Pekerjaanku sepagian ini adalah menelepon Alisha. Semua karena ibunya cemas sekali terjadi sesuatu pada anak si gadis semata wayang. "Tadi kita nangis bareng. Dia sampe sesenggukan, trus suaranya makin lama makin ilang," ceritanya dengan cemas.
"Mungkin ketiduran, Tante?" Mengingat kelelahan kemarin, serta waktu yang sudah cukup malam ketika mengakhiri telepon denganku semalam, tertidur saat menerima telepon bukan hal aneh. Apalagi jika telepon yang dilakukan juga menguras energi psikis hingga berakhir dengan tangisan.
Namun, Ibu Alisha tak mau menerima argumen tersebut. Beliau tetap mendesakku untuk mengecek kondisi anak semata wayangnya. Sebenarnya, tanpa disuruh pun, aku pasti akan meneleponnya untuk mengajak sarapan.
Demi menenangkan Ibu Alisha, aku berjanji akan menelepon putrinya segera setelah menutup pang
I think she's just exhausted and starving: Saya kira dia hanya kelelahan dan kelaparan If the fever lasts until tomorrow, you should bring her to clinic: Jika sampai besok masih demam, Anda harus membawanya ke klinik
"Kalo udah nikah, kamu mau nemenin aku, kan?" Akbar menatapku dengan pandangan yang ngga bisa diungkapkan. Pandangan yang bikin aku ngerasa disayang sekaligus .... Ah, entahlah. "Ya, kan?" desakku lagi. Duh, Akbar, kenapa diem aja? Bilang aja, sih, iya. Jangan bikin aku jadi kaya bucin ngemis-ngemis cinta gini. Ngga banget. Bikin pengen nangis. "Ya," akhirnya dia jawab juga. Seenggaknya, harga diriku ngga terlalu jatoh parah. "Kalo gitu, ayo, nikah sekarang." Astaga! Ngomong apa aku? Ke mana harga diri? Akbar nyebelin! Matanya sedikit membesar. Dia keliatan kaget biar pun tetep bisa menguasai diri. Dimasukkannya tangan ke saku celana. "Apa ibumu sudah memberitahu
Seorang berjas hitam menghampiri dan memperkenalkan diri sebagai sopir. Dia langsung ngambil alih koper dan keluar duluan.Akbar ngasih isyarat pake anggukan kepala buat ngajak aku pergi. Yes! Akhirnya! Buru-buru kujajarkan langkah dengan kaki panjangnya. Untung dia juga memperlambat jalan.Dari balik pintu kaca, orang-orang lalu-lalang dengan mantel yang berkibar ditiup angin. Kayanya bakal dingin banget di luar. Kurapatkan mantel dan tiba-tiba baru sadar kalo ngga pake syal. Duh, kebiasaan hidup di Jakarta yang cukup pake baju selapis doang, lupa kalo sekarang lagi di negara dengan musim gugur.Hadeh, gimana, nih? Apa balik ke kamar aja, ngambil syal? Tapi driver
Dibilangin gitu, muka serius Akbar malah langsung berubah jail. Ih, ngeselin, deh. "Aku serius, tau," protesku.Dia malah senyum makin lebar, ngegaruk kening pake ujung telunjuk, dan berdeham. "Kamu tahu, kenapa kamu bisa memimpin perusahaan dengan baik, padahal sama sekali tidak punya pengalaman organisasi apa pun sebelumnya?"Loh? Kok, malah ngomongin perusahaan? "Karena aku punya bakat kepemimpinan?"Akbar mengepalkan tangan di depan mulut, nahan semburan tawa. Asli ngeselin. Aku ngerasa diremehin banget. "You're just a girl next door. TIdak punya pengalaman organisasi, nilai rata-rata, bahkan lulus kuliah juga dengan skripsi yang hanya sampai nilai B."Ih, orang ini minta ditonjok.
