Share

Part-22 Rumahmu-Istanahku

Rumah bukan hanya sebuah bangunan untuk ditinggali bersama tapi sebuah tempat untuk setiap orang

memiliki alasan untuk pulang, merangkai kisah dan menulis dengan tinta emas kehidupan dari awal hingga maut menjemput  pada batas waktu yang telah ditentukan. 

"Jadi ini rumah Muhammad Thoriq...?" hati Savanna bergetar ketika memasuki gerbang rumah besar kekasihnya. Selama dua tahun mengenal belum pernah Savanna diajak kerumahnya tapi kini ia menerima undangan langsung dari pemilik rumah, Umi Azizah.

Rumah menunjukkan pribadi penghuninya, rumah ini adalah perpaduan gaya Arabian dan Tropis. Halaman luas dengan tiang-tiang bangunan yang tinggi dan kokoh, sebagian temboknya dari bata expose dan lempeng batu kali, terkesan unik khas rumah tropis. Jendela dan pintunya besar-besar dengan cat berlapis gold khas Arab dan bernuansa islami. Tamannya luas, asri dengan rumput hijau dan beberapa pohon buah seperti mangga Mahatir yang berbuah besar, belimbing dewi dan jambu jamaika menghiasi pekarangannya. Sebuah musholah berdiri kokoh disamping rumah dengan gaya Timur Tengah.

"Assalamualaikum Umi.." Mama dan Savanna memberi salam pada Umi Azizah.

"Waalaikumsalam, ayo masuk Mama dan Savanna..." Umi mempersilahkan keduanya masuk keruang tamu.

Ketika memasuki ruang tamu tampak beberapa dekorasi yang menonjol salah satunya karpet beludru khas Arab, beberapa furniture seperti sofa-sofa rendah tidak memiliki kaki dengan bentuk meja unik. Bantal-bantal pada sofa juga memiliki motif yang mencirikan gaya Arabian. Kaca besar tembus pandang kearea taman yang tertata rapi dengan rumput menghijau, terlihat asri dan menyejukkan mata pemandangnya.

Ada tiga Hiasan kaligrafi berbingkai besar dengan tinta warna emas bertuliskan ayat kursi, Al-'Asr dan At-Tin. Dua buah foto keluarga berukuran besar dari kakek-nenek hingga cucu-cucunya. Ada foto Muhammad Thoriq kecil disana, memakai baju takwa dan peci dengan senyum menggemaskan. Satu lagi foto keluarga hanya berisi Abi, Umi dan Thoriq muda. Rambutnya sedikit gondrong dengan postur tegap berdiri disebelah Umi yang masih tampak muda dan cantik dengan hidung mancung. Abi adalah seorang Jawa dengan tatapan mata bijaksana dan lembut.

Rumah yang sangat berkarakter kuat khas penghuninya, dengan semua yang terlihat dirumah ini Savanna mengingat dirinya. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara dirinya dan Thoriq berdasarkan latar belakang keluarga, Thoriq dididik berdasarkan cara islami yang kuat sedang Savanna dididik oleh dasar semangat luar biasa oleh seorang ibu yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dari masa lalunya yang gelap dengan menomor duakan agama. Kini Savanna paham kenapa Umi berkeras melarang hubungannya dengan Thoriq, Umi takut anak lelaki satu-satunya terjerat dengan manisnya dunia!

"Hai....kenapa kamu jadi pendiam begitu dirumahku....?" Thoriq menegurnya, Savanna tampak gelagapan ketahuan melamun.

"Kakak piala hafiz-nya banyak sekali, Kakak juga juara matematika dan ilmu alam. Kakak pintar sekali, aku beruntung mendapatkan Kakak..." Savanna menggodanya sembari memperhatikan lemari kaca besar berukir dari kayu jati Jepara yang berisi piala-piala, sertifikat dan penghargaan Muhammad Thoriq.

"Aku yang beruntung mendapatkan kamu Humairah...sayang..."

"Sayang.....?" panggilan itu membuat pipi Savanna merona dan sepasang bola matanya membulat sempurna.

"Kamu calon istriku, bulan depan kita akan menikah atas ijin Allah..." Thoriq menatap teduh.

"Kakak, sejak pertama bertemu denganmu aku sudah mencintaimu. Menatapmu tanpa kedip saat Kakak membacakan Al-Quran dengan tartil yang penuh dinamika. Alin marah padaku karena aku tak mampu menundukkan pandanganku terhadapmu Kakak..." Savanna tersenyum geli mengingat Alin yang selalu mengingatkan untuk mengendàlikan pandangannya.

