Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung.
"Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya.
"Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain.
"Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi.
"Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.
Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja.
"Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran.
"Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jawab Anton, sekretaris Gibran.
Gibran mendesah pelan. "Sekarang saya mau pergi, tolong kamu handle semuanya."
"Baik, Pak." Anton menunduk hormat. Setelah itu Gibran beranjak meninggalkan kantor.
Gibran melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, tujuannya saat ini adalah kantor om Gunawan. Hanya dia yang bisa membantunya, semoga saja om Gunawan bersedia membantu Gibran. Masalah dengan Alya saja belum selesai, kini bertambah masalah lagi.
Setelah hampir satu jam lebih, kini Gibran sudah tiba di kantor om Gunawan. Pria beralis tebal itu melangkahkan kakinya menuju ruangan om Gunawan, setibanya di depan ruangan, Gibran mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah ada sahutan dari dalam, Gibran bergegas masuk.
Terlihat om Gunawan tengah sibuk dengan layar komputernya, mungkin banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Melihat Gibran datang, Gunawan menghentikan aktivitasnya. Pria yang usianya sudah setengah abad lebih itu, menyunggingkan senyumnya.
"Silahkan duduk," titah Gunawan. Dengan segera Gibran menjatuhkan bobotnya di kursi.
"Ada apa? Tidak biasanya kamu datang ke sini?" tanya Gunawan.
"Aku butuh bantuan, Om," jawab Gibran.
Gunawan menautkan alisnya. "Bantuan? Bantuan apa."
"Semalam gudang kebakaran, semua barang yang akan diekspor habis tak tersisa. Kerugian yang harus aku tanggung sangat besar. Kalau, Om bersedia, tolong bantu aku untuk membayar karyawan," jelas Gibran. Ia berharap semoga om Gunawan bersedia membantunya.
Gunawan menghembuskan napasnya. "Maaf bukannya, om tidak mau. Tapi untuk saat ini perusahaan, om saja sedang ada masalah. Kenapa kamu tidak meminta bantuan kepada perusahaan lain, siapa tahu mereka mau membantu."
Gibran mendesah kecewa. "Baiklah, Om. Aku tidak akan memaksa."
"Iya." Gunawan mengangguk.
"Ini belum apa-apa, kamu memang pantas mendapatkan ini semua. Karena kamu sudah menduakan dan menyakiti putriku. Kamu akan mendapatkan balasan yang setimpal," batin Gunawan.
"Kalau begitu aku permisi dulu, Om." Gibran bangkit dari duduknya.
"Iya, semoga secepatnya masalah kamu terselesaikan," ujar Gunawan.
"Iya, Om. Terima kasih." Gibran beranjak keluar dari ruangan tersebut.
***
Pukul sebelas siang, Alya baru saja keluar dari pengadilan agama untuk mengurus perceraiannya dengan Gibran. Keputusannya untuk berpisah sudah bulat, itu sebabnya ia tidak menunda-nunda waktu lagi, Alya tidak sendiri, tentunya ditemani oleh Reyhan.
"Mau makan siang dulu nggak?" tanya Reyhan.
"Enggak deh, aku pengen langsung pulang aja," jawab Alya.
"Eh, beli es doger dulu, kayaknya seger nih," ujar Alya, saat melihat penjual es doger tengah melintas.
"Ya udah, kamu tunggu di sini saja. Biar aku yang beli ya," sahut Gibran.
"Iya, makasih ya," balas Alya. Dengan segera Reyhan turun dari mobil dan beranjak menghampiri penjual es doger tersebut.
Hanya butuh sepuluh menit, Reyhan sudah kembali dengan membawa pesanan Alya. Pria berkas hitam itu segera masuk ke dalam mobil dan menyerahkan satu gelas plastik es doger. Alya tersenyum menerimanya, bahkan ia langsung menikmatinya. Seperti Alya ngidam bukan hanya kepengen.
"Hati-hati, nanti tersedak," ujar Reyhan mengingatkan.
Alya tersenyum. "Iya, terima kasih ya. Kamu mau nggak."
