Share

2. Bolos

Meski berotak udang, Tara tidak pernah sekali pun memikirkan hal seperti itu. Dia adalah Queen of  School. Ikonnya sekolah. Fotonya terpampang di halaman depan sampul brosur. Tara sangat lihai memainkan baton. Drumband sekolahnya beberapa kali menyabet gelar juara berkat dirinya. Setidaknya Tara memberi kontribusi positif untuk sekolah ini walaupun tidak berbentuk prestasi akademik. 

Ayo kita bolos.

Kalimat barusan masih berputar-putar di otak. Deva mengajaknya membolos di jam pelajaran Bahasa Indonesia. 

"Bagaimana? Mau?"

"Kenapa tiba-tiba mengajak membolos?" tanya Tara menyelidik.

Mereka memang satu kelas, tapi tidak begitu akrab. Deva hanya bicara padanya saat menagih iuran kas karena dia adalah bendahara. Sedangkan Tara membayar kas setahun sekali sampai akhir tahun.

"Lagi pula kamu bakalan tidur, Bahasa Indonesia pelajaran yang membosankan bukan?"

"Maksudku, kamu yang jarang ngobrol sama aku, kenapa tiba-tiba mengajak bolos?"

"Jujur saja aku merasa miris melihat kamu saat di kantin tadi. Kamu seperti remaja yang tidak tahu cara menikmati masa-masa indahnya SMA."

Tara meneguk ludah kasar. Benar. Dia memang selalu rajin ke sekolah, bukan untuk belajar melainkan untuk tebar pesona. Mencari jaringan sebanyak-banyaknya agar mendapat privilege di sekolah ini. Terakhir dia rela dipacari oleh ketua OSIS demi mempertahankan reputasinya dan demi menutupi kelemahannya; bodoh.

Dia juga akrab dengan semua guru serta pelatih ekstrakurikuler. Sering mentraktir. Apa pun dia lakukan asal tidak tinggal kelas. Kalau boleh jujur, dia tidak bahagia.

Tapi apakah membolos adalah solusi?

"Ini akan jadi hal yang menyenangkan. Tapi kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa aku akan bolos sendiri."

Jam terus berputar. Deva masih setia menunggu jawaban. Seperti merasa akan mendapat penolakan, cowok berponi hampir menyentuh alis itu mengajukan penawaran.

"Kalau kamu mau membolos, aku akan membantumu remedial Fisika. Setuju?" Deva mengulurkan tangannya.

Tara mematung sejenak, sedetik kemudian menyambut tangan Deva. "Setuju."

*** 

Kamu di mana? Bu Siti sudah datang.

Tara membuka pesan dari Maria. Belum sempat membalas, Deva menyuruhnya untuk mendekat ke tembok pagar. 

"Naik," perintahnya.

"Apa?" 

"Naik ke sini putri yang cantik jelita." Deva menepuk-nepuk pundaknya.

Sial! Kalimat barusan membuat pipi Tara panas. Dia yakin pasti sekarang wajahnya semerah kepiting rebus. Jarang sekali hal ini terjadi karena pujian adalah makanannya sehari-hari.

"Aku tidak mau. Kamu pasti mau ngintip! Iya, kan?!"

"Kecuali mataku terletak di ubun-ubun, isi rokmu aman, Nona."

Tidak ada pilihan lain. Tara sudah sampai di belakang gedung sekolah, tidak mungkin kembali ke kelas. Akhirnya dengan ragu-ragu dia mengangkat kakinya.

"Tunggu!" cegah Deva.

"Apalagi?!"

"Lepas sepatumu lalu lempar ke luar pagar. Seragam ini besok masih dipakai, tidak boleh kotor."

"Kamu tinggal membelinya dengan yang baru."

Deva mendengus sebal, "Aku tidak sekaya Anda, Nona. Tolong berhenti mengoceh sebelum guru lewat dan menjemur kita di halaman sekolah."

Astaga! Kalau tahu membolos bakal seribet ini Tara akan lebih memilih mendengarkan materi Bu Siti di kelas. Terpaksa dia menyetujui permintaan Deva. Setelah melempar sepatunya, dia kemudian naik ke pundak Deva lalu memanjat pagar dan melompat ke bawah. 

"Bagaimana? Seru, kan?" kata Deva sumringah setelah berhasil melewati pagar.

"Seru apanya, kakiku hampir tergores batu. Untung tidak lecet," sanggah Tara terus mengomel sembari memakai sepatunya kembali. Mendengar itu Deva hanya tertawa cekikikan. 

