Kala itu aku masih berumur 6 tahun dan kakakku, Ruben, berumur 10 tahun. Kami sedang bermain di taman dekat rumah dengan anak-anak lainnya. Lelah bermain, Ruben mengajakku pulang. Ibu sedang tak ada di rumah, ia pergi selama beberapa hari ke rumah kerabat yang sedang mengadakan pesta, dengan membawa serta adikku, Dikta. Seharusnya hanya ada ayah di rumah. Tapi siang itu ayah tak sendiri.
Setelah memasuki pagar yang tak terkunci, aku dan Ruben seperti mendengar suara-suara aneh. Kami menajamkan pendengaran, ternyata berasal dari kamar ayah dan ibu yang berada di bagian depan rumah. Ruben pun mengajakku mendekati kamar ayah dan ibu untuk memastikan. Dari balik tanaman hias yang mulai meninggi, kami mengintip melalui jendela kaca yang tirainya sedikit terbuka. Ayah sedang bersama seorang wanita, tapi bukan ibu.
Ayah dan wanita itu bergumul di atas ranjang dengan desahan-desahan yang terdengar menjijikkan di telingaku. Saat itu, aku tak tahu persis apa yang mereka lakukan, tapi aku meyakini bahwa itu adalah hal yang tak senonoh.
“Ayah sedang—” Ruben menggantung kalimatnya, lalu ia berbisik di telingaku mengucapkan satu kata yang membuatku merinding. “Tapi bukan dengan ibu,” lanjutnya.
Aku menutupi mataku sambil menahan tangis. Ruben pun terdiam. Tak berapa lama ia menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah, namun pintu dikunci. Ia menggedor pintu dengan keras sampai kemudian ayah membukakan pintu.
“Ayah dengan siapa di kamar?” tanya Ruben lantang.
“Tidak ada siapa-siapa,” jawab ayah dengan wajah datar.
“Bohong! Tadi kami lihat ada tante-tante bersama ayah di dalam!” tuding Ruben.
Sementara aku hanya bisa membeku, tak bisa bersuara.
“Sudah. Ayo, kalian tidur siang.” Ayah kemudian menuntun kami ke kamar masing-masing. Dan kami tak melawan.
Sorenya ibu pulang dan wanita yang bergumul dengan ayah tadi tentu saja sudah tak ada lagi. Ayah mengancam Ruben setiap kali ia ingin memberi tahu ibu tentang wanita itu. Selanjutnya Ruben tak pernah mengungkit hal itu lagi sampai kami beranjak remaja. Suatu kali, Ruben bertengkar hebat dengan ayah dan membuka kedok ayah itu. Namun ibu tak percaya.
Ruben mendesakku untuk mendukung pernyataannya dan mengatakan yang sejujurnya. Namun saat itu aku hanya menggeleng, karena takut ayah dan ibu bertengkar, lalu berpisah. Sejak saat itu, Ruben membenciku. Terlebih ayah selalu memercayaiku dalam hal apa pun di keluarga dan ia tak pernah menganggap Ruben sebagai anak sulung.
Hubunganku dan Ruben sebagai keluarga bisa dibilang tak baik dan dia kerap menyudutkanku. Sampai kemudian ia menikah dan sering meminjam uang padaku untuk membantunya memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya, hubungan kami mulai mencair. Kami kini sudah selayaknya saudara kandung, meski masih berjarak. Sementara ibu selalu mencintai dan memercayai ayah. Hingga ayah meninggal, hingga kini.
Aku menghela napas. Mencoba menghilangkan semua cerita kelam yang terjadi di masa lalu. Peristiwa perselingkuhan ayah itu membuatku trauma akan lelaki hingga saat ini. Jangankan untuk berkomitmen, mencoba dekat dengan lelaki saja aku kadang membuatku takut. Rekaman peristiwa menjijikan itu selalu terputar di kepalaku setiap kali teman priaku mencoba mengajakku bercumbu.