Hujan rintik-rintik berubah menjadi deras tepat ketika aku berhasil mendarat di bangku mobil. Kulihat ke samping, tak ada Alisha. "Where is she?"Driver tambun itu menjelaskan bahwa Alisha pergi melihat-lihat barang yang dijajakan di area parkir. "But then, she's just disappeared," katanya.Hhh, dasar Alisha. Aku tahu dia tak suka diperintah, tapi apa susahnya menurut sekali saja?Orang-orang berlarian menghindari hujan. Sedikit pun tak ada tanda-tanda Alisha di antara mereka. Angin terlihat makin kencang meniup ujung-ujung tenda yang masih berdiri. Tiang-tiangnya tampak doyong mengikuti arah angin
Dia ketawa! Biarpun keliatan banget susah payah nyembunyiin, tapi tetep aja, tawanya ngga bisa pergi.Baru ini, kayanya, aku liat dia ketawa. Cute banget, ya, Allah.Ah, bukan. Aku pernah liat tawa kaya gini sebelumnya. Di balkon itu, sebelas tahun lalu, waktu dia sama kakak rumah depan.Aih, ngga nyangka bisa liat lagi tawa dia kaya gini. Ngga bosen-bosen liatnya."Apa kamu sekarang punya hobi baru?" tanyanya tiba-tiba."Hobi?" Maksudnya apa, deh? Nyindir aku yang ngga mau nurut dia buat nunggu?"Staring at me
Kembali ke kamar dengan perut keroncongan. Ternyata dia baik-baik saja, hanya aku yang terlalu khawatir. Memalukan sekali!Kubuka dua pesan yang sedari tadi kuabaikan. Pesan pertama dari Amran, mengabarkan bahwa dia sudah mendarat dengan selamat di Maryland. Segera kubalas dengan ucapan selamat dan menyuruhnya istirahat. Kutelepon juga manajer on duty agar menyiapkan tiga kamar hotel untuk Amran dan crew.Lanjut makan malam, perutku sudah tak bisa kompromi lagi. Pesan kedua dari Arta, kubuka setelah perut kenyang dan kepala ringan. "Pak, saya sudah bertemu dengan Mas Fikri Ramadhan," tulisnya sebaga
Ini ngga adil.Ngga adil banget. Ngeselin.Ya, Allah, aku pengen banting pintu, nendang meja, tapi kakiku nanti bengkak lagi.Kutarik syal yang ngelilit kepala. Mantel panjang kulempar sembarangan ke kasur. Aku ngga ngerti semua ini. Sistem apa ini? Bener-bener ngeselin.Hidupku baik-baik aja tanpa sistem ini. Trus kenapa musti ngikutin sistem, hah?Kubanting badan sampe telungkup di atas kasur. Keluar dari sistem aja apa? Biar ngga usah repot?Hah! Pusing! Aku mau jalan-jalan aja.Kuraih hape buat googling amusement park di Maryland. Cum
Kututup pintu kamar dengan seluruh punggung. Benar-benar tak disangka, Alisha merespon berita ini lebih buruk dari dugaanku.Kuempaskan punggung ke kasur. Kata Ayah, Ibu dulu suka melakukan ini setiap kali tiba di kamar. "Kecuali waktu hamil kamu. Perutnya udah terlalu besar, jadinya Ayah yang disuruh menggantikan." Beliau menceritakannya sambil tertawa, padahal aku tahu kerinduan pasti meremas hatinya.Kuraih bantal dan kudekap erat. Alisha masih di kamar sebelah dan aku sudah merindukannya.Kupejamkan mata. Makin dipikirkan, makin berat terasa. Jangankan menjalani prosesi ijab kabul dengan makhluk itu, bertemu muka saja rasanya aku tak sanggup. Bukan karena takut, tetapi aku khawatir tergoda untuk membunuhnya.Aku ingin tahu, bagaimana pendapat Naila. Apakah dia bisa m