Share

3. Bohong

Hal pertama yang dilakukan oleh Tara saat sampai rumah adalah mengecek handphone. Benar saja, pesan dari Maria dan kakaknya berderet paling atas. Hidupnya kini serasa di ujung tanduk. Brian pasti akan mengirimnya ke pulau Sentinel kalau tahu dia membolos sekolah.

“Tara, kamu dari mana?” Brian, kakak tertuanya sudah menyambut di ambang pintu sambil melipat tangan ke dada. 

Sebisa mungkin Tara bersikap tenang. Berakting adalah salah satu bakatnya, itu tidak akan sulit. 

“Ada acara peninjauan tempat untuk acara di sekolah, jadi aku izin untuk tidak ikut pelajaran terakhir.”

“Sungguh?” Brian tentu tidak akan mudah percaya. Menjadi kakak tertua dari dua orang adik yang bandel membuatnya selalu waspada.

“Iya. Kalau tidak percaya silakan hubungi temanku.”

“Siapa? Maria? Nathan? Antoni? Jelas kalian pasti sudah bersekongkol.”

“Bukan. Dia Deva, bendahara di kelasku. Kami baru akrab sejak pagi tadi.” Bagian itu tentu Tara tidak berbohong.

Merasa alasan Tara masuk akal, Brian sudah mulai percaya. Dia tidak punya banyak waktu untuk melakukan interogasi seperti ini. Dia sangat sibuk. Selain mengurus perusahaan properti, dia juga bertanggung hendak menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.

“Makanan kesukaanmu sudah siap di meja makan,” ucap Brian melenggang masuk ke rumah lagi. Tara hanya menatap punggung laki-laki yang telah menjaganya beberapa tahun dengan haru.

“Kau tahu? Kau adalah kakak terbaik di seluruh dunia, Brian. Maaf telah membohongimu,” bisik Tara lirih.

Sebenarnya Tara mempunyai satu orang kakak lagi. Dia bernama Alexandra. Alex lebih sering menghabiskan waktu dengan memanjat gunung atau berkumpul dengan teman-temannya daripada di rumah. Mungkin sebentar lagi namanya bakal hilang dari kartu keluarga karena kebiasaannya. Brian sudah hampir hilang kesabaran menghadapi Alex. Kalau itu terjadi, Alex akan jadi gelandangan.

Ayah mereka sudah meninggal. Ibu menikah lagi dan sudah memiliki satu anak. Sudah jelas, Tara, Alex dan Brian tidak akan mau tinggal serumah dengan papa tiri. Lagi pula rumah yang mereka tinggali tidak kalah besar.

Tara membuka satu per satu pesan di handphone-nya sambil menikmati sup brokoli dan telur mata sapi setengah matang kesukaannya.

Dari Nathan:

Kamu di mana? Kami khawatir!

Tara, tolong jangan bunuh diri! Aku sayang sama kamu.

Nol adalah awal. Mari kita belajar bersama, kamu pasti bisa dapat nilai 100.

               

Nasi yang sedang Tara kunyah hampir tesembur keluar. Dia tertawa terbahak-bahak. Benar-benar ajaib isi kepala Nathan. Cowok berkacamata itu pasti sangat khawatir sampai mengira dirinya bunuh diri.

Maria menelepon saat jari Tara bersiap mengetik balasan untuk Nathan.

'Kamu kemana saja?! Aku meneleponmu sepagian dan kamu sengaja mengabaikannya!'

Tara refleks sedikit menjauhkan handphone dari kupingnya.

"Ya, aku minta maaf soal itu, Sayang. Aku ada kepentingan mendadak."

'Kepentingan apa? Kak Brian menikah? Menyelamatkan bumi dari Alien? Apa?'

"Besok akan kuceritakan. Sekarang aku ingin istirahat dan menikmati makan soreku dulu."

'Baiklah, baiklah. Nikmati saja makananmu dan sekaligus menyiksaku dengan rasa penasaran.'

Terdengar suara raungan motor dari halaman. Alexandra sudah pulang. Tara buru-buru mematikan teleponnya sebelum mendengar Maria menanyakan kebolosannya tadi siang.

