Share

Bab 8

Nice. Oke, saya ambil yang ini.”

Pemilik butik itu langsung tersenyum lebar sambil menerima sodoran kartu hitam yang Ammar serahkan, sebelum kemudian  bergegas pergi menyelesaikan pembayaran satu set gamis yang sedang aku kenakan ini.

Bener-bener ya si Ammar ini. Aku rasa, dia ini salah satu anak sultan yang kebanyakan duit, sampai melihat baju kotor bukannya dibersihkan, tapi malah di buang dan beli lagi. Boros banget, sumpah!

“Pak, saya rasa ini terlalu berlebihan. Gamis saya itu cuma kotor kena muntahan. Dicuci dikit juga bisa. Jadi nggak harus beli baru kayak gini. Serius, deh. Saya nggak enak nerimanya.” Aku pun berusaha menyuarakan uneg-unegku pada Ammar.

Sayangnya, pria itu seperti tak perduli dengan ucapanku, malah lebih tertarik dengan gamis yang aku kenakan saat ini. Jangan bilang dia mau pake gamis ini juga. Aduh ... ingat, Mas. Situ lanang.

“Sepertinya warnanya terlalu pucat di kulit kamu. Mau ganti yang lain nggak?”

Dih, nggak nyambung! Orang ngomong apa, disahutinya apa. Dia dengerin aku nggak, sih?

“Bapak, saya ngomong serius lho. Bisa dengar nggak?” geramku kemudian dengan kesal.

“Saya dengerin kok.”

“Ya, terus? Kenapa jawabannya beda jauh dari ucapan saya. Bapak beneran dengerin atau cuma pura-pura dengerin, sih?” Aku pun semakin murka, setelah mendengar jawaban Ammar yang kelewat santai menurutku.

“Memang kamu bilang apa?”

Nah, kan? Nih cowok emang minta diempos ginjalnya.

“Saya bilang nggak usah beli gamis baru. Gamis saya yang lama masih bisa dipakai” jelasku lagi.

“Tapi kotor.”

“Ya, terus? Kan, cuma kotor. Bisa dicuci. Nggak harus kayak gini jugalah. Buang-buang uang aja tahu nggak?” 

Ammar pun lalu menatapku semakin intens. Membuat jantung norakku kembali jumpalitan. Ampun deh nih jantung. Emang minta digetok kayaknya. Bikin malu aja.

“Tapi saya suka beliin baju buat kamu.”

Hah?! Apa?! Suka katanya? Ish, aneh banget. Siapa, sih, dia? Kenal juga kagak, masa udah suka beli-beliin baju buat orang aja. Kebiasaan piara ayam kampus nih kayaknya.

“Kenapa?” Tak ayal aku pun jadi kepo karena jawaban aneh Ammar ini.

“Nggak tahu, suka aja.” Lah, semakin aneh.

“Ya, tapi—”

“Permisi.”

Baru saja aku ingin mendebat Ammar lagi, pemilik butik itu pun muncul kembali. Membawa kartu dan tagihan untuk Ammar. Dia pun segera menanda tanganinya, setelah itu menerima kartunya kembali. 

“Terima kasih sudah berkunjung, Pak. Dan ini ....” pemilik butik itu memperlihatkan sebuah paper bag ke hadapan kami. “Baju yang sebelumnya mau di bawa atau—”

“Buang aja.”

Eh? Aku pun melotot horor mendengar jawaban Ammar dan langsung meraih paper bag itu sebelum benar-benar dibuang sang pemilik butik.

“Sembarangan aja kalau ngomong!” Aku mendekap paper bag itu dengan erat. “Enak aja mau dibuang. Belum lunas nih! Aku bisa dimutilasi sama Emak Kanjeng kalau ketahuan menyia-nyikan pemberiannya. Maaf, ya? Masih sayang nyawa soalnya,” terangku dengan nada kesal luar biasa.

“Tapi itu kotor.” Namun, si Ammar ternyata masih tidak mau   mengalah, membuat aku langsung mendelik garang ke arahnya.

“Kan, saya udah bilang. Kotor itu bisa dicuci. Nggak harus dibuang! Ngerti nggak, sih! Dasar anak sultan!”