"Nggak usah, buat kamu aja," tolaknya. Setelah itu Reyhan menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan tempat tersebut.
Dalam perjalanan Alya sibuk menikmati es doger yang segar itu. Sementara Reyhan memilih fokus untuk menyetir, sesekali ia melirik wanita di sebelahnya itu. Reyhan tersenyum melihat Alya yang begitu lahap menikmati es tersebut.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, kini mobilnya sudah berhenti di pelataran rumah orang tua Alya. Dengan segera Alya turun dari mobil, sementara Reyhan masih duduk di kursi kemudi.
"Nggak mampir dulu, Rey?" tanya Alya.
"Nggak usah deh, aku mau langsung ke kantor," jawab Reyhan.
"Oh, ya sudah. Makasih ya, atas waktunya tadi," sahut Alya.
"Sama-sama, oya titip salam buat tante Yulia ya," balas Reyhan.
"Iya, hati-hati di jalan ya," ujar Alya.
"Iya." Reyhan tersenyum. Setelah itu Reyhan melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumah orang tua Alya.
Setelah mobil Reyhan menghilang dari pandangan mata, Alya bergegas masuk ke dalam. Setibanya di dalam, terlihat ibunya tengah duduk santai di sofa seraya membaca majalah. Melihat putrinya sudah pulang, Yulia meletakkan majalahnya dan bangkit menghampiri Alya.
"Sudah pulang, bagaimana? Lancar kan?" tanya Yulia.
"Alhamdulillah lancar, Ma," jawab Alya.
"Tapi mama kok khawatir ya," ujar Yulia tiba-tiba.
"Khawatir kenapa, Ma?" tanya Alya.
"Khawatir, kalau nanti Gibran mempersulit jalannya sidang," jawab Yulia.
"Insya Allah lancar, Ma. Berdoa saja semoga semuanya cepat selesai," sahut Alya.
"Amin, semoga saja ya," balas Yulia.
"Oya, kamu sudah makan apa belum?" tanya Yulia.
"Belum, Ma. Aku lagi pengen makan pepes ikan nila," jawab Alya.
Yulia tersenyum. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Biar mama nyuruh pembantu untuk memasaknya."
"Iya, Ma." Alya beranjak ke kamarnya yang ada di lantai tiga. Yulia tersenyum seraya memperhatikan punggung putrinya yang kian menjauh.
***
Pukul tiga sore Gibran tiba di rumah, ia sengaja pulang lebih awal. Pria beralis tebal itu bergegas masuk ke dalam rumah, setibanya di dalam. Mata Gibran tertuju pada meja dan sofa ruang tahu yang isinya barang belanjaan. Gibran menghembuskan napasnya lalu melangkah masuk.
"Eh, Mas udah pulang. Lihat nih, tadi aku sama mama habis belanja," ujar Safira seraya menunjuk barang belanjaan yang baru ia borong.
"Untuk apa membeli barang sebanyak ini, seharusnya kalian bisa berhemat. Saham sudah ditarik kembali, gudang kebakaran," ungkap Gibran. Otaknya berasa ingin meledak, masalah yang lain belum selesai sudah mendapat masalah baru.
"Gibran, kamu tidak boleh seperti itu. Biarkan saja Safira memakai uangmu, dia juga istri kamu kan," sahut Ratna.
"Tapi, Ma. Kalian tahu sendiri kan, kita sedang ada musibah. Banyak kerugian yang harus Gibran tanggung, belum lagi bayar gaji para karyawan," ungkap Gibran.
"Kan kamu masih ada tabungan," sahut Ratna.
"Tabungan tidak akan cukup," balas Gibran.
"Kamu memang berbeda dengan Alya," batin Gibran.
Tiba-tiba saja, terdengar ketukan pintu, sontak mereka mengalihkan pandangannya pada pintu utama. Terlihat seorang pria berdiri di ambang pintu. Dengan segera Ratna berjalan menghampiri pria tersebut.
"Maaf, ada apa ya, Mas?" tanya Ratna.
"Ada surat dari pengadilan agama untuk, pak Gibran," ujarnya seraya menyodorkan amplop berwarna putih pada Ratna.