"Aku kira kamu lupa arah jalan pulang," sindir Tara seraya meletakkan handphone-nya di samping piring.

"Kau merindukanku?" Alexandra mendekatkan wajahnya, kemudian mengacak-acak rambut adiknya. 

"Aku? Jangan mimpi!"

"Kau tidak bolos, kan, Tara?" Dia mengendus lengan baju Tara.

"Ti-tidak. Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"

"Hmn ... entahlah, aku seperti mencium bau rokok di bajumu. Apa kau merokok sekarang?" 

Itu pasti gara-gara dirinya berdekatan dengan Deva. Balik dari warung baju Deva bau rokok karena dia bergerombol dengan teman-temannya yang hampir semuanya sedang merokok.

Tara mendorong bahu Alexandra agar dia menjauh. Kakaknya kadang-kadang sangat peka. Dia bisa mengetahui bahwa dirinya berbohong melalui hal-hal kecil yang menurutnya tidak masuk akal.

"Aku tidak membolos, Kak."

"Baiklah aku percaya." Laki-laki berambut gondrong diikat serampangan tersebut mengambil piring.

Baru saja Alex hendak menyuapkan nasi ke mulutnya, Brian datang dan memukul pundaknya dari belakang. Sontak dia hampir tersedak karena kaget.

"Kakak! Kau berusaha membunuhku ya?"

"Aku tidak perlu repot-repot membunuhmu kalau setiap hari kerjamu hanya keluyuran di jalan, memanjat tebing, hiking. Kau akan mati muda dengan sendirinya."

"Kakakku yang tampan ... itu namanya olahraga outdoor," sanggah Alex, kemudian memasukkan sesendok nasi ke mulutnya yang sempat tertunda.

"Terserah apa namanya. Kau niat kuliah tidak? Kalau tidak, lebih kau bantu aku mengelola perusahaan."

"Apa? Dia mengelola perusahaan? Tidak! Aku tidak mau jatuh miskin," sela Tara tidak terima. Jelas Alex lebih berbakat menghancurkan perusahaan daripada mengembangkannya. 

"Hmn, benar, kali ini aku setuju denganmu, Tara. Aku sama sekali tidak tertarik jadi penerus perusahaan."

"Lalu?" 

"Aku ingin jadi DJ."

"Uhuk! A-apa?" Brian yang baru menegak air putih terdedak mendengar jawaban Alex barusan. Tara bangkit dari duduk untuk menepuk-nepuk punggung Kakak tertuanya. 

"Kenapa adikku dua-duanya tidak ada yang benar, sih? Yang satu suka keluyuran, yang satu nilainya hancur entah bisa lulus atau tidak. Kalian berdua bisa tidak sedikit mengurangi bebanku, hah?!"

Alex dan Tara terdiam. Mereka sadar apa yang dikatakan kakak mereka benar. Semua beban dipikul Brian sendiri. Mulai dari mengurus rumah sampai mengurus perusahaan. Dia adalah pengganti sosok ayah setelah meninggal.

"Tara, kamu sebaiknya ikut mama saja. Kakak merasa gagal mendidikmu."

Tara menggeleng cepat. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak mau jika harus tinggal bersama mamanya bersama papa tiri yang membencinya setengah mati.

"Kamu kan sudah kelas XII sebentar lagi ujian kelulusan. Nilaimu tidak ada peningkatan sama sekali. Kakak bukannya tak mau mengurusimu, Tara. Kakak sayang sekali sama kamu. Tapi kakak juga tidak punya banyak waktu untuk menjaga dan mengawasimu belajar. Lihat kakakmu, Alex, dia juga jarang di rumah. Kakak tidak sanggup ...."

Alex dan Tara hanya merunduk memandangi piring di hadapannya seolah-olah itu adalah benda paling menarik di dunia. Perasaan mereka campur aduk antara sedih dan merasa bersalah. Selama ini mereka hanya main-main sedangkan sang kakak memutar otak siang malam menjalankan perusahaan agar tidak merugi. Belum lagi menyelesaikan kuliahnya di semester akhir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status