Share

Dihantui Perselingkuhan

Pagi masih begitu berkabut, dingin pun masih terus menghujam hingga meremukkan tulang-tulangku. Netraku harus kubuka paksa ketika tidak aku dapati Mas Bagas tidur di sampingku. Barang kali dia masih marah dengan ucapanku semalam.

 

Aku menuruni ranjang dan bergegas mencari keberadaan Mas Bagas. Baru kali ini sepanjang kami bersama, laki-laki itu merajuk. Mungkin karena ia harus diliburkan beberapa hari dari pekerjaannya karena ulahku di hotel atau karena ia gagal naik pangkat gara-gara kejadian itu. Entahlah aku tidak perduli. Toh, tanpa dia naik pangkat gajiku pun sudah cukup untuk membiayai kehidupan kami.

 

"Mas! Mas Bagas!" panggilku menelusuri seluruh ruangan di rumahku. Namun, tidak aku temukan keberadaan pria itu.

 

Kulihat waktu pada jam yang mengantung pada dinding ruang tamu telah menunjukan pukul lima pagi. Apa mungkin Mas Bagas pergi bekerja? Bukankah dia sedang diliburkan.

 

Aku bergegas kembali ke kamar meraih ponsel yang berada di atas nakas. Kulihat ponsel Mas Bagas dan tas rangselnya pun sudah tidak ada di tempat biasanya ia meletakan dua benda penting itu.

 

Ku usap lembut pada layar gawaiku. Hanya ada beberapa notifikasi dari grup tempat kuliahku dulu dan beberapa chat dari teman-teman guruku. Tidak ada satupun chat atau panggilan dari Mas Bagas untuk sekedar meninggalkan pesan. Lalu kemana pria itu pergi?

 

Tut! Tut! Tut!

 

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif cobalah beberapa saat lagi."

 

Suara mesin robot itu samakin membuatku kesal. Ku lempar sembarang ponsel itu ke atas ranjang. Dadaku semakin bergemuruh, menahan kesal kepada Mas Bagas yang pergi tanpa pamit kepadaku.

 

Mentari kian merangkak naik, cahayanya kian terang benderang menghangatkan seluruh penghuni di bumi. Namun, tidak denganku. Aku semakin kacau dengan pikiranku sendiri. Menerka keberadaan Mas Bagas yang sama sekali tidak memberiku kabar dan menghilang begitu saja.

 

Aku sudah menghubungi seluruh teman-teman Mas Bagas bahkan hingga atasan Mas Bagas pun aku tanyai. Namun, pria sombong itu juga tidak tau keberadaan suamiku. Dasar, baru jadi atasan saja sudah belagu, kesalku.

 

Sepertinya aku harus meredam sedikit emosiku, bisa-bisa aku darah tinggi hanya karena mencari keberadaan Mas Bagas.

 

"Bu Reza, Bu Reza!" panggil Bu tari dari ambang pintu ruang staf.

 

Wajahnya kali ini terlihat berbeda tak seperti biasanya. Wanita yang sudah hampir menginjak kepala empat itu begitu panik dengan nafas yang terus naik turun.

 

"Ada apa Bu Tari?" tanyaku heran.

 

"Buruan ikut!"

 

Bu Tari menarik paksa lenganku menuju ruang tata usaha. Di situ sudah ada beberapa guru yang sedang memasang wajah tegang menatap pada layar televisi yang tengah menyala.

 

"Lihat Bu, lihat?" Titah Bu tari menunjuk pada layar televisi yang menayangkan berita pembunuhan yang sedang berlangsung.

 

"Ada apa sih Bu Tari?" tanyaku masih belum faham dengan maksud dari Bu Tari.

 

Kujatuhkan pandanganku pada layar televisi yang berjarak tidak terlalu jauh dariku. "Bu Iska?" aku membuka netraku lebar memastikan wanita dalam layar televisi itu adalah Bu Iska, dan ternyata benar, wanita itu adalah Bu Iska.

 

"Demikian berita hari ini."

 

Ucap wanita pembawa acara berita di televisi mengakhiri beritanya.

 

Aku masih bingung dengan apa yang disampaikan dalam berita itu. Karena aku hanya melihat wajah Ibu Isak yang tergugu di layar televisi kemudian acara itu berakhir.

 

"Wah, ngak nyangka ya kalau Bu Iska bakalan setega itu," celetuk pak Danang menggelengkan kepalanya.

 

Pria yang berlalu melintasi tubuhku itu terlihat tidak percaya dengan tayangan tentang sahabat kami pada layar televisi.

 

"Yuk!" ajak Bu Tari menarik tanganku menuju ruang staf guru.

 

Nafasku masih tersengal mengikuti Bu Tari yang berlari kesana kemari.

 

"Bu, sebenarnya ada pas sih?? Aku bingung loh Bu?"tanyaku pada Bu Tari yang seketika menjatuhkan tatapnya kepadaku.

 

"Jadi Bu Reza sedari tadi ngak ngerti?" ucapnya dengan netra sedikit membelalak menatapku heran.

 

Aku menggeleng dengan polosnya, karena aku memang tidak menangkap sesuatu yang Bu Tari maksud. Yang aku tahu hanya Bu Iska yang muncul diberita televisi.

 

"Itu Bu Reza, Bu Iska diduga menjadi tersangka atas pembunuhan seorang mayat wanita dalam gorong-gorong."