"Oh, terima kasih." Ratna menerima amplop tersebut.
"Iya, kalau begitu saya permisi dulu," ujarnya dan beranjak pergi.
"Surat apa, Ma?" tanya Gibran.
"Nggak tahu, kamu buka sendiri." Ratna menyerahkan amplop tersebut. Dengan segera Gibran menerimanya.
Gibran langsung membukanya dan membacanya, detik itu juga kertas yang ia pegang jatuh, setelah tahu isinya. Alya sudah menggugat cerai dirinya, seketika persendian Gibran lemas, ia tidak menyangka jika akan seperti ini. Gibran pikir jika Alya hanya pulang, tetapi dugaannya salah.
"Surat apa sih, Mas." Safira mengambil kertas tersebut, lalu membacanya.
"Alya menggugat cerai, Mas Gibran," ucap Safira. Sontak Ratna terkejut dan langsung menghampiri menantunya itu.
"Kamu tidak bohong kan?" tanya Ratna.
"Enggak, Ma." Safira menggelengkan kepalanya.
"Gibran, ternyata kamu tidak perlu repot-repot untuk menceraikannya. Dia lebih dulu mengajukan gugatan," ungkap Ratna dengan senyum penuh kemenangan.
Gibran menjatuhkan bobotnya di sofa, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Jujur, Gibran tidak pernah menginginkan perpisahan, ia masih berharap bisa kembali lagi. Namun semua itu hanya harapan yang semu.
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib
Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki pe
Kini Alya sudah ada di rumah sakit, Yulia terus mondar-mandir di depan ruangan di mana putrinya berada. Khawatir, panik, dan takut menjadi satu, Yulia hanya bisa berdo'a agar Alya baik-baik saja. Selang beberapa menit, Gunawan datang, pria berkemeja putih itu melangkah tergesa-gesa menghampiri sang istri."Bagaimana keadaan Alya, Ma?" tanya Gunawan. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir."Mama nggak tahu, Pa. Dokter belum keluar," jawab Yulia dengan air mata yang terus menetes."Kita berdo'a saja, semoga putri kita baik-baik saja." Gunawan merengkuh tubuh istrinya agar merasa lebih tenang.Selang sepuluh menit, pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar, melihat itu Gunawan dan Yulia bergegas bangkit dan berjalan menghampiri dokter tersebut. Mereka berharap semoga keadaan Alya baik-baik saja."Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Gunawan."Untuk saat ini kondisinya belum stabil, dan luka yang dider
Hari demi hari telah berganti, bahkan bulan pun demikian. Proses perceraian antara Alya dan Gibran berjalan dengan lancar, Gibran sama sekali tidak mempersulit jalannya sidang. Dan sekarang mereka hanya tinggal menunggu sidang terakhir, di mana mereka akan benar-benar resmi bercerai.Sementara itu, Safira masih mendekam dipenjara, Gibran dan Ratna datang menjenguknya setiap tiga hari dalam seminggu. Gibran sempat kecewa karena Safira sudah mengaku jika dirinya yang telah menabrak Alya dengan sengaja.Namun semuanya sudah terjadi, Gibran berharap setelah keluar dari penjara Safira dapat berubah. Lalu, untuk Alya, sampai detik ini ia ingin sekali menemui Safira, tetapi kedua orang tuanya melarang. Alya boleh menemui Safira, setelah resmi bercerai dengan Gibran. Yulia dan Gunawan khawatir, kalau mereka akan memanfaatkan keadaan.Saat ini Alya tengah duduk santai di taman samping rumah. Tanaman bunga yang beraneka warna dan jenis, menambah in
