Share

3. Memandang dari jendela

Mentari pagi sudah menyingsing, banyak orang berlalu lalang memulai aktifitasnya di jum'at pagi ini. Devit memperhatikan lingkungan sekitar tempat ia mengontrak saat ini yang merupakan jalan utama. Jalan yang masih bisa dilalui mobil berukuran kecil sampai dengan sedang. 

Devit menyesap kopinya, duduk dekat jendela. Pilihannya di situ karena dia nyaman dan bisa melihat langsung ke tetangga sebelah. Astaghfirulloh...apa kini yang ada dalam fikirannya. Tak mungkin ia...aah..sudahlah, tak ingin hanyut dalam nafsu setan yang tak berkesudahan.

Devit memutuskan kembali membuka laptopnya, mempelajari bahan ajar yang akan ia jelaskan pada mahasiswanya hari ini.

Took..took..

Pintu kontrakan Devit diketuk.

"Pak, assalamualaikum," seru Juwi, Devit hapal suaranya. Ia bergegas membuka pintu rumah dan ia lupa saat ini ia hanya mengenakan boxer pendek sepaha tanpa sarung. Biasanya Devit selalu menggunakan sarung dengan rapi.

"Wa'alaykumussalam," jawabnya lalu membuka pintu dengan tergesa. Kuncinya macet.

Sreeg

Sreeg

Devit berusaha membuka pintu kontrakan, tetapi tidak bisa.

"Tunggu Juwi, ini kunci pintunya kok macet," ucap Devit tak sabar. Lelaki itu melihat Juwi membawa semangkuk makanan di tangan kanannya.

"Bukanya pake perasaan coba, Pak," seru Juwi sambil nyengir.

"Jangan kasar, Pak, yang lembut ngapah?" lanjutnya lagi.

"Ya ampun ni bocah ngomong apaan sih?" gerutu Devit sambil berusaha terus membuka lubang kunci yang masih seret.

"Kalau perawan mah gitu Pak, pasti susah bukanya, seret," ledek Juwi lagi di balik pintu sambil terkekeh geli.

Kini wajah Devit sudah semerah tomat, bayangan anak perawan tiba-tiba melintas. Ya ampun, masih pagi ujiannya udah berat banget. Devit bermonolog mengusap kasar wajahnya.

Cleekk

" Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan.

"Ehh, Bapak seksi benar, ck!" Juwi memperhatikan Devit yang hanya mengenakan celana pendek sebatas paha, kulit Devit yang putih begitu kontras dengan celana boxernya yang bewarna merah menyala.

Devit tersadar menatap dirinya. "Duh, maaf, Dek." Devit berlari masuk ke dalam rumahnya, wajahnya semakin merah di pagi hari. Dia bergegas memakai sarung yang ada di atas ranjangnya.

Juwi senyum-senyum sendiri karena merasa berhasil menggoda tetangga barunya. Devit kembali menghampiri Juwi. "Eh ... ya ada apa, Juwi?"

"Keburu dingin deh kolak durian saya, kelamaan sih abapak bukanya." Juwi memberengut kesal sambil memberikan paket komplit kolak durian dengan ketan dan roti tawar.

"Wah, makasih Juwi." Mata Devit berbinar, tangannya menerima mangkuk pemberian Juwi. Seketika perutnya jadi keroncongan, padahal biasanya Devit baru mau sarapan setelah pukul sembilan pagi. Tapi entah kenapa, masih pukul tujuh dan perutnya meronta hendak melahap makanan yang dibawakan Juwi.

"Mangkoknya jangan lupa dikembalikan lho ya," ucap Juwi sambil berlalu kembali ke rumahnya.

Devit langsung duduk dekat jendela dan melahap kolak durian tersebut. Tak lupa sesekali melirik keluar jendela, melihat Juwi yang sedang membuka warung kelontongnya. 

****

Jam pertama di kelas reguler selesai tepat pukul sepuluh tiga puluh. Devit keluar kelas dengan langkah ringan. Masuk ke ruang dosen dan duduk di mejanya.