"Ah massk..." Thoriq pura-pura acuh.

"Kakak....?" Savanna berbalik menatap pemuda itu, berusaha meyakinkan kata-katanya.

"Kamu menduakan aku dengan Edward" Thoriq merajuk.

"Tidak Kakak, Edward ada sebelum aku bertemu Kakak. Dia penggemar beratku, mohon maklum..."

"Apakah dia juga menginginkan menikah denganmu...?" pancing Thoriq.

"Ya, Kakak jangan marah ya. Aku hanya menganggapnya seorang teman baik."

"Tapi Edward menganggapnya lebih dari itu..." wajah Thoriq berubah.

"Kakak jangan membuat kesimpulan sendiri" Savanna mengalihkan tatapannya, takut rahasianya terbongkar lewat sorot matanya.

"Tidak, aku kaki-laki Savanna bisa membedakan mana teman dan bukan teman."

"Kakak, kita lupakan Edward ya...." Savanna mengalihkan topik.

"Baiklah, deal!" Thoriq tersenyum.

Satu per satu keluarga Thoriq dari pihak Ayah dan ibunya datang, beberapa yang datang saat lamaran tiga yang lainnya Savanna belum mengenal. Mereka membawa anak kecil sehingga suasana rumah menjadi hangat dan mereka mendekati Savanna dan Thoriq untuk minta maaf karena berhalangan hadir saat acara lamaran. Kini Suara tawa dan obrolan akrab silih berganti, suasana hangat mewarnai pertemuan keluarga. Savanna merasa betah berada ditengah keluarga ini, utamanya Mama yang nampak membaur dengan Umi dan seluruh keluarga. Paman Abdi dan bibi Tika. Paman Muhammed, Pakde Hamid, Bulik Rini dan lainnya. Semua tampak akrab, tak ada lagi harta dan tahta disini. Saat adzan dhuhur berkumandang mereka bersiap menuju musholah yang berada disebelah rumah untuk melaksanakan sholat berjama'ah dengan imam Pakde Hamid yang dilanjut makan siang bersama dengan menu nasi kebuli Yaman dengan aroma khas rempah dan daging kambing yang sangat empuk. Savanna minum air putih hangat dulu sebelum makan dilanjut buah segar baru makan besar, makan itu untuk kesehatan jadi tetap ada tata caranya.

"Savanna makannya sedikit ya.." bibi Tika melihat tata cara gadis itu makan dan sangat mengaguminya, tak tergoda oleh banyak makanan namun makan dengan tertib. Pantas Thoriq sangat mencintainya, keponakannya itu tidak salah pilih calon istri. Pola makan satu generasi akan mempengaruhi kesehatan generasi berikutnya.

"Tidak, ini sudah cukup Bibi.." Savanna menjawab tersenyum.

"Model Bibi, tidak boleh melar..." timpal Shafira sepupu Thoriq.

"Aku juga pingin punya tubuh kayak Kak Savanna, harus rajin fitnes dan jaga pola makan ya Kak.." Amanda memperhatikan tubuh Savanna dari kaki hingga kepala seperti orang menyelidik.

"Fitnes dan jaga pola makan kan tidak hanya untuk model Amanda tapi untuk semua orang yang ingin menjaga fisiknya tetap bugar."

"Kakak pasti sudah keliling dunia ya, senengnya jadi model, kalau sudah menikah apakah akan tetap jadi model Kak...?" Amanda ingin tahu.

"Amanda, pertanyaanmu seperti mercon saja gak pakai titik dan koma" lerai bibi Tika.

"Kan pingin tahu Umi karena kulihat Kakak Thoriq tidak bakal ijinin. Dia kan introvert, wanita yang dia kenal cuma Kak Kanaya dan Kak Savanna...." cibir Amanda.

"Hus..." bulik Rini mendelik.

"Pasti sedang ngomongin aku yang ganteng ini ya...?" Thoriq nimbrung dengan senyum nakalnya, meski pendiam kalau kumpul keluarga sifat jahilnya datang.

"Huuuuu....sok pede..." serentak mereka memajukan bibirnya, beberapa yang lain terpingkal melihat gayanya.

Diam-diam Savanna memperhatikan kekasihnya, Thoriq tampak bahagia berada diantara keluarganya. Senyumnya merekah dan dia melayani apapun kebutuhan Umi dan yang hadir dirumah ini. Thoriq adalah sosok Family Man, laki-laki yang menempatkan keluarga adalah prioritas utamanya. Mencintai keluarganya lebih dari apa pun dan senang menghabiskan waktu bersama keluarga.

