Share

7. Kisah Masa Lalu Mas Abdu

"Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi.

"Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Tatapannya masih terpaku pada lantai kamar.

Tentu saja aku syok mendengar pengakuannya barusan. Bagaikan dentuman gemuruh mengisi seluruh ruang kepalaku. Jika dia mencintai wanita lain, mengapa Mas Abdu menikahiku? Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang ada di hatinya.

Tanpa sadar, langkahku mundur hingga bersandar pada tembok kamar. Aku butuh tempat untuk menopang tubuhku yang tiba-tiba melemas.

"Maaf, jika kejujuran ini menyakiti hatimu, Gauri." Mas Abdu belum berani menatapku. Aku masih butuh beberapa detik mencerna tiap ucapannya. Setelah mendapati seluruh tenagaku yang meluruh, aku berdiri, melangkah ke arah meja rias di sudut kamar, aku menarik kursinya lalu duduk di situ.

"Ceritakan padaku semuanya, Mas. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Sehingga aku bisa membuat keputusan yang terbaik untuk pernikahan kita ke depannya nanti." Aku sedikit merasa aneh dengan nada ucapanku. Tak menyangka aku bisa lebih tegar dari yang kubayangkan.

Mas Abdu menatapku, penuh keraguan.

"Ceritakan padaku, Mas!" Aku mengangguk sembari memerintah. Mas Abdu menelan ludah, kemudian menunduk. Dia mulai berkisah tentang Freya, wanita yang masih tersimpan di dalam hatinya ....

***

Flasback:

Seorang pemuda berambut lurus dengan potongan belah tengah berjalan santai di jalanan setapak yang terhimpit oleh perkebunan karet dan padang ilalang. Berkaos putih, tas selempang hitam melekat di tubuhnya. Sembari melangkah tangannya meraih daun ilalang kemudian menggigit-gigit kecil.

Dari arah depan, seorang gadis berseragam SMP kian mendekat. Jalannya menunduk terpaku pada sepatu sekolah di kakinya. Rambutnya lurus sebahu hitam pekat. Matanya sipit, tetapi tajam. Kulitnya kuning langsat dan bersih. Dia sama sekali bergeming saat Abdu melintas di sebelahnya.

Setelah berpapasan, Abdu berhenti dan berbalik. Dia memandangi punggung gadis yang berjalan menjauh itu. Abdu merasa heran sebab gadis itu berbeda dari gadis lain yang pernah bertemu dengannya.

Siapa yang tak kenal Abdu. Pemuda tampan dari kampung buah. Di SMA Nusa Bangsa pun tidak ada yang tidak mengenalnya. Beberapa kali dia mendapatkan pernyataan cinta dari lawan jenis. Namun, hingga detik ini tak ada yang bisa meluluhkan hatinya.

Abdu siswa kelas 2 SMA. Dia tinggal di rumah bibinya sebab dia yatim piatu. Ayahnya meninggal saat dia masih bayi, sedangkan si ibu menyusul kala Abdu duduk di kelas 2 SD.

Sepeninggal ibunya, Abdu diajak pindah ke kota yang berbeda. Diasuh dan tinggal di rumah satu-satunya adik perempuan yang dimiliki ibunya.

Namanya menumpang, mesti lah Abdu harus tau diri. Kadang dia menahan lapar hingga keluarga bibinya selesai makan. Kerap kali dia hanya mendapat sisa-sisa makanan dari sepupunya, Jalal. Anak semata wayang bibinya itu sangatlah disayang dan sering kali mendapat perlakuan yang istimewa.

Di kala anak-anak seusianya bermain bola di sore hari, Abdu harus membersihkan kebun yang lumayan luas sehabis pulang sekolah: mencabuti rumput liar, memetik buah cokelat yang sudah matang serta membasmi hama.

Itu sebabnya para gadis di kampung itu bersimpati. Selain memiliki wajah yang rupawan, Abdu dinilai anak yang berbakti pada keluarga.

Seperti sore ini, saat Abdu hendak pergi ke kebun dia berpapasan dengan gadis itu. Abdu merasa gadis itu berbeda, terkesan cuek dan mengabaikannya. Abdu merasa sedikit aneh, sebab dia terbiasa mendapat lirikan atau sapaan centil dari tiap gadis yang dia temui.