"Undangan kapan dibagiin Pak Devit?" tanya Bu Ruri dosen matematika.

"Eh...itu, belum Bu, masih lama ini, Bu.l," sahut Devit sambil tersenyum canggung, hampir seminggu pindah ke kontrakan dan dia hampir saja melupakan persiapan pernikahannya yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Senyumnya terbit tatkala membuka ponsel dan nama Sarah ada beberapa kali mengirimkan pesan singkat.

"Jangan kelamaan Pak Devit, nanti calonnya Pak Devit bisa dicaplok orang," goda Pak Yusuf kini, dosen mata kuliah bahasa Arab.

"Kalau bukan calonnya Pak Devit yang dicaplok orang, Pak Devitnya yang dicaplok gadis lain," ledek Bu Ruri menyahuti candaan Pak Yusuf. Kedua dosen tersebut tertawa.

"Doakan yang baik atuh, Pak...Bu..." Devit hanya cengengesan sambil membuka pesan yang masuk.

"Assalamualaikum, Kak. Bagaimana kabarnya? masih sibuk ya? 

"Kapan Kak Devit ada waktu untuk membicarakan design undangan?"

"Saya tunggu di kantin kampus C ba'da dzuhur ya, Kak. Saya bersama Nuri, dia yang akan membantu kita berkaitan dengan undangan.

"Kakak ada waktukan?"

Devit merasa tak enak hati, pesan singkat yang dikirimkan Sarah tadi shubuh, baru siang ini sempat ia baca.

"Wa'alaykumussalam. Sarah. Maafkan Kakak yang baru sempat membaca pesan dari Sarah. Insya Allah siang ini Kakak akan ke kantin ya. Maaf sekali lagi." 

Sesuai dengan janji awal, Devit dan Sarah juga Nuri bertemu di kantin kampus. Tampak Sarah memakai kerudung panjang bewarna biru dongker dengan gamis yang senada. Wajahnya teduh, senyumnya manis. Wanita sholeha impian setiap lelaki sholeh. Beruntung sekali Devit dapat meminangnya. Sarah adalah satu-satunya puteri dari pasangan Pak Haji Aryo Ibrahim dan Ibu Hajah Dewi. Orang tua Sarah adalah seorang camat di wilayah Jakarta timur. 

Kenali Bibit bebet dan bobot seseorang sebelum engkau hendak menghalalkannya. Itulah yang selalu nenek Devit sampaikan kepada cucu-cucunya yang berjumlah enam orang ini. Devit adalah cucu pertama dari anak laki-laki.

"Kak, kok melamun?" tanya Sarah saat Nuri asik menjelaskan design undangan, sedangkan Devit pikirannya mengawang-awang.

"Ah, nggak kok Sar, rasanya cepat sekali waktu berlalu ya, sebentar lagi saya segera memiliki istri yang cantik dan sholeha," puji Devit sambil tersenyum kepada meja di depannya. Tak berani dipandangnya wajah Sarah yang mungkin saat ini bersemu merah.

"Ahai, calon pengantin tersipu malu," celetuk Nuri sambil terkekeh. Terlihat Sarah mencubit lengan Nuri, wajahnya merona.

"Beruntungnya aku," gumam Devit lagi.

"Mbak, ini pesanan es cendol duriannya." Seorang pelayan kantin menghantarkan segelas es krim durian ke depan Sarah dan Nuri.

"Makasih, Mas, "Ucap keduanya.

"Kakak mau pesan juga?" tanya Sarah kepada Devit.

"Tidak Sar, teirma kasih. Tadi pagi saya sudah makan durian," jawab Devit yang tiba-tiba terlintas di kepalanya adalah wajah oriental Juwi dengan seringainya. Devit menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir tampilan Juwi.

"Emm ... kenapa, Kak?" Sarah memandangnya aneh.

"Eh, gak papa, Sar ." Devit menjadi kikuk sendiri, matanya kembali menatap laptop Nuri untuk fokus pada undangannya. 