Bintik-bintik keringat ada di dahi dan hidungnya, Thoriq juga menemani keponakan-keponakan kecilnya bermain dan mengambilkan makanan bahkan menyuapinya. Ingin rasanya Savanna melap titik keringat yang ada di dahi dan hidung pemuda itu, melihatnya sungguh gemas. Thoriq bukannya tidak tahu jika Savanna memperhatikannya namun ia pura-pura tak tahu, setiap kali bertemu gadis itu Thoriq berusaha mengendalikan segala hasrat yang bergejolak dalam dadanya dengan terus istighfar, rasanya satu bulan terlalu lama. Thoriq ingin segera menikah agar dia dan Savanna menjadi halal.

"Ayo, ngeliatin Kakak terus..." Amanda mengejutkan Savanna.

"Amanda....?" Savanna mengalihkan tatapannya, tersipu.

"Apa sih yang menarik dari Kak Thoriq, dia pendiam dan tidak romantis...." Amanda mengikuti pandangan Savanna, terlihat Thoriq yang sedang melayani keponakan-keponakan kecilnya.

"Dia istimewa, menemukan pemuda seperti dia seperti menemukan jarum ditumpukan jerami..." jawab Savanna.

Thoriq begitu tampan, baik dan tak ternoda. Begitu banyak wanita yang menginginkannya tapi ia tetap menjaga dirinya dengan baik. Savanna sering makan malam bersama Edward bahkan terkadang saling berpegangan tangan. Thoriq begitu sempurna dimatanya, tidak seperti dirinya yang penuh dosa. Matanya mulai memanas bahkan terkadang merasa tak pantas bersanding d3ngan Thoriq namun ia mensyukuri apa yang sudah diberikan Allah kepadanya.

"Kakak begitu memuja Kak Thoriq" Safira terharu mendengar ucapan Savanna.

"Dia imam yang kakak cari, kamu tahu nggak bedanya orang baik dan orang jahat...."

"Orang baik adalah memperbaiki sesuatu yang rusak menjadi baik sedangkan orang jahat adalah membuat sesuatu yang baik menjadi rusak. Benar nggak Kak....?" bola mata Safira berputar.

"Seratus buat kamu" Savanna menjentikkan jempolnya.

"Kapan Kakak berangkat ke Milan?"

"Nanti malam."

"Serius?"

"Ya..." Savanna sèdih mengingat hal itu namun tanggung jawab haruslah diselesaikan karena bisnis adalah kepercayaan.

"Kak, kalau setelah menikah Kak Thoriq menyuruh Kakak berhenti jadi model gimana..?"Amanda penasaran.

"Setelah menikah tempat seorang istri berada disisi suaminya..." jawab Savanna tersenyum.

"Wow.....Kakak tidak keliling dunia lagi...?" bola mata Amanda dan Shifa yang baru datang membulat sempurna.

"Kakak gak sayang membuang karir yang tengah diatas puncak..."

"Tidak, Kak Thoriq adalah segalanya buat Kakak..." Savanna tersenyum penuh arti.

"Wow....Kak Thoriq sungguh beruntung mendapatkan istri sholehah seperti Kakak..." Safira berdecak.

"Kakak yang beruntung mendapatkan dia..." Savanna menatap Thoriq yang kini juga menatapnya.

"Suatu saat aku ingin membangun sebuah hubungan seperti kalian...." sepasang bola mata Shafira tampak menerawang.

"Emang belum punya kekasih...?" Savanna menggoda dua gadis sepupu Thoriq.

"Kekasih....? Wow, bisa didamprat Abi kita..." kedua gadis itu terkekeh.

"Sedang membicarakan pangeran tampan ini ya...?" Thoriq menunjuk dirinya sambil menggoda tiga gadis dihadapannya.

"Ih....pede banget sih Kakak ini.." kedua gadis itu terkekeh.

"Kita pergi yuk, takut mengganggu.."

"Hei....mau kemana, sebentar lagi adzan ashar..." Thoriq menahan lengan keduanya.

"Duuuh...Kakak yang di inget itu terus. Baiklah, kita ke mushola yuk Shafira..." kedua gadis itu melangkah menuju mushola dengan langkah terpaksa.

Orang yg tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun maka dia hidup tanpa memanfaatkan akalnya, GOETHE.

Sungguh tragis kehidupan manusia, bahwa kebanyakan orang harus sakit dahulu sebelum mereka menyadari betapa berharganya sebuah nasehat.