Maka aku tak pernah bercumbu, hanya bisa sebatas berpegangan tangan. Aku kembali mengingat saat tadi malam Arsya mencoba menggenggam tanganku. Seharusnya tak apa-apa, tapi entah kenapa rekaman peristiwa itu terputar begitu saja di benakku dan membuat tubuhku menggigil. Mungkin karena sudah terlalu lama aku tak pernah dekat lagi dengan seorang pria.
Lamunanku terhenti saat ponselku bergetar. Nama Dikta tertera di layar. Aku segera mengangkat telepon dari adik laki-lakiku itu.
“Halo, Dikta. Kakak baru saja mau menelepon ibu, ingin menanyakan kabar kalian,” ujarku.
“Ini ibu, Bel.” Suara lembut ibuku terdengar di seberang sana.
“Ya, Bu. Ada apa?”
“Dikta katanya mau minta kiriman uang untuk biayanya mengurus skripsi,” jelas ibu. “Abel lagi ada uang, Nak?”
Aku berdehem. “Dikta perlu berapa katanya, Bu?”
Setelah ibu mengatakan jumlah uang yang dibutuhkan oleh Dikta, aku pun mengangguk, meski ibu tak melihatnya. “Ya, nanti Abel usahakan kirim secepatnya, ya, Bu. Dikta mana?”
Terdengar ibu memanggil Dikta, lalu tak berapa lama Dikta menyahut. “Ya, Kak?”
“Kamu semangat menyusun skripsi, ya.” Hanya itu yang kuucapkan.
Dikta mengiakan, lalu menyerahkan kembali ponsel pada ibu.
“Kamu baik-baik saja kan, Nak? Pekerjaan kamu bagaimana?” tanya ibu khawatir.
Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, “Semuanya baik-baik saja di sini, Bu.” Aku terpaksa berbohong.
Setelah mendengar jawabanku, ibu merasa lega kemudian menutup telepon. Entah kenapa ibu sering bertanya khawatir seperti itu belakangan ini, seperti mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Akan tetapi, sampai sekarang aku tak tega mengatakan bahwa aku sudah diberhentikan dari pekerjaanku beberapa bulan lalu. Meski aku merasa bersalah telah berbohong, kurasa ini adalah hal yang terbaik.
Perlahan aku bangkit dari ranjangku dan beranjak menuju jendela kaca, memandangi lalu lintas di bawah sana. Ini akhir pekan. Aku ingin bersantai sambil memikirkan konsep UMKM yangan ingin kujalankan. Namun tadi Arsya meneleponku bahwa ia akan datang siang ini. Lagi-lagi, aku tak bisa menolak. Bagaimanapun, ia telah membantu keuanganku sehingga aku bisa bertahan di ibu kota yang sesak ini.
“Ini untukmu.” Arsya menyodorkan dua kotak gadget yang masing-masing berisi laptop dan ponsel saat kemudian ia datang.
Aku mengamati kedua kotak itu. Dari nama brand dan serinya saja aku sudah bisa mengetahui harganya.
“Kenapa kamu harus membelikan yang semahal ini?” tanyaku.
“Keduanya sama persis dengan yang saya pakai saat ini. Jadi, kamu tidak perlu mempermasalahkan tentang harga. Pakai saja,” tegasnya.
Aku menghela napas, tak ingin berdebat. Akhirnya aku mengiakan. “Terima kasih,” ucapku.
“Kamu ada rencana apa siang ini?” Arsya membuka suara setelah beberapa saat kami saling berdiam diri.
“Tidak ada,” jawabku tanpa menoleh.
“Kalau begitu, ayo kita berbelanja.”
Aku mengerutkan kening. “Belanja apa lagi? Kamu sudah membelikan saya semua ini.” Tanganku menunjuk kotak berisi laptop dan ponsel yang berada di atas meja.
“Belanja yang lain. Pakaian, tas, parfum, atau apa pun yang kamu mau,” jawabnya.