Kini mereka berkumpul di rumah Gunawan, sudah saatnya Gibran dan Ratna tahu siapa Alya yang sesungguhnya. Gunawan akan menceritakan kepada mereka tanpa menutupinya sedikitpun. Rasanya Gibran sudah tidak sabar ingin mendengar kebenarannya, ia tidak menyangka jika ada rahasia besar di balik pernikahannya."Gibran, apa kamu siap mendengarnya?" tanya Gunawan, untuk memastikan."Siap, Om." Gibran mengangguk. Ekor matanya selalu melirik ke arah Alya."Baik, dua puluh tiga tahun yang lalu, Yulia melahirkan seorang putri yang sangat cantik, yaitu Alya. Saat itu usiamu baru enam tahun, tetapi karena rasa iri Ratna, dia membuang Alya saat usianya baru satu bulan. Karena Ratna bukan hanya saja iri, tapi cemburu lantaran yang menikahinya bukan aku, melainkan adikku, Indra." Gunawan menghela napas."Ratna pernah mengutarakan perasaannya terhadapku. Namun, aku lebih memilih Yulia, mungkin itu yang membuat Ratna membuang Alya. Beruntung, ada sepa
Keesokan harinya, polisi berhasil menangkap, Safira kembali. Sekarang wanita itu sudah kembali masuk ke dalam jeruji besi, Alya pun kini sudah ada di sana. Meski, Safira selalu berbuat jahat, Alya masih mempunyai hati dan perasaan, bahkan ia berniat untuk mengurangi masa tahanannya."Kamu seneng kan, lihat aku seperti ini. Puas kamu!" bentak Safira. Sorot matanya menunjukkan rasa benci.Alya tersenyum. "Mungkin benar apa katamu, aku senang. Tapi tidak denganku, meski aku benci, tapi justru aku merasa kasihan melihatmu seperti ini.""Cih, aku nggak percaya. Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, aku nggak butuh kamu," usirnya. Safira benar-benar tidak suka akan kehadiran, Alya."Kamu tenang aja, aku nggak lama kok. Aku cuma mau bilang, kalau aku akan mengurangi masa tahanan kamu," ungkap Alya. Seketika Safira diam, dan menatap mata wanita yang kini duduk berhadapan dengannya.Safira menyunggingkan senyumnya. "Aku nggak per
Hari demi hari telah terlewati, sementara bulan terus berjalan. Genap sebulan Alya bekerja di perusahaan ayahnya, bahkan perusahaan itu yang dulunya dipegang oleh Gibran. Kini, Alya yang berkuasa di perusahaan tersebut. Awalnya, Alya tidak tertarik, tetapi untuk mengurangi rasa bosan. Akhirnya ia mau.Saat ini, Alya tengah sibuk dengan tumpukan berkas yang harus ia tanda tangani. Jujur, Alya sering merasa kewalahan, karena sebelumnya ia tidak pernah bekerja di kantor. Namun, Alya akan terus mencobanya, ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya."Huft, ternyata capek juga ya," keluhnya. Alya menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri, agar terasa rileks.Tiba-tiba saja ponsel, Alya berdering, dengan segera ia meraih benda pipih tersebut. Saat dicek, tertera nama Rayhan, Alya pun segera menggeser tombol berwarna hijau agar sambungan telepon terhubung.[Assalamu'alaikum, Rey ada apa][Wa'alaikumsalam, aku cuma mau ngajakin
Roda kehidupan terus berputar, kini Gibran tengah merasakan, bagaimana pahitnya hidup tanpa kemewahan. Harta yang dulu ia bangga-banggakan kini sudah musnah, kini Gibran menjalani hidupnya dengan penuh kesengsaraan. Tak jarang ia sering bertengkar dengan ibunya."Gibran, mama minta uang, beras abis, minyak goreng abis, bumbu dapur juga abis," ucap Ratna seraya menyodorkan tangan kanannya."Ini." Gibran menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribuan."Mana cukup uang segini, kamu tuh ada-ada aja," protesnya. Biasa memegang uang ratusan juta, kini memegang uang lima puluh ribu saja tidak setiap hari."Adanya segitu, ini lima puluh ribu buat beli susu untuk, Rava," sahut Gibran. Anak yang Safira kandung telah lahir, dengan jenis kelamin laki-laki. Sebelum, Safira bebas dari penjara, Gibran dan Ratna yang merawat anak itu."Ya udah, mama mau belanja dulu. Kamu jangan dulu pergi." Ratna beranjak keluar dari rumah, sementara