Share

10. Mengubah Kontrak

Jalanan ibu kota tak terlalu padat di akhir pekan. Arsya melajukan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi, namun tak terburu-buru. Kami sama-sama mengenakan pakaian kasual hari ini. Meski berpakaian kasual, Arsya tetap terlihat seperti orang berada. Aku memandangi wajah pria di sampingku itu. Walaupun dia menyebalkan, aku harus mengakui bahwa dia memang sangat tampan.

“Kenapa menatap saya seperti itu?” tanya Arsya tanpa menoleh.

Aku berdehem. “Tidak. Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu memang orang yang dapat dipercaya. Tentang kontrak perjanjian kita, saya harap kamu tidak melanggarnya."

Arsya tersenyum. “Tenang saja. Saya adalah orang yang bisa dipercaya, makanya saya bisa menjadi direktur di usia muda."

“Kamu terlalu jemawa," cibirku. “Semuanya akan lebih mudah kalau saat itu kamu hanya meminjamkan uang pada saya, tanpa meminta saya menandatangani kontrak menyebalkan itu."

“Saya sudah bilang kalau saya hanya meminjamkan uang padamu, maka tidak ada keuntungannya bagi saya. Lagi pula, saya ingin mengenalmu lebih jauh.” Arsya menoleh sekilas padaku, lalu fokus kembali menatap jalanan di depannya.

Benar-benar pria aneh, sungutku dalam hati.

Sesampainya di mall, aku dan Arsya menonton film di bioskop terlebih dahulu. Setelahnya, Arsya mengajakku ke beberapa outlet fashion eksklusif. Dia membelikan pakaian dan barang fashion lainnya dengan harga yang cukup fantastis bagiku. Kalaupun misalnya aku menjadi orang kaya, kurasa aku akan berpikir ulang untuk membeli barang-barang semahal itu.

Namun Arsya tetap membelikannya untukku, meski aku berusaha menolak. Karena malas berdebat, maka kuterima saja. Rasanya aku ingin mengubah kontrak, terutama poin ketentuan darinya tentang pemberian hadiah. Benar-benar menyebalkan kalau aku harus menerima semua pemberiannya karena terikat akan ketentuan itu.

Aku menghela napas ketika memasuki outlet ke sekian. Saat aku dan Arsya sedang memilih blazer, aku melihat ada dua orang pengunjung wanita memperhatikan kami.

“Ceweknya cantik, tapi tidak kelihatan berkelas seperti cowoknya,” komentar salah seorang di antara mereka.

Sudah jelas komentar itu ditujukan untukku karena tak ada orang lain selain kami di dekat situ. Namun aku pura-pura tak mendengar.

“Sepertinya bukan istri atau pacar,” sahut pengunjung wanita yang satu lagi.

“Terus apa? Simpanan?”

Mereka lalu tertawa terbahak. Mendengar itu, aku tak bisa menahan langkahku untuk menghampiri mereka.

“Maksud kalian apa membicarakan saya seperti itu?” tanyaku membuat kedua wanita itu tersentak.

“Dengar, ya. Saya bukan simpanan! Dia single, saya single. Tidak ada yang salah jika kami menjalin hubungan meski kami berbeda kelas sosial.” Aku mengatur nada bicaraku namun menekankan setiap kata yang kuucapkan.

Mereka baru saja akan membuka mulut, ketika aku bersuara lagi. “Dan kalaupun saya seorang simpanan, apa hak dan urusan kalian membicarakan saya?!”

“Maaf, Mbak.” Mereka berkata serempak dengan wajah pucat.

“Ada apa, Abelia?” tanya Arsya yang kini sudah berdiri di sampingku lagi.

Aku hanya menoleh sekilas padanya, lantas berbalik. “Saya mau pulang, Arsya,” ucapku seraya bergegas beranjak meninggalkan outlet. Tak kupedulikan Arsya yang memanggilku.

“Saya tidak tahu bahwa kamu adalah orang yang temperamental,” komentar Arsya ketika kami sudah berada di dalam mobil.

Keningku berkerut mendengarnya. Sesaat kemudian aku menyadari bahwa yang dia maksud adalah tindakanku menghampiri dua pengunjung wanita yang menggunjingku tadi.

“Temperamental?" Aku tertawa kecil." Saya membela diri malah kamu tuding temperamental!”

Arsya tak menyahut. Ia lalu menyodorkan sebotol air mineral padaku dan aku meneguknya hingga setengah botol. Ternyata aku haus. Atau karena masih diliputi kekesalan? Kuletakkan botol air mineral itu kembali. Arsya masih mengunci mulutnya. Keheningan menguasai kami untuk beberapa saat.

“Kamu orang pertama yang membuat saya menyusul langkah seorang wanita dan memanggil namanya sambil membawa paper bag berisi belanjaan,” ujar Arsya kemudian, masih tak menoleh.

Ada raut ketidaksukaan di wajahnya. Apa dia merasa kesal akan hal itu? Tapi aku tidak seharusnya merasa bersalah, bukan?

“Maaf,” ucapku memandang lurus ke depan. “Tapi kalau kamu tidak mau melakukannya, seharusnya tidak usah kamu lakukan.”

“Kamu juga orang pertama yang tidak menghargai saya dengan berbicara seperti itu.”

Aku menoleh. “Saya kan sudah bilang maaf. Sebaiknya kita memang tidak usah berbelanja saja tadi!”

“Dan kamu adalah orang pertama yang berani mengomeli saya seperti itu,” sahut Arsya lagi. “Mama saya bahkan tak pernah melakukannya.”

