Sejak mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi, hingga saat ini aku tidak pernah bertegur sapa dengan Mas Abdu. Aku juga tak pernah lagi memasak di rumah. Aku selalu makan di luar bersama dengan Taksa saja.
Sedang Mas Abdu sendiri, juga sama pergi bekerja seperti biasa. Dia pamit dan bermanis muka di depan anak kami setelah itu pulang larut malam, langsung menuju kamar. Meski begitu, dia tetap mentransfer uang ke rekeningku seperti biasa, untuk keperluan rumah tangga dan juga kebutuhan sekolah putranya.Semua pakaian dan barang-barang milikku sudah kupindahkan ke kamar tamu, di waktu Taksa sedang berada di sekolah. Aku tak ingin anakku itu bertanya, mengapa mamanya bertindak demikian.Hari ini aku memiliki sebuah rencana. Aku akan membuntuti Mas Abdu lagi, tapi dengan cara menyamar. Aku sudah menitipkan Taksa pada Mama Joshua. Padanya kubilang, aku ada urusan penting yang harus kuselesaikan seorang diri.Aku juga menukar sementara motor dan meminjam jaketBerbekal alamat yang diberikan Mama Joshua, kukendarai motorku kali ini melewati jalanan aspal baru. Dulunya jalan ini hanya lah jalan setapak diapit pepohonan rambutan, yang biasa kulewati setiap hari. Setelah sekian tahun, tempat ini sudah berubah pesat.Tak jauh dari situ, tampak sebuah rumah bercat putih dan berpagar hitam tinggi. Tanpa ragu terus kulajukan motor ke arah sana.Suasana rumah sepi. Namun, pagarnya terbuka sedikit. Seorang bapak-bapak tidak memakai baju sedang menyiram tanaman yang tumbuh subur di halaman. Sebelum turun dari motor, aku menarik napas panjang lalu melangkah menghampirinya."Permisi, Pak!" Aku akan memulai drama ini.Bapak tadi yang kuketahui dari Mama Joshua bernama Pak Karta, mematikan keran air dan berjalan mendekatiku. "Cari siapa, Nak?" Kuperhatikan gurat wajahnya keras dan sangar. Sosok di depanku ini terkenal galak serta tegas bagi orang yang mengenalnya."Kalo boleh bertanya, Bapak ... Pak Karta, bukan?" Suar
Aku memakai blazer toska dan celana berbahan dasar kain dengan warna senada, lantas mematut diri sembari menatap wajah di cermin meja rias. Alisku terukir pensil berwarna cokelat tua. Maskara dan eye liner hitam mempertegas kelopak mataku lalu sedikit blush on dan tak lupa memoles lipstik peach favorit. Sentuhan terakhir, menyemprotkan parfum beraroma jasmine ke beberapa bagian tubuhku.Niko sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu bersama Taksa, anakku. Setelah semua dirasa siap, aku mengangguk pada Niko, mengajaknya segera berangkat sekarang juga.Mobil Niko melaju mulus membelah jalan raya. Setelah tiga puluh menit, kendaraan yang membawa kami itu memasuki pelataran parkir kantor Mas Abdu.Ya, aku harus berdandan sesempurna mungkin untuk bertemu dengan pimpinan kantor suamiku itu. Juga, aku ingin Mas Abdu merasa sangat menyesal telah mendua dan berselingkuh dengan si sundal, Wulan.Selama ini karena tuntutan tugas sebagai seorang ibu rumah tangga, membu
Setelah Mas Abdu pergi, aku meminta Niko pindah ke rumah. Selain untuk menemaniku, dia bisa menjadi pelindung aku dan Taksa. Tanpa pria dewasa di rumah, kerap kali seorang janda dianggap sebelah mata oleh orang sekitar.Ya, kini statusku adalah sebagai seorang janda. Tak menunggu dan menghabiskan waktu lama, hakim mengabulkan permintaanku untuk bercerai. Ditambah lagi aku punya bukti yang kuat. Hak asuh anak pun jatuh ke tanganku. Mas Abdu diwajibkan menafkahi serta membiayai kebutuhan sekolah Taksa.Kehadiran Niko di rumah juga membuat Taksa tidak terlalu kehilangan sosok ayahnya. Adikku itu telaten dan pintar memanjakan Taksa.Mas Abdu masih sering menghubungi hanya untuk berbicara dengan Taksa. Pada Taksa dia bilang, ayahnya itu sedang bekerja keluar kota. Untungnya Taksa mengerti dan tidak rewel. Entah sampai kapan alasan itu dipakai. Yang pasti aku harus membuat alasan baru jika Taksa mulai bertanya lagi nanti.Mas Abdu menepati janji menafkahi anakn