Hampir dua jam mereka bertiga berdiskusi. Akhirnya final pada undangan berwarna biru disertai sedikit tinta gold pada tulisan dan bingkainya. Warna sesuai keinginan Sarah dan Devit juga menyukainya. Nuri telah mencatat semua hal yang diperlukan dalam pembuatan undangan Sarah dan Pak Devit dosennya. Serta berapa banyak yang akan dicetak. Devit menyerahkan sepuluh lembar uang merah, sebagai DP biaya mencetak undangan, namun Nuri menolak. Jika design sudah oke dan akan naik cetak baru Nuri mau menerima DP nya.

Mereka akhirnya berpisah, Sarah dan Nuri kembali ke kelasnya, karena masih ada bimbingan skripsi, sedangkan Devit kembali ke ruang dosen, ia akan mengajar di jam tiga sore.

"Terimakasih untuk hari ini, Kak."

Devit membaca pesan Sarah. Senyumnya mengembang.

"Sama-sama calon istri." 

Devit membalas pesan Sarah, tak lupa menyertai juga emot senyuman. 

**** 

Hampir magrib saat Devit sampai di kontrakannya. Rumah bercat putih di sampingnya yang tak lain adalah rumah Juwi dan ibunya, sepertinya sedang banyak menerima tamu. Devit melihatnya heran, tak seperti biasanya. Devit duduk di kursi teras kontrakannya sambil membuka sepatu.

"Bundaaaa......Caca mau pelmen!" rengek seorang anak kecil berusia tiga tahun dari depan pintu rumah Juwi.

"Maaf ya, Nak. Tidak baik makan permen, nanti gigi Salsa sakit, makan biskuit aja yuk!" Juwi menggandeng anak kecil cantik bernama Salsa itu dan mengajaknya ke warung.

"Hah?" Devit melongo, wanita yang dipanggil bunda itu adalah Juwi. Masih terkesiap Devit seakan terpaku duduk di kursinya, padahal sebentar lagi adzan magrib tiba, tak pernah Devit mau melewatkan sholat wajib berjama'ah di masjid.

"Ohh, kirain masih gadis, ternyata sudah punya anak." Devit bermonolog dengan hati yang mendadak lemah.

"Aish, untuk apa aku jadi kepo seperti ini? Ck...Devit...Devit...ingat..sebentar lagi kamu menikah," gumamnya dalam hati.

Juwi tak sengaja bertemu pandang dengan Devit, Juwi tersenyum ramah, sedangkan Devit tersenyum canggung.

"Bunda, ayo macuk, udah mau malgib," oceh gadis kecil itu sambil menarik tangan Juwi.

Devit pun masuk ke dalam rumahnya, mandi dan bergegas sholat ke masjid. Hari ini Devit sempat membeli sayur matang dan ia panaskan untuk makan malam.

Devit menyuapkan nasi dan sayur ke dalam mulutnya, namun tak berselera. Ada apa dengannya? Saat mulutnya malas menyuapkan nasi, tapi matanya rajin melihat ke jendela, di sana Juwi sedang bermain dengan gadis kecil itu, sangat keibuan.

Berbeda jika saat bicara dengan Devit yang suka ceplas-ceplos. Tunggu, jika itu adalah anaknya, suaminya mana? Apakah seorang pelaut jadi jarang pulang? ataukah suaminya sedang tugas keluar kota, ataukah Juwi istri kedua, matanya masih asik di depan jendela.

Ting

Bunyi pesan singkat di ponsel Devit.

"Ngeliat apaan sih Pak dari jendela?" 

Mata Devit melongo membaca pesan singkat Juwi. Ya ampuun ketahuan! Wajah Devit pun kembali merona semerah tomat.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
haha juwi juwi
goodnovel comment avatar
edmapa Michael
Hehehe ketahuan dia
goodnovel comment avatar
Keni Sihyanti
Waduh Juwi si janda yg genit juga ya ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status