Share

08 - Pertemuan di Waktu yang Salah

INHERITED HUSBAND

08 – PERTEMUAN DI WAKTU YANG SALAH

“Saya ingin pertemuan kita menjadi pertemuan yang sempurna.”

Deg!

Tanpa alasan yang jelas, Rengganis jadi geer. Pipinya bersemu saat pandangannya merunduk, terlalu malu untuk berpandangan dengan lelaki paling tampan yang pernah dia lihat.

“Kenapa?” bisiknya.

“Bukankah sudah jelas? Pertemuan antara suami dan istri, sudah seharusnya sempurna dan romantis. Itu yang selalu Nirmala tekankan padaku.”

“Tunggu…!” Rengganis mendongak memandang lelaki yang tinggi besar itu, “Dari kemarin kamu ngomongin Tante Nirmala terus. Kalau kamu belum move on dari beliau, kenapa bilang kalau kamu adalah suamiku? Lagian ya, Mas… eh, Kang… eh…”

“Nama saya Narendra dari Pajajaran, Nyai.” Lelaki itu memandang Rengganis sambil menahan senyumnya.

“Ah, ya…. Narendra.” ulang Rengganis, “Naren-dra.” Nama itu meluncur di lidahnya, menggema dalam relung hatinya.

Ah, apaan, sih! Jangan baper! Rengganis mengenyahkan perasaan yang diam-diam mulai memenuhi dadanya.

“Ya.”

Rengganis menghembuskan napasnya, sekaligus berusaha mengeluarkan bunga-bunga yang ada di hatinya. “Kita fast-forward aja, langsung to-the-point, aku enggak suka kamu mempermainkan aku kaya tadi. Apa-apaan? Udah jelas aku inget banget kalau semalam aku tidur di sini!”

“Seberapa banyak yang kamu ingat, Nyai?”

Sebenarnya Rengganis jengah dipanggil ‘Nyai’, tapi dia memutuskan untuk lanjut saja, daripada meributkan panggilan yang tidak penting. Masih mending lelaki ini memanggilnya ‘Nyai’ daripada dipanggil ‘Woy’.

Dia masih suka sakit hati dipanggil ‘woy, woy…’ oleh anak-anak kurang ajar yang tinggal di gang sempit kontrakannya.

“Banyak. Aku ingat cukup banyak, hampir semua kejadian aku ingat, kecuali…”

“Kecuali…?”

“Kecuali aku sama sekali tidak ingat namamu siapa.”

Narendra tersenyum simpul, “Itu memang tujuan saya. Agar kita bisa mengulangi pertemuan ini dengan sepantasnya. Kemarin… situasinya tidak menyenangkan.”

Rengganis memberengut, dia setuju kalau kemarin memang situasinya sama sekali tidak menyenangkan. Tapi peristiwa aneh itu malah memberi kesan tersendiri baginya. Dia menyipitkan matanya memandang Narendra dan bertanya, “Memangnya ‘first impression’ itu penting banget ya, buat kamu?”

“Fir—?” Narendra terlihat kebingungan.

Akhirnya Rengganis maklum kalau lelaki ini tidak familiar dengan istilah bahasa Inggris. Maklum saja, sepertinya dia tidak pernah keluar dari hutan ini.

“Kesan pertama.” sahut Rengganis, memberikan penjelasan yang bisa dipahami Narendra.

“Ah~ ya,” dia mengangguk-angguk “saya ingin menampilkan diri saya yang terbaik saat bertemu denganmu, Nyai.”

Rengganis mendengus, dia memalingkan wajahnya dari Narendra sambil bergumam, “Kaya mau ta’aruf aja…”

Narendra sama sekali tidak tersinggung dengan sikap Rengganis, dia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah buku bersampul kulit yang tebal, “Kali ini saya tidak akan menunda-nunda, saya yakin kamu penasaran tentang hubungan saya dan Nirmala.”

Rengganis yang sedang mengamati deretan buku di rak mengangguk, dia menyahut tanpa menoleh, “Ya, kamu terlalu muda untuk jadi duda. Ngomong-ngomong gimana ceritanya kamu bisa ketemu sama Tante Nirmala?” matanya yang tadinya sibuk membaca judul-judul berbagai macam koleksi buku menoleh pada Narendra.

Refleks, Rengganis mundur selangkah saat tiba-tiba saja Narendra sudah berada di belakangnya. Mereka hampir bertabrakan kalau saja Rengganis tidak mundur.

Tangan kuat Narendra menahan lengan Rengganis agar gadis itu tidak oleng dan menabrak rak buku.

“Saya sudah mengenal Nirmala selama dua puluh lima tahun—”

Rengganis membelalak, “Du-dua puluh lima?!”

“Ya, kami bertemu saat dia datang kemari dua puluh lima tahun yang lalu. Kami menikah dan Nirmala tinggal bersamaku.”

