Suasana langsung terasa hangat, mereka semua bercengkrama, membahas banyak hal. Ada kalanya mereka tertawa bersama ketika salah satu dari mereka melempar candaan, ada kalanya pula mereka membahas hal yang lebih serius.Waktu terasa begitu cepat, namun, suasana hangat ini mendadak menjadi canggung ketika Rose membuka suara."Nona Aquila, kau pun tahu jika Yang Mulia Putra Mahkota melakukan hal itu tanpa kesadarannya, jadi, apakah kau akan memilih memaafkannya atau justru kau akan membencinya atas semua yang telah terjadi?"Pertanyaan Rose itu jelas membuat suasana mendadak hening.Aquila menghela napas, ia sendiri pun merasa dilema dengan apa yang dirasakannya.Aquila tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Zero, tapi di sisi lain, rasanya berat untuk memaafkan."Entahlah." Aquila memilih untuk tidak menjawab.***Hari ini adalah hari ke empat setelah kekacauan terjadi.Silau.Wanita yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang, merasa bahwa sinar matahari yang menerpa wajahnya terasa
Halooo semuanya! Alet di sini! Jadi, hari ini, (tepatnya tanggal 18 Juni) satu tahun yang lalu, adalah hari dimana aku pertama kali publish cerita Miss Villain and The Protagonist! Yay! Sudah satu tahun lamanya aku publish cerita yang jadi cerita pertamaku di Goodnovel! Satu tahun, beneran nggak berasa, aku masih ngerasa kayak baru kemarin aku ngepost cerita, hehe. Dalam satu tahun ini, aku ngerasa dapat banyak feedback yang bagus dari kalian, jumlah pembaca, komentar, followers, gems, aku gak sama sekali gak nyangka, loh, padahal pas awal aku publish, aku sempet ngerasa salah platform karena mayoritas cerita itu tentang CEO, atau tentang perselingkuhan. (Aku juga pengen bikin cerita yang mengusung tema itu, tapi otakku gak nyampe mweheheh.) Bahkan, aku masih inget, pas aku sempet nggak update beberapa bulan karena lagi (sok) sibuk di rl, banyak komentar yang masuk, nyariin aku dan minta untuk update, hahaha, aku seneng banget. Intinya, buat kalian yang udah support, baik itu beru
Beberapa hari yang lalu, Aquila dengan berat hati pernah menolak untuk bertemu dengan Iluka yang datang mengunjunginya.Aquila memang merasa tak enak hati, tapi, itulah keputusan yang terbaik untuknya kala itu mengingat ia masih terguncang akibat kejadian dimana dirinya nyaris dieksekusi di depan umum.Saat itu, Iluka segera mengangkat kakinya ketika Ahn menyampaikan apa yang Aquila ucapkan, tetapi, Iluka mengatakan ia akan datang lagi untuk menemui Aquila jika Aquila sudah merasa lebih baik. Setidaknya, itulah yang Ahn sampaikan padanya.Maka, inilah saatnya.Aquila menuruni tangga dengan perlahan, bersiap menyambut Pangeran Iluka yang telah tiba di kediamannya.Bersiap menyambut Pangeran yang tidak lain tidak bukan adalah adik dari sosok yang nyaris memenggal kepalanya.***Aquila menyapa Iluka yang berpakaian lebih kasual dibanding biasanya, lalu duduk pada kursi yang terletak persis di hadapan Iluka."Aku segera turun begitu melihat kereta kuda yang kau tumpangi telah tiba, maaf j
Zero menenggak minuman beralkohol langsung dari botolnya tanpa memedulikan efek samping apa yang akan ia rasakan setelahnya. Yang Zero pedulikan hanyalah ia ingin sebentar saja merasa tenang, setidaknya ia ingin bisa lepas dari perasaan bersalah itu barang sebentar saja.Zero meringis, mencengkram kepalanya yang mulai terasa pening. Belakangan ini ia terus saja terbayang-bayang dengan peristiwa itu, peristiwa di mana ia nyaris memenggal kepala Aquila di depan umum dengan kedua tangannya sendiri.Pria itu sungguh merasa bersalah, ia sungguh tak kuasa, ingin rasanya ia menangis dan berteriak sekencang-kencangnya melampiaskan semua rasa sesak di dada.Namun yang bisa ia lakukan hanyalah terisak, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya seraya berbisik, "Aquila ... Maafkan aku..."***Zero sebenarnya mendengar suara ketukan pintu yang sedari tadi mengusik ketenangannya itu, tapi Zero memilih untuk mengabaikannya selain karena ia malas untuk bertemu siapapun, kepalanya saat ini terasa
