dia jatuh cinta sama kamu, yang ada malah dia jadi ilfil ngelihat tingkah kamu kayak gini. Lagian aku mau ketemu sama Rayna, aku mau ngomong serius sama dia."Alden berdecih pelan. "Nah, yang mau diomongin itu kira-kira apa. Kamu beneran mau jadikan Rayna istri kedua? Yang benar saja?""Hahahaha, masih aja dipikirin. Ya nggak lah, aku cuma mau yakinin dia aja kalau kamu itu serius sama dia. Kalau lihat pergerakan kamu yang kayak gini aja, mana mungkin Rayna luluh sama kamu. Pikiran kamu aja di ranjang melulu, coba sekali-kali kamu ajak dia itu bicara serius, dari hati ke hati, biar hasilnya tuh maksimal."Alden mengusap w
"Kamu udah ketemu sama Rayna?"Alden mendengkus keras karena mendapat pertanyaan dari temannya itu, Zidan."Omong kosong macam apa itu? Bukannya kamu udah lihat sendiri waktu di acara pernikahanmu?" tanya pria itu sinis.Zidan tergelak kencang. "Yaelah, basa-basi doang aja kok. Terus sekarang Rayna ke mana ya? Kok aku hubungi nomornya nggak aktif-aktif?"Alden memicingkan kedua matanya, menatap temannya itu dengan curiga. "Kamu coba hubungi Rayna? Untuk apa? Kamu lupa kalau kamu itu udah nikah?" tanya Alden dengan tatapan tajam."Apaan, cuma mau tahu kabarnya aja. Waktu itu, kan, dia kamu bawa pergi entah ke mana. Makanya aku sedikit was-was, nggak usah mikir aneh gitu lah, lagian aku juga tahu batasan.""Aneh aja gitu loh, jangan-jangan kamu masih naruh perasaan lagi sama dia?" tebak Alden."Sembarangan, pikiranmu itu loh ke mana, Den. Mana mungkin aku seperti itu, kasihan sama istriku," dengkus Zidan."Siapa tahu aja, kan?""Nggak ada. Jadi waktu itu kamu bawa Rayna ke mana?" tanya
Rayna berdecak kesal karena dikurung oleh Alden di dalam kamar. Wanita itu benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, seingatnya ketika mereka habis bercinta, Rayna langsung tidur karena benar-benar kelelahan.Ya, Rayna dan Alden kembali mengulang kejadian waktu itu di tempat yang sama. Namun kali ini Aldenlah yang begitu bersemangat. Rayna meringis pelan ketika melihat Alden meminum obat kuat, entah dari mana asalnya pria itu bisa berpikir seperti itu, yang jelas Alden berkata jika pria itu akan membuat Rayna hamil.Mereka bercinta berkali-kali, sampai Rayna lemas dengan tenaga Alden yang tak kunjung reda, sialnya stamina pria itu malah semakin kuat. Kalau saja Rayna tak mengeluh lelah, sudah pasti Alden akan menyetubuhinya hingga pagi.Beruntungnya Alden mempunyai rasa kasihan pada Rayna, jelas saja membuat wanita itu bernapas lega. Rayna memutuskan untuk beristirahat, setelah itu akan pulang, sayangnya itu hanya rencana wanita itu saja. Ketika wanita itu membuka mata, dia sudah b