Jadi dia alasan Tante Nirmala pergi dari rumah. Dicoret dari daftar keluarga.

“Kami membuat perjanjian, jika Nirmala wafat, dia akan mewariskan hartanya kepada seorang keponakannya yang berharga, dia bilang kalau gadis ini punya hati yang baik, cerdas dan selalu riang gembira. Nirmala bilang, jika saya akan bahagia bersama dengannya. Sepeninggal Nirmala, saya kesepian dan kelap—” Narendra terdiam sejenak, hampir terlepas bicara kalau dia bisa kelaparan tanpa adanya seorang istri, “ehm, maksudnya Nirmala tidak ingin saya hidup sendiri di hutan ini. Jadi dia memintamu, sebagai pewarisnya, untuk menggantikan posisinya di sini.”

“Menggantikan posisinya?”

“Ya, sebagai pemilik rumah dan sebagai istri saya.”

“TUNGGU…!” cegat Rengganis, dia mengacungkan telapak tangannya di depan wajah Narendra, hingga lelaki itu terhenyak, “tunggu dulu, aku masih enggak paham dengan situasinya. Kamu udah kenal sama Tante Nirmala sejak…?”

“Dua puluh lima tahun yang lalu.” jawab Narendra.

Mulut Rengganis terbuka, otaknya mengkalkulasi, dia memerhatikan penampilan Narendra. Lelaki ini sama sekali tidak kelihatan seperti seorang yang berusia di atas tiga puluh tahun. Rengganis menaksir dari penampilannya Narendra ini terlihat seperti seseorang yang berusaha 25 sampai 28 tahun. Paling banter 30 tahun, maksimal.

Tapi dia bilang sudah ‘menikah’ dengan Tante Nirmala selama dua puluh lima tahun?!

“O-oke, kalau kamu bilang begitu, jadi… kamu sebenarnya seumuran dengan Tante Nirmala?” tanya Rengganis, dia tidak bisa menebak-nebak.

Ih, jijay. Masa gue dinikahi sama lelaki bangkotan? Let’s say, dia bilang udah kenal sama Tante Nirmala selama dua puluh lima tahun, bisa jadi sekarang umurnya lima puluh tahunan. Tapi kenapa dia kelihatan jauh lebih muda?

Kok bisa begitu? Cocok banget ya, sama airnya sampai bisa bikin awet muda gitu?

Atau dia minum semacam jamu atau ramuan awet muda?

Gila sih, body goals banget! Mata Rengganis naik-turun memerhatikan tubuh Narendra yang tinggi, tegap dan liat.

Air liurnya hampir saja menetes.

“Nyai, ada banyak hal yang akan saya ceritakan,” suara Narendra menarik kembali Rengganis dari lamunan yang hampir saja membuatnya malu sendiri, “tapi untuk saat ini, kamu hanya perlu menerima kenyataan, bahwa sekarang kamu adalah pewaris dan pengganti Nirmala di rumah ini.”

Rengganis mengangguk, “Ya, aku bisa nerima soal warisan rumah dan harta peninggalan Tante Nirmala, tapi aku masih enggak bisa nerima kenapa tiba-tiba aku harus nikah sama kamu?!”

Narendra mengerjap kaget menerima pertanyaan yang menggebu-gebu dari Rengganis.

“Apa kata dunia? Apa kata orang tuaku? Apa kata tetangga? Ya ampun, apa kata bosku?!” seru Rengganis, makin lama makin panik. Dia tidak habis pikir, heran sekaligus histeris menerima peran barunya.

“Bos?” tanya Narendra.

“Eh, ya. Bos nyebelin tapi aku enggak bisa lepas darinya.” gerutu Rengganis.

Narendra mengerutkan keningnya, sorot matanya tajam memandang Rengganis, dia berbicara dengan nada ketus, “Tidak seharusnya seorang istri dari Narendra jadi bawahan. Kamu seharusnya yang jadi bos, Nyai.”

Rengganis menatap wajah tampan Narendra setengah putus asa, kemudian menghela napasnya, “Ya, semua orang mau jadi bos … kalau bisa.”

“Saya bisa membantumu jadi bos, Nyai.”

Rengganis terkekeh mendengar nada percaya diri dari lawan bicaranya, dia mengendikkan bahunya, “Emangnya kamu bisa apa? Jentikkan jari dan ubah waktu dan posisiku biar tukeran sama si bos? Ogah ya, gue jadi dia. Arogan, nyebelin plus pelit! Hih!”

Rengganis bergidik geli membayangkan dia berada di posisi bosnya yang super-duper nyebelin, manusia jelmaan penyihir, tukang manipulasi dan suka klaim karya orang.

“Lalu kenapa kamu masih bekerja dengannya?”