Adzan ashar mengumpulkan mereka di musholah, kali ini Thoriq yang menjadi imam, bacaan sholatnya begitu merdu dan membuat damai hati Savanna. "Ya Allah, terima kasih telah memberiku seorang imam...." usai sholat ashar pertemuan keluarga selesai. Mereka saling berpamitan menuju rumah masing-masing, setelah pamit pada Umi, Savanna dan Mama diantar Thoriq pulang kerumahnya.

*****

Bandara Soekarno Hatta pukul 19.00 WIB, pesawat boarding pukul 21.00 WIB ke Milan-Italy. Savanna dan Thoriq sudah siap di bandara, setelah sholat isya di musholah bandara keduanya menikmati sepotong roti dan clasic coffee disebuah cafe bandara. Lalu lalang orang tak mengganggu obrolan keduanya, Savanna memakai kerudung hijau tosca pemberian Thoriq. Kerudung kesayangan yang akan dibawa dan dipakainya dimana saja berada.

 

"Senang melihatmu memakai kerudung ini" Thoriq menatap senang, pemberiannya di pakai kemana-mana oleh Savanna.

 

"Aku merasa Kakak dekat denganku jika memakai kerudung ini..." Savanna menunduk, menghindari tatapan Thoriq. Savanna takut tak dapat menahan air matanya, ia sedih akan berpisah dengan pemuda ini. Setelah semua peristiwa yang mewarnai hubungan keduanya kini akhirnya bisa menikmati masa bersama dengan tenang. Restu orang tua tiada duanya, mendapatkannya sungguh anugrah tiada tara.

 

"Hai...jangan bersedih, ini kubawakan kerudung dengan warna lain untukmu. Aku berharap suatu saat kamu bisa memakai kerudung syar'i..." Thoriq menyerahkan bungkusan berisi kerudung untuk Savanna.

 

"Terima kasih untuk semuanya Kakak..." sudut mata gadis itu berkaca.

 

Ponsel Savanna berdering, dilihatnya nama di layar. Verga! Ini sudah ketiga kalinya sejak pagi, jadwalnya sampai di Milan harusnya hari ini jam 09.30 (GMT +2) waktu Milan tapi Savanna memundurkan satu hari hanya lewat watsapp, tak berani telepon takut Verga menyemprotnya. Sungguh, tidak disiplin dan mangkir dari jadwal bukanlah tabiatnya tapi kehidupan pribadinya juga sesuatu yang sangat penting.

 

"Siapa..?" Thoriq menatapnya kawatir.

 

"Verga Kak, managerku. Harusnya aku sudah sampai di Milan tadi pagi..." Savanna menggigit bibir bawahnya, ditekannya speaker di ponselnya.

 

"Savanna, jadwalmu penuh dari Hanny Hananto dan kau sudah mangkir tiga hari untuk pemotretan dan iklan. Aku pusing mendengar deringan telepon mereka yang menanyakan kamu kapan kembali ke Milan. Belum lagi kamu tidak datang ke managemen Hanny Hananto Jakarta untuk perpanjangan kontrak selama dua tahun, ponselnmu tidak pernah bisa dihubungi juga ponsel ibumu. Kalian ada dimana...?" suara Verga terdengar panik, memberondong pertanyaan tanpa jeda. Ada puluhan telepon tak terjawab dari Verga sebelum ia mengangkatnya.

 

"Baik Verga, aku sekarang sudah di bandara keberangkatan, besok jam 09.30 sampai di bandara Malpensa. Aku akan menghubungimu jika sudah sampai apartemen-ku..." Savanna tak bisa menjawab pertanyaan Verga satu persatu, ia sendiri bingung harus menjelaskan apa.

 

"Tidak, sampai bandara kami akan menjemputmu dan langsung ke lokasi pemotretan, tak ada waktu lagi..."

 

"Baiklah Verga, aku akan menelfonmu kembali sesampai di bandara" Savanna memutuskan sambungan teleponnya dengan wajah galau.

 

Thoriq mendengarkan percakapan keduanya dengan serius, pikirannya menerawang jauh ke Milan tempat Savanna bakal melewati hari-harinya dengan kerja keras dan mungkin tak kenal waktu. Ingin rasanya ikut ke Milan, bertemu Hanny Hananto dan memutus kontrak dengan penggantian uang, setidaknya Thoriq masih memiliki tabungan pribadi. Namun mendengar padatnya jadwal Savanna, ia tak mau membuat keributan dengan managemen-nya. Bagaimanapun ia tak mau merugikan orang lain, mengambil jalan tengah sungguh hal yang harus dipikirkan secara matang.

 

"Kenapa kemaren kamu gak bilang jika jadwalmu padat, kan kita bisa menunda pertemuan keluarga" protes Thoriq, sungguh perasaannya tak nyaman.