"Selama ini, aku selalu menghormatimu dan menyanjungmu sebagai panutan, aku selalu menghormati keputusanmu dan mempercayakan kau bisa menjadi pemimpin yang baik." Iluka tersenyum getir. "Tetapi, jujur saja, belakangan ini aku mulai meragukan kredibilitasmu sebagai pemimpin." Iluka berkata dengan jujur, mengutarakan segala hal yang ada di pikirannya."Kakakku, tolong jangan mengecewakanku untuk yang kedua kalinya, ya?" Iluka tersenyum, itu kalimat terakhirnya sebelum ia memutuskan untuk angkat kaki dari ruangan ini. Menyisakan lenggang. Zero enggan untuk menjawab.Iluka melangkah dengan rasa kekecewaan yang menyeruak di dada.Sosok yang selama ini selalu ia jaga perasaannya, sosok yang selama ini selalu ia percaya dapat menjadi pemimpin yang baik ternyata hanyalah seorang bedebah yang rela mengorbankan banyak orang demi keuntungannya sendiri.Kalau kekecewaan Iluka terus berlanjut dan bertambah, bukan tidak mungkin Iluka akhirnya memutuskan untuk merebut posisi orang itu.Yah, semoga s
"Aku sudah menduganya, kau pasti berada di sini." Terdengar suara seorang pria yang berasal dari ambang pintu, Aquila refleks menoleh, wanita itu melihat sesosok pria berjubah hitam yang berjalan mendekat ke arahnya.Aquila mengernyitkan dahi, siapa pria berjubah ini? Apa pria ini tadi berbicara padanya?Pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di kepala Aquila seketika terjawab saat pria itu membuka jubahnya lalu menyapa. "Selamat siang, Nona Aquila." Ujarnya yang disertai senyuman.Mata Aquila melebar, ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu di sini. "R- Revel?"Apa yang Revel lakukan di sini?"Revel?" Aquila mengerjapkan matanya, sungguh kebetulan ia bisa bertemu dengan Revel di sini. "Apa yang kau lakukan di tempat ini?"Revel tak kunjung menjawab, ia hanya menggaruk tengkuknya seraya menunjukkan ekspresi tengah berpikir, membuat Aquila jadi merasa bingung."Katakan.""Ah, tidak, sebenarnya aku tadi mengikutimu." Ujar Revel seraya mengangkat bahunya. "Kau mengikutiku?" Tanya
Udara pagi yang segar, suara burung yang berkicauan, ditambah sinar matahari yang terasa cerah namun tidak menyengat sungguh merupakan perpaduan yang sempurna bagi Aquila dalam menjalani hari. Wanita itu mulai mengambil sebuah selembar kertas yang terselip di antara beberapa tumpukan buku. Ia berpikir untuk menuangkan pemikirannya ke atas selembar kertas. Aquila menyadari, banyak pekerjaan yang terbengkalai akibat beberapa hari beristirahat, ia berniat untuk menyicil semuanya sebelum semakin menumpuk. Yang pertama, masalah bisnis yang ia jalankan, ia harus memeriksa perkembangannya. Lalu, ia juga masih belum membuat rincian anggaran yang akan ia sumbangkan ke berbagai organisasi kemanusiaan. "Yang terpenting, aku harus memastikan acara makan malam esok berjalan lancar." Gumam Aquila yang menjadikan acara makan malam itu menempati kedudukan teratas dalam skala prioritasnya. Sebenarnya acara makan malam itu hanya sekadar acara pertemuan biasa antar dua keluarga, tapi, Aquila ingin
"Oh ya, dan satu hal lagi." Alken kembali membuka mulutnya. "Aku rasa sebaiknya kita tidak perlu bertemu untuk beberapa waktu ke depan, karena jika kau sudah memulai pergerakanmu, bisa saja putra mahkota merasa curiga jika aku turut membantumu." ia menjelaskan. "Sudah aku bilang, kan, aku tidak mau ikut terseret. Jadi, bisa kau mengerti, ya?""Kau tenang saja." Aquila membalas. "Aku tidak akan membuatmu terkena imbasnya."Aquila tersenyum kecil, ke depannya, akan semakin jarang baginya untuk bertemu dengan Alken. Tapi alasan itu sangat rasional, Alken tidak mau ikut terseret atau terkena imbas atas dampak dari apa yang Aquila lakukan."Semoga beruntung, Aquila." Ujar Alken yang mengakhiri percakapan di antara mereka.***Hari ini akan menjadi hari yang sibuk bagi Aquila.Tidak, hilangkan kata 'akan', hari ini memang sudah menjadi hari yang sibuk.Meskipun acara makan malam yang sedang dipersiapkan ini bukanlah acara serius yang bersifat resmi, melainkan hanya sekadar acara yang dibuat