Rengganis agak geli sendiri mendengar cara bicara Narendra yang memakai bahasa baku. Baru dua kali bertemu dia bisa menangkap kebiasaan lelaki ini dalam berbahasa; dia akan bicara bahasa Indonesia kaku atau bahasa Sunda dengan nada lemah lembut. Sungguh lelaki yang menarik.

Jarang ada mahluk kaya beginian di Jakarta, pikir Rengganis, tapi kayanya dia lebih cocok disimpan di Museum daripada berkeliaran di Mall.

“Oke, balik lagi!” seru Rengganis saat menyadari kalau percakapan mereka mulai ngalor-ngidul, “Pertanyaan: Gimana kalau aku menolak jadi istri kamu?”

“Kamu tidak bisa menolak. Kita sudah sah suami-istri.”

“Apa buktinya?”

“Semalam.”

“Ha?”

“Semalam kita melakukan ciuman. Itu stempel, menandakan bahwa saya dan kamu mengikat janji suci bersama.”

“Ih, apaan! Jangan seenaknya aja, ya. Kamu jangan ngada-ngada! Enggak ada tuh, orang nyosor nyium langsung dibilang suami-istri! Jangan tipu!” bantah Rengganis keras.

“Saya tidak menipu, Nyai.”

Rengganis mengibaskan tangannya, “Alaaahh… beneran, deh. Mendingan sekarang kamu ngaku aja, kamu ini bohong ‘kan udah kenal sama Tante Nirmala selama dua puluh lima tahun?”

“Tidak.”

“Terus kenapa kamu kelihatan masih muda? Kamu ketemu Tante Nirmala waktu umur berapa?”

“Ehm….” Narendra mengusap dagunya yang terlihat kokoh, dia terlihat berpikir.

“Tuh, bohong, ‘kan? Hayooo, ngaku aja. Kamu mau jebak aku, ‘kan? Kamu mau menguasai hartanya Tante Nirmala, ‘kan?! Ngaku kamu Narendra!”

“Tidak, Nyai. Sumpah, saya—”

“Enggak usah sumpah-sumpah segala! Kamu pasti penipu yang mau menguasai harta Tante Nirmala. Kasihan tau Tante Nirmala, udah dia diusir dari rumah, enggak diaku keluarga, sekarang nasibnya sial ketemu sama berondong tukang peras kaya kamu!”

“Nyai, dengar dulu—”

Rengganis menggeleng kuat-kuat, menolak menerima penjelasan dari lelaki asing yang seenaknya saja bilang kalau mereka sudah sah suami-istri! Mana dia juga sudah seenaknya saja mencium bibirnya, bibirnya yang berharga.

Bibirnya yang masih perawan.

Ugh, sekarang sudah tidak lagi perawan.

Dasar lelaki pencuri ciuman pertama!

“Sekarang kamu mau jebak aku, ‘kan? Jangan pikir aku bisa lengah, ya! Aku enggak silau sama harta. Enggak silau sama gantengnya wajah kamu atau kerennya bodi kamu. Enggak!”

“Nyai, saya bukan penip—”

“Kamu jangan pikir aku tergoda sama kamu! Biarpun gendut begini, aku masih punya harga diri dan hati! Aku enggak akan baper sama mulut manis kamu! Aku tau diri! Lelaki kaya kamu enggak mungkin mau sama aku!”

“Nyai…”

“Jangan panggil aku ‘Nyai, Nyai!’” seru Rengganis, nadanya makin lama makin meninggi, “Rengganis! Namaku Reng-ga-nis!”

Narendra terdiam, dia tercengang melihat air mata mengalir deras dari kedua bola mata Rengganis.

“Rengganis …” panggilnya dengan suara berbisik.

Rengganis mulai terisak pelan. Dia menunduk, berusaha menutupi lelehan air matanya. Rasa lelah menyetir motor dan berpanas-panasan sekaligus lapar membuat emosinya berantakan.

Narendra memandang Rengganis dengan iba. Bukan seperti ini pertemuan yang diinginkannya. Dia menghela napasnya.

Terpaksa dia akan melakukannya lagi.

Tangan panjangnya terulur ke arah Rengganis, ujung telunjuknya mengangkat dagu Rengganis, “Nyai …” bisiknya lembut.

Rengganis mendongak dan bertatapan dengan mata paling misterius yang pernah dia lihat. Isakannya terhenti, ingusnya menggantung, dia menarik napasnya. Hiks, sungguh dia tidak bermaksud menangis di depan orang asing seperti ini.

Narendra tersenyum tipis, “Ya, saya juga tidak ingin situasinya seperti ini. Jadi lebih baik, kita ulangi sekali lagi.”

Rengganis mengerjapkan matanya, seketika semua gelap.

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ini kenalan kagak kelar2 jadinya .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status