 

"Tidak Kakak, pertemuan di rumah Kakak sangat berarti bagiku. Dua tahun kita berhubungan tapi tak sekalipun Kakak pernah mengajak-ku. Undangan Umi sangat penting bagiku, aku bisa mengatasi masalah pekerjaanku dan Verga. Tak mengapa bayaranku dipotong karena mangkir dari jadwal..." sepasang bola mata Savanna berkaca, sedih mengingat perjalanan cintanya dengan Thoriq.

 

"Maafkan aku..." Thoriq mengalihkan tatapannya, tak kuasa menatap wajah gadis dihadapannya, haru menguasai batinnya. Seorang model profesional, rela kehilangan jadwalnya hanya untuk mengunjungi rumah bertemu keluarganya.

 

"Kakak tidak salah, aku melakukan pilihan ini dengan sadar...."

 

"Kamu tahu tidak kenapa aku mencintaimu...?"

 

"Mungkin karena aku cantik dan baik..." Savanna mengedipkan sepasang bola matanya, menggoda.

 

"Karena kamu tidak pernah menyombongkan diri didepanku dan keluargaku sekalipun kamu seorang model profesional, kamu menunjukkan betapa pentingnya arti sebuah keluarga bagimu. Lelaki suka dihargai apalagi yang menyangkut orang tuanya dan kamu melakukan itu dengan baik humairah...."

 

"Terima kasih Kakak..." Savanna sungguh terharu, Thoriq laki-laki yang baik meski agak kaku tidak seperti Edward yang romantis dan bebas. Dari awal bertemu, Savanna mengejar Thoriq karena yakin tak salah pilih imam. Ia ingin menghabiskan sisa umurnya bersama laki-laki dihadapannya ini apapun yang terjadi.

 

"Jalani sisa kontrak yang sebulan lagi dengan tanggung jawab karena janji adalah hutang yang harus dibayar, kecuali yang dua tahun itu..."

 

"Aku yakin Kakak akan tahan menungguku selama dua tahun ..." Savanna menggoda kekasihnya.

 

"Jangankan aku, Umi saja tidak tahan menunggumu. Kalau tidak karena aku membelamu tiga minggu lagi kamu sudah menjadi Nyonya Muhammad Thoriq Al-Farisi, pemuda idamanmu ini..." Thoriq bergaya membetulkan krah kemejanya, sok tampan.

 

"Selama disini apakah Edward tidak pernah menelfonmu...?" Thoriq menatap dengan kening berkerut.

 

"Dia sedang berada di Nepal mengurus bisnisnya..." Savanna menunduk, keceplosan tapi kata-katanya tak bisa diralat lagi, harusnya ia tak mengatakan apapun agar Thoriq tidak curiga. Lihatlah sekarang wajahnya, Savanna tak berani menatapnya.

 

"Wow....dan kau tak kehilangan kontak dengannya dimanapun Edward berada...?" sisi egoisnya tak mengijinkan gadis yang sudah dilamarnya berhubungan dengan laki-laki lain, hati Thoriq meradang seketika.

 

"Kak, jangan mulai lagi. Lihat cincin di jari manis kita, jika Kakak tidak membangun kepercayaan semua ini tak ada artinya..." Savanna menghembuskan nafas berat, Thoriq adalah laki-laki yang sangat pecemburu kadang Savanna sulit meredamnya.

 

"Baiklah, satu jam lagi boarding kamu harus cek in. Jaga dirimu, janji untuk tidak meninggalkan sholat dan tiap malam habis sholat isya wajib menelfonku" Thoriq berdiri menuju kasir untuk membayar roti dan minuman keduanya setelah itu ia menatap gadisnya dengan senyum lembut, menetralisir perasaannya agar lebih baik.

 

"Siap Kapten..." Savanna mengangkat tangannya di dahi, posisi memberi hormat. Keduanya tertawa, menikmati saat-saat manis bersama.

 

Keduanya berjalan menuju pintu masuk, sebelum memasuki areal pembatas Thoriq memegang tangan Savanna dan mencium pucuk kepalanya. Savanna merasa surprise, selama bersama Thoriq belum pernah melakukan hal itu. Savanna menyeret travel bag-nya dan melambai pada kekasihnya. Setelah melewati pintu detector Savanna tak terlihat lagi, separuh jiwanya seakan ikut pergi bersama gadis itu. 

 

Hari ini akan segera berganti dengan hari baru, segala sesuatu bisa berubah tanpa kita tahu, pergunakanlah kesempatan selagi bisa karena kesempatan datang laksana awan

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status