Ammar pun lalu menaikan bahunya acuh, sebelum melangkah begitu saja meninggalkan aku keluar butik ini.

Ish, dasar cowok nggak jelas. Udah tadi maksa orang ke sini seenaknya, nyuruh butik yang udah tutup buka lagi, beliin baju orang tanpa minta pendapat. Sekarang dia malah ninggalin aku gitu aja. Nih cowok maunya apa coba?

“Hey, kenapa masih di sana? Ayo pulang! Atau ... ada yang ingin kamu beli lagi?” tanya Ammar saat menyadari aku belum mengikutinya.

Aku menggeleng cepat, sebelum bergegas mengekorinya agar tidak di tinggalkan. Duh, ya Ampun. Mimpi apa aku ketemu cowok pemaksa kayak gini. Setelah memastikan aku sudah duduk dengan nyaman di mobilnya, Ammar pun langsung menjalankan mobilnya menjauh dari butik tersebut.

“Beri tahu alamatmu,” katanya kemudian, saat mobil sudah di jalan raya.

“Ngapain nanya-nanya alamat? Mau ngapel?” sahutku galak. Masih sangat kesal dengan sikap pemaksa anak sultan ini.

“Tentu saja mau antar kamu pulang. Mau apa lagi? Ini sudah malam, dan tidak baik seorang wanita pulang sendirian.”

Oh, itu toh maksudnya. Lah, aku udah kepedean aja mau di apelin nih bule sultan. Eh, tapi ....

“Lha? Si Nur, kan, masih di kelab, Pak. Gimana, dong? Saya nggak mungkin ninggalin dia,” ungkapku saat ingat keberadaan si Nur.

Lah, iya. Kok aku bisa lupa alasan aku keluar kayak maling malam ini, ya? Duh, parah banget. Semua gara-gara pesona pria sebelahku yang semakin mengkhawatirkan, Pemirsa!

“Kamu tenang saja, Tylor sudah mengantar teman kamu itu ke apartemennya.”

Eh, kok?

“Lho, emang Tylor-Tylor itu tahu alamat tema saya?” kepoku kemudian.

“Tahu dari KTP yang ditinggalkan temanmu sebelum masuk kelab.”

Maksudnya?

“Sudahlah, kamu nggak akan ngerti meski saya jelasin juga. Karena itu memang bukan dunia kamu, kan? Jadi, tidak usah ingin tahu lagi. Sekarang lebih baik kamu sebutkan alamatmu, supaya saya bisa mengantar kamu secepatnya,” lanjut Ammar seperti tahu apa yang aku pikirkan saat ini.

Ih, kok dari tadi dia kayak cenayang, ya? Namun, aku pun tak berkomentar lagi, memilih diam dan menimbang alamat mana yang akan kuberikan pada Ammar. Akan tetapi, sepertinya jam segini aku nggak mungkin balik ke rumah Emak Kanjeng lagi deh. Bisa-bisa leherku digorok kalau ketahuan udah kelayaban malam-malm. Iya, kan? Jadi, mending cari jalan aman aja.

“Saya balik ke apartemen Nur aja, deh. Saya takut dia kenapa-napa.” 

Aku pun mencoba mencari alasan logis pada Ammar, agar dia tidak curiga dan bertanya kenapa aku nggak pulang ke rumahku saja.

“Alamatnya?”

“Lha? Katanya tadi tahu.”

“Yang tahu itu Tylor, bukan saya.”

Eh? Benar juga, sih. Kenapa aku semakin lemot kalau bicara sama Ammar, ya? Aku pun segera memberitahu alamat si Nurhayati padanya, agar pertemuan ini segera berakhir.

Bukannya aku nggak suka bertemu makhluk ganteng seperti Ammar. Ck, munafik kalau aku bilang seperti itu. Aku suka, kok. Senang malah punya kenalan bule kayak dia. Ganteng pula, kan? Siapa coba yang nggak bangga? Cocok banget pokoknya buat di pamerin ke mana-mana, khususnya pas kondangan ke tempatnya mantan.

Ugh ... aku yakin si mantan auto kesal kalau kita dapat yang lebih wow dari dia. Percaya deh! Ya, itu penampakan luarnya. Tapi di balik semua itu ... Anehnya aku merasa Ammar ini sedikit menakutkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status