Kembali membalik badan, Abdu melanjutkan langkah yang terhenti. Sekali lagi, ditolehkannya kepala ke belakang hingga sosok gadis yang membuatnya penasaran itu hilang dari pandangan.

***

Keesokan harinya di jam yang sama Abdu melewati jalanan setapak itu lagi. Pandangannya awas kali ini dan melangkah lebih pelan. Sesuai harapan, sosok gadis kemarin mulai terlihat dari jauh. Namun, kali ini dia tidak sendiri. Ah, Abdu menunduk. Rencananya dia ingin menyapa gadis itu, tapi mana berani jika gadis itu sedang bersama orang lain.

Langkah kedua gadis kian mendekat dan terdengar. Namun, Abdu tidak berani mendongak.

"Hei, Abdu. Jangan melamun!"

Abdu menoleh pada gadis yang menyapanya. Ternyata Laila adik kelasnya sekaligus juga adik dari Ali, temannya Abdu di sekolah.

"Eh, Laila." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Abdu. Gadis di sebelah Laila turut berhenti melangkah, menatap Abdu dan Laila secara bergantian.

"Mau kemana, Laila?" Akhirnya Abdu bisa menguasai diri.

"Mau latihan nari sama Freya di rumah teman. Yuk, ah. Kami duluan, ya," kata Laila melanjutkan. "Ayuk, Fre. Nanti kita telat. Takut teman yang lain udah pada nungguin." Laila menggandeng tangan Freya. Mereka pergi menjauh.

Abdu pun sama, berjalan ke arah yang berbeda. Terlihat sedikit senyuman tipis terukir di bibirnya. "Hmm ... Freya." Abdu menggumam lirih.

***

Lonceng tanda istirahat berbunyi. Seperti biasa Abdu tetap duduk di kursinya. Dia tidak pernah jajan ke kantin kecuali ditraktir. Sebab dia tidak pernah diberi uang saku oleh bibinya.

"Sudah kuduga pasti masih di kelas." Laila masuk ke kelas Abdu dengan riang. mengenyakan diri di kursi tepat di hadapan Abdu.

"Kamu, kok, nggak ke kantin? Kakakmu udah keluar dari tadi." Abdu dengan malas memberitahu Laila. Dia memposisikan kepalanya rebah di atas meja belajar.

"Aku nggak lagi nyari Kak Ali." Laila nyengir.

"Terus? Ngapain ke sini? Nanti kita jadi bahan gunjingan satu sekolah, lho," ujar Abdu lagi.

"Biarin. Aku nggak takut. Kan ada Kak Ali." Laila menjawab cuek. "Aku kemarin liat kamu gugup. Hayoo ... mau aku kenalin nggak sama temanku yang kemarin." Laila langsung menembak.

Abdu sontak bangun. "Kalau Ali aja, dipanggil 'kakak'. Panggil aku 'kakak' juga, dong!" Abdu mengalihkan pembicaraan.

"Mau dikenalin, nggak?" Laila mengabaikan.

"Memangnya dia mau kenalan sama aku, Laila. Aku minder. Aku cuma pemuda kampung." Abdu menggeleng.

"Freya nggak gitu, ah, orangnya. Aku kenal dia udah lama. Dia nggak milih-milih kalo berteman." Laila menyemangati.

"Hmm ... boleh, deh." Abdu kembali merebahkan kepala ke atas meja. Tanpa Laila sadari, pemuda itu bersemu di balik lengannya.

"Oke, kalau berpapasan lagi kayak kemarin. Jangan malu, ya. Harus semangat. Ha-ha." Laila tertawa. Anehnya dia yang lebih antusias ketimbang Abdu. "Freya juga bunga desa, lho. Mana tau kalian cocok dan berjodoh." Lagi-lagi Laila tertawa. Meledek Abdu.

"Sudah, sana. Sebentar lagi lonceng masuk bakal berbunyi." Abdu mengibas tangan mengusir Laila. Dia tak mau tiap ledekan Laila membuat wajahnya semakin memerah.

Masih dengan cengiran di wajahnya, Laila berjalan keluar kelas. Setelah Laila pergi Abdu merasakan dadanya berdetak kencang. Tangannya berkeringat dingin. Membayangkannya saja dia sudah gugup. Bagaimana nanti jika dia bertemu Freya? Ah ....

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status