Usaha baruku semakin berkembang. Dari mulut ke mulut, kue-kue buatanku semakin dikenal oleh banyak orang. Dari situ pula muncul ideku untuk merambah ke bisnis online. Sehingga para pelangganku lebih mudah jika ingin memesan dan menikmati kue-kue buatanku.Berkat pesanan yang kian hari kian banyak, aku bisa mempekerjakan dua orang untuk membantuku. Tak lain adalah tetanggaku sendiri, yang juga seorang janda dan pejuang nafkah bagi anaknya. Tentu saja buatku ada rasa kebahagian tersendiri bisa membantu dan membahagiakan orang lain."Bu Dewi dan Bu Dian aku tinggal dulu, ya. Yang ini harus diantar sekarang. Orang yang pesen barusan telepon. Minta buru-buru." Aku berdecak. Seharusnya pesanan ini diantar dua jam lagi. Namun, si pemesan minta diantarkan sekarang juga. Untung kue-kue itu sudah siap di-packing dan dimasukkan ke dalam kardus-kardus."Lah, bukannya jam 1 nanti, Mbak Gauri? Kok, ndesak-ndesak, sih." Bu Dian sedikit protes.Aku tertawa melihat ekpres
Pertemuan yang tidak terduga antara aku dan Laila, membuatku menjalin kembali tali silaturahmi dengan teman-teman masa sekolah. Bahkan Laila juga mengundangku ke dalam grup alumni.Hal itu membuat ponselku sering berdenting. Aku jarang nimbrung. Hanya sesekali saja menjawab pertanyaan jika salah satu dari teman men-tag namaku. Yah ... setidaknya obrolan mereka menjadi hiburan tersendiri. Apalagi saat mereka beramai-ramai meledek Dodot.Aku, Laila dan Dodot adalah teman sekelas di SMP Nusa Bangsa. Dulu melalui Dodot aku sering menitipkan kue buatanku untuk Mas Abdu. Aku tau jika mereka teman karib dan aku juga tau bahwa Mas Abdu jarang jajan.Kami sering bertemu di perpustakaan. Meski beda jenjang sekolah, aku di bangku SMP sedangkan Mas Abdu di SMA, tapi sekolah kami berada di satu kawasan yang sama.Di perpustakaan itu pula pertama kali aku melihatnya. Tertidur di sudut ruangan perpustakaan dengan buku menutupi sebelah muka. Wajahnya terlihat sangat lela
"Hei, kalian di situ rupanya!" Laila muncul di ambang pintu dan melangkah mendekat. Dia mengambil duduk di kursi di sebelah kakaknya."Mana si Baby?" tanyaku."Aku tinggalin di rumah sama bapaknya. Nggak apa-apa. Kan, sekali-sekali." Laila nyengir. "Oh, ya, Kak. Tadi aku liat sedan Abdu di parkiran. Kakak udah ketemu?"Ali menggeleng kemudian menatapku. "Dia sengaja aku undang. Nggak apa-apa, kan, Gauri?"Aku mengangguk. "Nggak apa-apa, Mas. Beberapa hari yang lalu kami bertemu. Waktu dia melihat anaknya di rumah."Hening.Laila seperti menyesal sudah menyebut nama Mas Abdu di depanku. Setelahnya dia permisi, ingin mengecek persiapan yang lain.Satu per satu teman-temanku mulai berdatangan. Mungkin sebab merasa canggung, Ali berdiri dan bergabung bersama teman-teman seangkatannya.Aku pun bisa bernapas lega. Setelah pengakuan Ali tadi, suasana jadi canggung dan kikuk jika hanya berdua saja dengannya. Untunglah pria itu tak teru
Hari ini tanggal merah. Dapur jualanku seperti biasa tidak menerima pesanan. Selain untukku beristirahat, aku juga memberi libur kepada dua orang karyawanku. Sama seperti aku, mereka butuh berkumpul bersama anak-anak mereka sebab melimpahkan perhatian untuk keluarga lebih penting daripada bekerja yang tak mengenal waktu. Pukul dua siang, aku berleha-leha di depan televisi sembari menemani Taksa menggambar di atas kertas putih menggunakan krayon.Ponselku berdenting. Ada pesan masuk dari Freya. Ya, hubunganku dengannya semakin membaik. Jika sedang jenuh, kami saling mengirimkan pesan. Tak ada lagi rasa iri atau cemburu padanya seperti dulu semenjak aku mengikhlaskan takdir yang diberikan Tuhan untukku.[Taksa lagi apa, ya? Main dong ke rumah Bunda Fre. Bunda Fre lagi sendirian nggak ada temen.] Pesannya disertai emot wajah sedih.Ya, Bunda Fre. Taksa menyapanya dengan sebutan begitu. Awalnya aku mengajarkan putraku memanggil Freya dengan sapaan 'Tante.' N
Kuraba bekas pukulan Ali tadi malam, masih perih terasa. Namun, tak ada rasa amarah sedikit pun atas perlakuannya padaku. Semua ucapannya benar. Bahkan benar sekali. Aku patut menerima itu. Mengingat semua yang terjadi karena kebodohanku.Dengan malas-malasan, aku bangkit dari rebah. Terseret-seret langkahku menuju kamar mandi. Lama kupandangi wajah di cermin bundar besar yang menempel di atas wastafel. Setelah hampir dua tahun hidup sendiri, baru sekarang aku merasa risih melihat penampilanku, berantakan dan seperti tidak diurus.Meraih krim untuk bercukur, kusemprotkan ke seluruh dagu. Meratakannya lalu kucukur hingga tak menyisakan jambang dan kumis sehelai pun.Saat selesai mencuci dan menyeka wajah dengan handuk yang tersampir, ponselku berdering. Bergegas aku menghampiri benda pipih itu di atas nakas. Meraihnya, kulihat panggilan dari Pak Wirawan. Lagi-lagi dia menghubungi, membujuk agar aku kembali bekerja di perusahaannya."Ya, Pak Wirawan." Aku m