Aku menghela napas kasar. “Sepertinya saya adalah orang pertama yang membuat harimu jadi buruk.”

“Sepertinya begitu.” Arsya menaikkan alisnya, menyetujui ucapanku.

“Kalau begitu kamu pulang saja. Turunkan saya di sini, saya bisa pulang sendiri,” sungutku.

Arsya menatapku dan menggeleng. “Saya akan singgah ke apartemenmu dan kamu harus membuat suasana hati saya jadi baik lagi.”

“Apa maksudmu?” tanyaku.

Kembali Arsya tak menyahut. Dan aku pun memilih untuk tak peduli. Kupalingkan wajahku ke arah jendela, menatap hampa ke tepi jalan. Pikiran tentang pengubahan kontrak itu melintas lagi di kepalaku. Kuputuskan untuk mengatakannya pada Arsya nanti.

Sesampainya di apartemen, aku ingin segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun dari sudut mata kulihat Arsya mengikuti langkahku. Alarm di kepalaku menyala dan jantungku berdegup. Ketika aku berbalik, Arsya sudah berada di hadapanku. Aku mundur hingga bersandar pada lemari. Arsya melangkah mendekat dan meletakkan sebelah lengannya di atas kepalaku. Ia menatapku lekat.

“What are you doing, Arsya?” Aku menahan tubuhnya. “Jangan macam-macam!”

Arsya tak menjawab. Ia memandangi wajahku beberapa lama, lalu tersenyum.

“Saya akan memasak untukmu,” ucapnya seraya menjauhkan tubuhnya, membuatku mengembuskan napas lega.

Ia lalu berjalan ke arah lemari pendingin dan mengambil sekotak kemasan spaghetti instant. Ketika kulihat ia sibuk di dapur dan kupastikan ia tak berniat melakukan hal buruk padaku, aku bergegas mandi dan berganti baju. Begitu selesai, kulihat dua porsi spaghetti telah terhidang di atas meja makan kecil dekat dapur. Kami lalu duduk berseberangan. Aku mengangguk ketika ia menyuruhku menghabiskan makananku. Aku sudah merasa lapar lagi. Padahal tadi sebelum menonton film dan berbelanja, kami sudah makan siang.

“Saya tidak tahu kalau kamu bisa memasak,” komentarku. Spaghetti yang dihidangkannya terasa lezat di lidahku.

“Hanya bisa memasak masakan western yang mudah,” jawabnya.

Selanjutnya kami tak saling bicara. Hanya terdengar suara denting peralatan makan. Usai menikmati hidangan, kami beranjak ke sofa untuk menonton TV. Entah kenapa aku tak menikmati acara-acara yang ditayangkan, meski sudah memindah saluran beberapa kali. Aku menoleh pada Arsya. Ia pun hanya menatap kosong pada layar datar itu. Keheningan kembali menguasai kami. Sungguh, kami terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Aku terkekeh dalam hati.

“Arsya, saya ingin mengubah kontrak.” Suaraku memecah keheningan. Setelah ragu sesaat, akhirnya kusampaikan juga keinginan yang sejak tadi memenuhi kepalaku.

Kening Arsya berkerut. “Untuk apa?”

“Lebih tepatnya menghapus poin kedua persyaratan darimu,” ujarku.

Arsya menggeleng dan kembali mengalihkan pandangannya ke layar TV.

Aku berdecak. “Tapi saya tidak mau terus-terusan menerima pemberianmu. Saya merasa tak enak hati. Apalagi barang-barang yang kamu belikan harganya sangat mahal.”

“Arsya!” Tanpa sadar aku memegang lengannya karena ia tak kunjung menyahut. Namun aku segera menarik tanganku lagi.

Ia menghela napas. “Kamu hanya boleh mengubah sedikit, tidak boleh menghapus poin itu.”

Terdengar lebih baik daripada tidak diperbolehkan sama sekali. Aku pun mengangguk dan bergegas membuka laptop untuk mencari file kontrak. Poin kedua yang semula berbunyi:

Pihak II tidak boleh menolak hadiah ataupun pemberian berupa materi lainnya dari pihak I, kecuali uang.

Kutambahkan menjadi:

Pihak II tidak boleh menolak hadiah ataupun pemberian berupa materi lainnya dari pihak I, kecuali uang dan pemberian dengan nominal harga yang sangat mahal.

Setelah menyetujui perubahan pada poin itu, Arsya ingin menambahkan satu poin lagi dalam ketentuannya. Kami sempat berdebat namun akhirnya menemukan kesepakatan. Ketentuan dari Arsya ditambahkan satu poin lagi yang berbunyi:

Pihak I diperbolehkan untuk menemui Pihak II setiap hari dengan waktu berkunjung tidak lebih dari pukul 11 malam.

Usai mengetik perubahan kontrak, aku pun mencetaknya untuk kami tanda tangani. Setelahnya, Arsya tak juga pulang. Apakah dia benar-benar ingin menghabiskan waktu bersamaku seharian hingga pukul 11 malam nanti? Mataku sudah sangat mengantuk, namun aku tak berani tidur. Tentu saja aku belum bisa memercayai Arsya sepenuhnya. Pria di sampingku itu tersenyum memandangiku yang menguap berkali-kali. Sampai kemudian ia berpamitan karena ada urusan mendadak, aku benar-benar merasa lega. Setelah ia berlalu, aku segera merebahkan diri di ranjang dan terlelap.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status