 

"Apa pembunuhan?" ucapku setengah tidak percaya.

 

Aku menarik kursiku mendekati Bu Tari. Ku tatap mimik wajahnya penuh haru.

 

"Bagaimana bisa Bu Iska membunuh?" tanyaku yang tidak habis fikir dengan wanita yang menurutku sama sekali tak pernah menampakkan kemarahannya itu.

 

"Sepertinya wanita itu adalah selingkuhan suaminya, kabarnya sih wanita itu sedang mengandung anak dari suami Bu Iska."

 

Deg!

 

'Selingkuh lagi, Kalimat itu lama kelamaan membuatku merasa gila. Pantas saja Bu Iska benar-benar gila karena ulah suaminya yang berselingkuh.'

 

"Masak sih Bu?" Aku memundurkan sedikit tubuhku kebelakang, mengusap lembut keringat yang membasahi pelipisku. Nyeri sekali mendengar nasib Bu Isak. Harus kehilangan keluarganya dan sekarang harus mendekam di jeruji besi.

 

"Benerlah, buktinya masuk tv tuh. Mungkin Bu Iska pindah ke kampung halamannya untuk menghindar dari kejaran polisi." Bu Tari menganggukkan kepalanya dengan menatap lekat kepadaku.

 

"Ehm, begitulah laki-laki makhluk paling serakah di dunia," imbuh Bu Tari wanita yang engan untuk menikah lagi itu.

 

Aku diam tak bergeming, aku tidak mau berita macam selingkuh itu kembali merusak otakku dan membuatku tersugesti. Hingga aku selalu menaruh curiga kepada Mas Bagas.

 

Daripada aku terhanyut dalam cerita Bu Tari. Lebih baik aku mencoba menghubungi Mas Bagas kembali. Siapa tau kali ini nomor Mas Bagas dapat kuhubungi.

 

Ku raih benda pipih itu dari saku celanaku. Kemudian ku usap lembut pada layar yang menampakkan gambar pernikahanku dengan Mas Bagas.

 

Senyum bahagia tergambar jelas diwajah hitam manis mas Bagas. Begitu juga dengan diriku yang mengenakan kebaya berwarna putih hingga menampakkan wajahku yang bagitu ayu.

 

'Ah, aku benar-benar menyesali kebodohanku telah mempermalukan mas Bagas didepan banyak orang.'

 

Segera aku menekan tombol hijau di kontak yang kuberi nama my husband. Semoga kali ini mas Bagas mau mengakat panggilanku, doaku dalam hati.

 

Tut! Tut! Tut!

 

"Halo,"

 

Aku tersenyum lebar mendengar pria itu menjawab panggilanku. "Halo mas!" sahutku dengan nada bahagia.

 

"Ada apa dek?" suara lembut itu kembali menghanyutkanku. Seolah aku sedang jatuh cinta untuk kesekian kalinya dengan mas Bagas.

 

"Mas dimana? Kok pergi ngak bilang-bilang?" ucapku dengan nada manja.

 

"Maaf tadi pagi mas ngak pamit, habis adek tidurnya pulas banget. Mas lagi di Purwodadi di tempat ibu." Ucapnya dengan nada yang begitu lembut.

 

'Purwodadi lagi, ah mas Bagas ini lagi lagi ketempat ibu. Apakah dia benar-benar tidak merindukanku. Padahal aku ingin sekali bersamanya.'

 

"Terus mas kapan pulang?" tanyaku dengan mengerucutkan bibirku, meskipun ia tidak tau.

 

"Belum tau ya dek, katanya ibu masih kangen sama mas!"

 

"Oh," sejenak aku terdiam, apakah mas Bagas lebih menyayangi ibunya daripada aku, gerutuku.

 

"Udah dulu ya dek, mas mau nyuapin ibu?"

 

"Mas adek nyusul ya?" ucapku memotong ucapan mas Bagas.

 

"Ngak usah dek, jauh kasihan kamunya kalau kecapean." Tolak mas Bagas dengan nada lembut. Kemudian pria itu mengakhiri panggilannya.

 

Aku mendengus kasar. Aku tau jika ibu mas Bagas kurang menyukaiku. Entah apa yang membuat wanita paruh baya itu tidak menyukaiku, yang aku tau sejak penolakanku atas pinangan mas Bagas dulu wanita itu seketika berubah. Bahkan di acara pernikahan kami pun beliau tidak datang.

 

___***____

 

Ku usap lembut kasur tempat mas Bagas biasa berbaring. Di sanalah pria itu melepas lelapnya disampingku dengan setia memeluk erat tubuhku. Katanya jika ia tidak memelukku maka netranya engan sekali terpejam.

 

Malam semakin merangkak naik, menuju keheningan yang kian membuat nelangsa jiwa yang kesepian. Apakah kini mas Bagas sudah tertidur? Andaikan ia tau akulah kini yang merindukan pelukannya. Netra ini kian terjaga merindukan pelukan yang membuatku semakin candu.

 

'Lebih baik besok aku menyusul mas Bagas ke Purwodadi, lagipula sudah lama aku tidak bertemu dengan ibu mertuaku. Aku ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kurang baik.'

 

Pikirku kian berkelana, ingin aku perbaiki kesalahanku di masalalu. Agar mas Bagas tidak perlu memilih antara aku dan ibunya.

 

BERSAMBUNG ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status