Mereka berdua berjalan menuju sebuah warung pinggir jalan. Sesampainya di sana, Deva meminta Tara menunggu di luar. Warung berukuran empat kali lima meter itu dipenuhi dengan sekumpulan anak-anak sekolah yang sepertinya sedang membolos juga. Sebagian besar malah berasal dari sekolah yang sama dengan Tara.

Tidak menunggu lama, Deva keluar warung sambil memainkan sebuah kunci di jarinya.

"Ayo kita jalan-jalan," ajaknya, menunggangi salah satu motor matic di parkiran.

"Kemana?"

"Ikut saja."

Seperti kerbau diikat hidungnya, Tara menurut. Dia membonceng menyamping.

"Tidak usah berpegangan kalau tidak mau. Aku tidak akan ngebut."

Dalam hati ingin rasanya dia memaki cowok ini. Saat Tara membuang muka ke belakang terlihat dari kejauhan beberapa anak di warung sibuk melambai-lambaikan tangan ke arahnya. 

*** 

Motor berhenti di sebuah taman yang sepi. Pohon-pohon rindang tumbuh berjajar rapi. Di dekat pohon ada jembatan merah melintang, menyeberangi sungai buatan di bawahnya. Bunga warna-warni tumbuh sepanjang sungai menyejukkan mata. 

"Belum pernah ke taman sebelumnya?"

Suara Deva membuat konsentrasinya beralih. Tidak bisakah Tara menikmati sejenak pemandangan ini tanpa gangguan?

"Pernah, tapi tidak sering. Ngomong-ngomong kamu bakalan duduk terus di atas motor seperti itu seharian? Takut kena parkir?"

Lagi-lagi Deva hanya tersenyum mendengar ejekan Tara. Dia beranjak turun dari motor, kemudian berjalan mengekori Tara yang sudah sampai gerbang masuk.

Angin sepoi-sepoi memanjakan mereka. Sepertinya membolos bukan ide buruk jika digantikan berjalan-jalan ke tempat seperti ini.

"Berapa nilaimu tadi?" tanya Deva sambil merebahkan tubuhnya di rerumputan hijau dengan tangan sebagai alas kepala.

"Nol."

"NOL?!" Deva tak percaya. Seumur hidupnya dia tidak pernah mendapat nilai nol. Paling jelek dia mendapat nilai tujuh.

"Iya, Tuan Albert Einstein. Memangnya kenapa?" 

"Pantas saja." Suasana hening sejenak. "Kamu tahu alasanku mengajakmu membolos?"

"Mungkin kamu sedang mengadakan taruhan dengan temanmu." Tara memang sering dijadikan bahan taruhan. Tapi dalam hati dia berharap Deva tulus ingin menghiburnya.

"Hahaha. Bukan, bukan. Aku sedang butuh teman bicara. Ini mengenai pacarku."

Jantung Tara mencelos. Darahnya berdesir lebih cepat. Dia mengira kalau Deva peduli padanya, ternyata dia hanya dimanfaatkan. Semua orang sama saja.

Deva memiringkan tubuhnya menghadap Tara yang sedang duduk di sampingnya.

"Apa perempuan suka kejutan?"

"Tergantung." Hati Tara masih sakit. Dia enggan bicara apa pun.

"Kalau bunga? Boneka? Baju? Make up? Buku?" cerca Deva, sama sekali tidak peka.

"Hal yang perempuan inginkan adalah menjadi yang paling diinginkan."

"Hah?"

Tara benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Dia menarik kuping Deva dengan keras lalu berteriak, "Perempuan ingin selalu diperlakukan seperti ratu! Dicari! Diperhatikan dan dikejar-kejar!"

Beruntung taman sedang sepi. Kalau tidak, harga diri Deva pasti sudah lenyap ditelan bumi diteriaki seperti ini. Dia adalah siswa terpandai, penuh wibawa, ramah, disegani teman-temannya terutama saat akan minta contekan tapi diperlakukan bak pembantu oleh majikan.

Dia bukannya tidak tahu sifat Tara, tapi ini kali pertama dirinya kena sembur.

"Aku minta maaf. Ayo kita pulang, aku akan mengantarmu."

Tara menyesal membentak Deva, tapi dia sangat menyebalkan. Dia membuat hari ini semakin kacau. Setengah malas dia berdiri kemudian menelpon taksi dan meninggalkan Deva sendirian di taman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status