Share

Mas Bagas Berubah

 

 

Segara kuraih selembar nota pembayaran rumah sakit yang terjatuh sembarang. Kubuka lipatan secarik kertas yang jelas tertulis nama Yasmin yang terletak di ujung nota lengkap dengan tanda tangannya.

 

Di dalam nota itu hanya tertulis rincian biaya perawatan, tanpa nama pasien atau pun penyakit yang diderita. Hanya pada akhir nota tertulis nama Yasmin sebagai pelunas biaya tersebut. 

 

'Kenapa bukan nama Mas Bagas?' Apakah nota ini bukan milik Mas Bagas? Jika bukan kenapa nota ini ada di dalam saku baju Mas Bagas?' 

 

Benakku terus berfikir, namun aku mencoba berfikir sepositif mungkin. Aku tidak mau terjadi kesalahpahaman seperti halnya hari kemarin. 

 

Aku percaya Mas Bagas tidak akan pernah membohongiku. Karena yang aku tau pria itu sangat mencintaiku.

 

Segara kulanjutkan kembali aktifitasku mencuci pagi ini, kemudian lanjut beberes rumah dan disambung dengan aktifitas memasak. Sungguh pekerjaan rumah ini membuat seluruh tenagaku habis terkuras.

 

Malam telah menjelang, Mas Bagas yang sedari sore sudah pulang' memilih menghabiskan waktunya untuk tertidur pulas di kamar. Sepertinya pria bertubuh hitam manis itu kelelahan dengan pekerjaannya seharian berkeliling hutan dengan cuaca yang sangat terik hari ini.

 

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku segara menaikan tubuhku naik ke atas ranjang. Kulihat pria di sampingku itu masih dengan nafasnya yang teratur, sepertinya tidur Mas Bagas sangat pulas sekali. 

 

Kuusap lembut rahang kekarnya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus, rasanya diriku sangat merindukan belaian pria yang kini sedang terlelap itu. Semenjak Mas Bagas pulang dari Purwodadi belum sempat sekalipun pria itu memberikanku nafkah batin. Padahal seharusnya saat ini ranjang kami sedang panas-panasnya sebagai pengantin baru.

 

"Arhg," Mas Bagas mengerang lembut. Pria itu mungkin kegelian dengan ulahku.

 

Aku masih terus menggodanya, memainkan bulu halus yang tumbuh di sekitar dada bidangnya. Melihatnya terus menggeliat membuatku semakin bernafsu untuk memainkannya.

 

"Apa sih Dek," suara Mas Bagas terdengar malas. Pria itu membuka netranya perlahan manatapku yang sedang berbaring di sampingnya.

 

"Mas capek, ya!" tanyaku manja. 

 

"He'um," Pria itu mencoba menyadarkan dirinya dari rasa kantuk yang terus menyerang.

 

"Adek mau apa?" tanya pria yang kini menarik tubuhku dalam pelukannya.

 

Aku diam tak bergeming, rasanya terlalu tabu jika aku harus mengungkapnya duluan. 

 

"Kamu rindu!" ucapnya dengan mengusap lembut setiap ujung rambutku.

 

Aku masih terdiam, membiarkan Mas Bagas mencerna sendiri kode yang aku berikan. Semenit, dua menit, lima menit, suasana justru semakin hening. Hanya terdengar suara nafas Mas Bagas yang kembali teratur.  

 

Kudongakkan wajahku menatap Mas Bagas yang sudah tertidur kembali. Membuatku merasa kesal dengan pria itu. Apakah dia tidak merindukanku?

 

Andaikan aku marah, rasanya begitu aneh. Hanya gara-gara soal rajang saja aku harus menuntut, pikirku.

 

Kutarik tubuhku dari pelukan Mas Bagas kasar kemudian membaringkan tubuhku memungunginya. Namun, tetap saja tidak ada respon sedikitpun dari pria itu. Apakah selelah itu pekerjaannya hingga membuatnya benar-benar tertidur pulas.

 

**___**

 

Aku masih berdiri di depan pantulan cermin kamar. Kulihat wajahku yang putih bersih berseri. Kuputar tubuhku yang mengenakan seragam kerja berkali-kali. Apakah aku sudah tidak menarik? Aku rasa aku masih cantik kok?

 

"Dek, ngapain?" Tanya Mas Bagas yang baru keluar dari kamar mandi. Membuatku tergeragap dan kembali duduk di kursi depan meja rias.

 

"Eh, engak kok Mas, Ini lagi nyobain seragam baru," sahutku malu.

 

"Oh ...," ucap pria bertubuh tegap yang sedang membuka lemari baju itu.

 

Melihat pantulan tumpukan baju baju di dalam lemari dari kaca riasku, aku kembali teringat dengan nota yang bertuliskan Yasmin kemarin. Segera kuraih nota itu dari dalam laci meja rias yang sengaja aku simpan. 

 

"Mas, kok adek nemuin ini di kantong baju Mas, ya? tanyaku pada Mas Bagas sambil menyodorkan secarik nota tersebut.

 

Pria itu segera meraih nota itu, terlihat wajahnya yang sedang memperhatikan deretan huruf yang berjajar rapi di dalamnya.

 

Pria itu menarik nafas dalam-dalam, kemudahan menghembuskannya dengan lembut. Seolah sedang berpikir keras.

 

"Oh, ini nota pembayaran rumah sakit ibu kemarin," sahut Mas Bagas yang kini menjatuhkan tatapannya padaku.