Aku menyilangkan lengan di dada. “Saya tidak menginginkan semua itu.”
Arsya menatapku. “Tapi saya ingin membelikanmu. Dan saya juga ingin mengajakmu nonton.”
Melihatku hanya diam, Arsya berkata lagi, “Kamu tidak boleh menolaknya. Karena hal itu tertulis dalam—”
“Oke,” selaku sebelum ia kembali mengingatkan tentang kontrak. “Saya ganti baju dulu.”
Arsya tersenyum tipis, lalu mempersilakanku. Aku pun beranjak bangkit menuju lemari untuk berganti baju. Baru saja aku akan membuka baju yang sedang kupakai, namun urung. Aku baru ingat bahwa ini adalah apartemen studio yang area tempat tidur hanya dibatasi lemari dengan sofa di mana Arsya sedang duduk. Sedangkan aku sangat tak suka berganti baju di kamar mandi.
“Arsya, kamu jangan kemari! Saya sedang berganti baju!” seruku.
“Ya.”
Perlahan aku berjingkat ke arah tepi lemari untuk melihat apakah Arsya benar-benar tak berniat untuk mengintipku. Kulihat pria itu masih duduk di tempatnya, bersandar dengan tatapan fokus pada layar ponsel. Awas saja kalau ia berani mengintip, akan kutumbangkan lemari ini agar menimpa tubuhnya. Setelah yakin bahwa Arsya memang tak berniat mengintip, aku segera berganti baju dan tak berapa lama kemudian kembali menemuinya.
***
Hello, MELODI ABELIA readers! Thank you so much for reading love story of Abelia and Arsya. Hope you like it. Cerita ini memang bukan tema populer, tapi aku menyukainya. Tema novel ini memang sedikit dark dengan mengangkat isu kesehatan mental dan konflik keluarga yang pelik. Di sini hampir setiap tokohnya melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki sisi baik dan buruk, juga memiliki keterikatan dengan masa lalu. Masing-masing tokoh juga mengalami perkembangan karakter.Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari novel ini, semoga kamu bisa mengambil pelajaran di dalamnya, ya. Semoga juga bisa menjadi bacaan yang menghibur dan berkesan. That's it. Thank you and see you. With Love,Author Remahan Croissant NOTE: JANGAN MENJIPLAK KARYA INI SEBAGIAN ATAUPUN SELURUHNYA. SANK
Sekian tahun berlalu. Abelia terbangun di pagi hari karena sinar mentari yang mengintip dari sela tirai jendela kaca. Segera ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia melihat kalender. Ia tak akan pernah lupa pada tanggal itu. Hari ulang tahun Arsya, pria yang sangat dan akan selalu ia cintai. Perlahan Abelia menghela napas. Sambil menyunggingkan senyum, ia beranjak ke kamar anaknya. Putranya yang bernama Abizhar, berumur 5 tahun. Putrinya yang bernama Aubrie, berumur 3 tahun. Abelia segera membangunkan mereka untuk mandi dan bersiap-siap. Karena mereka sulit sekali dibangunkan, Abelia menciumi pipi mereka hingga terbangun. "Ayo, bangun. Hari ini ulang tahun papa," ucap Abelia. Abizhar dan Aubrie segera bangkit dari ranjang mungil mereka masing-masing. "Oh, ya. Hari ini ulang tahun papa!" seru mereka. "Apakah kita akan menemui papa hari ini, Ma?" tanya Abizhar. "Tentu saja, Sayang. Makanya mandi, biar cepat bertemu papa." Abelia tersenyum. "Ayo, mandi, M