 

"Tapi kenapa di sini tertulis nama Yasmin? Bukan Mas Bagas? Terus Yasmin itu siapa?" Kuberondong Mas Bagas dengan semua pertanyaan yang telah berjejalan di benaku sambil terus menunjuk pada nama Yasmin yang terletak pada sudut nota.

 

"Sayang, Yasmin itu perempuan yang tinggal bersama ibu. Dia yang merawat ibu di Purwodadi. Kamu kan tau sendiri, sekarang ibu sudah sakit-sakitan. Bagaimana jika tiba-tiba jantung ibu kumat? Sementara Mas ngak bisa selalu berada di dekatnya," ucap Mas Bagas terlihat sedih. Pria itu memegang kedua bahuku dan menatapku lekat.

 

Aku menarik nafas dalam, rasanya dadaku sedikit sasak. Mengingat hubunganku dengan mertuaku yang sedang tidak begitu baik. 

 

"Mas, bagaimana kalau besok kita main ke tempat ibu? Bukankah aku sudah lama tidak berkunjung ke Purwodadi. Bahkan di acara pernikahan kita pun ibu tidak bisa datang," ucapku pada Mas Bagas yang terlihat gugup.

 

"Nanti kita fikirkan lagi ya Dek, Mas mau siap-siap dulu berangkat kerja!" ucap Mas Bagas datar.  Pria itu meninggalkanku setelah meraih baju kerjanya dari dalam lemari. 

 

*_*

 

"Cie cie, Bu Neti! Itu lehernya kanapa di tempel hansaplas?" ledek Bu tari pada wanita muda dengan leher jenjang di hadapannya yang terus memegang hansaplas dengan tersipu malu.

 

"Tuh, kalau main kaya Bu Reza dong, ngak berbekas tapi ngena," ledek Bu Tari padaku yang baru memasuki ruang staf guru.

 

Namun kali ini ucapan Bu Tari justru tak membuatku senang. Yang anda hanya membuat batinku terasa nyeri. Mengingat Mas Bagas hanya menyentuhku sekali saat malam pertama.

 

"Jiah do'i malah melamun aja!" cetus Bu Tari yang mengerakkan tangannya di hadapanku.

 

"Hehe, iya Bu kenapa?" tanyaku geragapan.

 

"Haduh, Bu Reza nih masih pengantin baru udah kaya emak emak banyak anak aja deh," ledek Bu Tari dengan tersenyum meninggalkanku di ruang staf. Sepertinya wanita dengan tubuh gemuk itu sedang ada jadwal pagi ini hingga membuatnya terlihat buru-buru.

 

"Ngak usah didengerin Bu, kaya ngak tau Bu Tari aja. Janda kesepian," seloroh Bu Neti dengan tersenyum padaku. Wanita yang terus memegangi lehernya itu berlalu meninggalkanku.

 

Pagi ini aku benar-benar sangat merindukan Mas Bagas. Tidak pernah sekalipun aku menghubungi pria itu duluan. Selalu dia yang terlebih dulu mengubungiku. Menanyakan kabarku, atau hal hal yang tidak penting lainnya. Bagiku pantang untuk menjatuhkan harga diriku di depan laki-laki, sekalipun itu adalah suamiku.

 

Namun, hari ini aku ingin sekali menghubungi pria itu. Kupaksakan diriku untuk menurunkan sedikit egoku. Segera kuraih ponsel dari dalam tasku. Kemudian menekan tombol hijau pada kontak yang bertuliskan my husband di ponselku.

 

Tut ... Tut ... Tut ... Nomor yang anda tuju sedang sibuk. 

 

Sahut suara operator pada ponsel yang telah kutempelkan dekat telingaku. Berkali-kali aku mencoba namun nomor Mas Bagas sama sekali tidak bisa aku hubungi.

 

Siang telah menjelang. Kuraih kembali benda pipih itu dari saku bajuku. Kuusap lembut pada layar ponsel. Namun, tidak ada satupun jejak panggilan Mas Bagas menghubungiku.

 

Rasa penasaranku semakin menggebu. Kembali kuhubungi Mas Bagas, berharap kali ini pria itu akan menjawab teleponku.

 

Tut ... Tut ... Tut ... Nomor telepon yang anda tuju sedang sibuk.

 

Kembali suara operator wanita itu yang menjawab panggilanku membuatku berdecak kesal.

 

"Bu Reza, Bu Reza, ada kabar penting," ucap pria yang menjatuhkan bokongnya kasar duduk di sampingku.

 

"Pak Aris, ada apa?" tanyaku pada pria yang masih mengatur nafasnya yang naik turun.

 

Pria itu diam sejenak, netranya melihat ke seluruh ruangan staf guru yang masih sepi. Hanya anda Pak Nardi yang sedang sibuk dengan laptopnya di sudut ruangan.

 

"Ada apa sih Pak?" tanyaku penasaran.

 

Stttt,

 

Pak Aris meletakan jari telunjuknya ke dekat bibirnya. Kemudian mendekatkan wajahnya sedikit ke arahku yang duduk di sampingnya.

 

"Bu Reza, tapi jangan marah ya. Tadi aku melihat suami ibu masuk ke hotel bersama seorang wanita," bisik pria itu sesaat membuat pandanganku terasa kabur dengan jantung berdebar kencang.

 

BERSAMBUNG ☺️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status