Penantian Arsya berakhir sudah. Hari bahagianya bersama Abelia yang sempat tertunda kini telah terwujud. Sebuah hari bahagia di mana ia dan sang kekasih akhirnya mengucap ikrar suci dan janji untuk saling setia dalam ikatan pernikahan. Mereka mengikuti semua prosesi pernikahan yang sakral dalam suasana syahdu. Para tamu yang hadir pun ikut terlarut. Ijab kabul dan prosesi adat telah selesai dilakukan. Sekarang saatnya mereka bersanding di pelaminan mengebakan sepasang gaun pengantin hasil rancangan desainer ternama. Arsya terlihat semakin tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih, sedangkan Abelia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna putih yang terlihat mewah dengan taburan payet di bagian dada. Para tamu mengagumi keelokan penampilan mereka. Ditambah dengan dekorasi pernikahan yang didominasi dengan warna putih semakin membuat suasana pesta pernikahan itu begitu agung. Arsya menoleh pada Abelia, wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Keel
Kebekuan melingkupi Abelia dan Arsya sepanjang perjalanan. Setibanya di apartemen Abelia pun mereka masih saling berdiam diri tanpa sepatah kata terucap. Sambil menahan air mata, Abelia menatap Arsya. Mereka saling menatap dalam diam dengan pandangan yang redup. Suasana yang dingin pun tercipta. Semua kebahagiaan yang terjadi pada mereka belakangan ini seolah lenyap begitu saja. Abelia merasa dia harus kembali mengulang masa-masa sakit, tetapi kali ini lebih perih. Masa lalu yang kelam kembali datang menghampiri. Membuat luka yang sudah hampir sembuh kini menganga kembali. "Arsya," panggil Abelia pelan. "Lebih baik kita akhiri hubungan ini." Perlahan Abelia melepaskan cincin tunangan yang melekat di jari manisnya. Melihat itu, Arsya menahannya dan menggeleng. "Aku tidak mau, Abelia." "Lalu maumu bagaimana? Tetap menjalani hubungan sampai ke pernikahan setelah semua fakta itu?" cecar Abelia. Sejenak Arsya terdiam, lantas mengangguk. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seora
Suasana bahagia masih meliputi hati Abelia dan Arsya sejak hari pertunangan mereka kemarin. Mereka tak bisa menyembunyikan kelegaan akan hubungan mereka yang sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Kedua pihak keluarga juga sudah membicarakan persiapan pernikahan mereka yang rencananya akan dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Hanya tinggal selangkah lagi untuk benar-benar saling memiliki.Kini Abelia bisa sedikit lebih fokus pada outlet barunya yang sudah dibuka dan beroperasi. Ia sudah mempekerjakan beberapa orang karyawan yang didapatnya dari rekomendasi supplier produk jualannya. Hari-hari yang sibuk akan segera dimulai. Abelia harus membagi waktu antara mengurusi bisnis dan mempersiapkan pernikahan.Namun, Abelia tak merasakan masalah berarti karena ada Arsya yang selalu mendukungnya. Hari itu Arsya menemani Abelia mengunjungi outlet-nya yang dinamakan Abelia Mode. Selain menjual kain, Abelia juga berencana untuk memproduksi pakaian berbahan d
Hari pertunangan Abelia dan Arsya secara resmi tengah berlangsung. Mereka memilih tema garden party sebagai dekorasi. Lantunan musik romantis terdengar dari sebuah band akustik yang berada di salah satu sudut taman. Nada dan melodi yang merdu itu seakan membuat para tamu terhanyut dalam kesyahduan. Keluarga dari kedua belah pihak telah datang. Abelia datang hanya bersama keluarga intinya yang sempat menginap semalam di hotel. Sementara dari pihak keluarga Arsya tidak hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetapi juga kerabat dekat termasuk Derry dan Delisha. Semua tamu tampak menikmati suasana pesta yang hangat itu. Arsya dan Abelia berdiri berdampingan di depan sebuah dekorasi hiasan bunga bertuliskan inisial nama keduanya. Mereka mengobrol dengan para kerabat yang sebaya. Setelah para kerabat itu berlalu, Delisha berjalan mendekati Arsya dan Abelia yang tampak sibuk bercanda satu sama lain. Melihat itu, Dikta menyusul karena merasa khawatir Delisha akan membuat