Share

4. Ketiduran

last update Last Updated: 2021-07-20 21:44:10

Malam ini malam jum'at. Seperti biasa Devit selalu mengaji Alqur'an menghabiskan satu juz setiap malamnya. Suara merdu Devit saat tilawah menggelitik telinga tetangga kanan dan kiri kontrakannya. Namanya juga kontrakan, yaa tentu bisik-bisik saja bisa terdengar, apalagi mengaji dengan suara merdu nan tegas. 

Hampir sebulan Devit tinggal di lingkungan itu, banyak sudah warga yang mengenal Devit, selain karena kesholihannya, sikap ramah dan peduli lingkungan, wajah Devit yang tampan menjadi magnet tersendiri, terutama bagi kaum ibu-ibu. 

Termasuk Juwi dan ibunya serta Salsa anaknya Juwi. Setiap malam Salsa mendatangi rumah Devit untuk belajar mengaji, hingga akhirnya rumah kontrakan Devit, selepas magrib pasti penuh dengan anak-anak yang antri belajar mengaji. Seperti malam ini, Salsa yang berumur tiga tahun mengetuk pintu rumah Devit.

Tok..tok..

"Accametum," ucap Salsa dengan lidah cadelnya.

"Wa'alaykumussalam Caca, sini masuk!" Devit yang sangat mengenal aksen bicara gadis kecil itu, langsung saja menyuruhnya masuk. Kebetulan murid yang lain belum datang. Salsa duduk di atas karpet yang sudah dibentangkan Devit di ruang depan kontrakannya. Wajah Salsa yang imut memakai kerudung bewarna pink bergambar buah strawberry.  Satu dua anak rambut keluar dari celah kerudungnya. Devit gemas sendiri dengan Salsa, dia menyukai gadis kecil itu, bukan ibunya.

"Caca mau baca peltama boleh tak Papa?" ucap Salsa. 

"Panggilnya pak guru ya Caca, atau panggil Pak Devit," terang Devit mengajarkan Salsa untuk memanggilnya dengan sebutan seperti murid lainnya.

Salsa menggeleng. "No, papa aja," kata Salsa lagi. Wajahnya ditekuk karena cemberut. Devit tersenyum melihat wajah Salsa yang sangat tidak mirip dengan Juwi. Mungkin Salsa lebih mirip ayahnya, pikir Devit.

"Ya sudah yuk, Salsa baca pertama," ajak Devit mengarahkan Salsa untuk duduk di depannya membaca iqro' yang dibawa Salsa. Namun bukannya duduk di depan Devit, Salsa malah duduk di pangkuan Devit.

"Mau pangtu Papa," ucapnya kini sudah duduk manis di paha kanan Devit, sambil berpura-pura sibuk membuka iqro'nya. Devit membenarkan pecinya, sambil tersenyum kikuk. Kasihan Salsa sepertinya sangat merindukan ayahnya. 

Tapi ke mana ayahnya? hingga sebulan Devit tinggal bersebelahan dengan mereka, tak pernah sekalipun Devit melihat ayah Salsa. Devit celingak celinguk memandang ke arah pintu, memastikan belum ada lagi yang datang, mengingat ini baru pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya anak-anak yang lain datang pada pukul enam tiga puluh.

Devit mencoba bertanya pada Salsa hal yang sangat ingin dia ketahui, namun menanyakan langsung pada Juwi, tentu saja Devit merasa sungkan.

"Mmm ... Salsa sudah makan?" tanya Devit basa basi, masih sambil memangku Salsa.

"Cudah, Papa," jawabnya sambil tersenyum manis, menunjukkan gigi susunya yang tersusun rapi.

"Makan pakai apa?" 

"Pate telu cepok." 

"Enak deh," ucap Salsa lagi.

"Habis tidak makannya?" 

"Habis Papa, benel," ucap Salsa sambil menarik-narik kerudungnya.

"Ayah Salsa kok belum pulang?" tanya Devit memberanikan diri, kini tangan Devit membenahi kerudung yang dipakai Salsa.

"Ayah Caca cudah di dalam tanah Papa, dikubul," jawabnya polos.

"Innalillahi, a-ayah..Caca sudah meninggal?" tanyanya sambil berbisik dengan tatapan iba kepada Salsa.

"Meningal itu apa Papa?" Salsa malah balik bertanya dengan wajah polosnya.

"Meninggal itu saat kita dimasukkan dalam tanah dan dikubur," jelas Devit. Entah Salsa mengerti atau tidak perkataan Devit.

Salsa mengangguk. "Cepelti ayah Caca dong," katanya lagi.

Kini Devit tak lagi menanyakan kelanjutannya, tidak mungkin Salsa berbohong. Kasian Salsa, masih kecil sudah yatim. Kalau begitu Juwi adalah janda, nasibnya kurang beruntung masih muda sudah menjanda. 

Tak lama murid yang lain berdatangan. Devit kembali memimpin murid-murid yang merupakan tetangga kanan kirinya, jumlah mereka tak lebih dari sepuluh anak, Salsalah murid termuda Devit. 

Pukul delapan tiga puluh, Devit telah selesai mengajarkan semua muridnya, mereka lalu melaksanakan sholat isya berjamaah yang diimami oleh Devit sendiri. Salsa ikut sholat bersama kakak-kakaknya yang lain. Salsa anak yang pintar, saat ikut sholat tidak pernah bercanda atau banyak bergerak seperti kebiasaan pada anak seusianya.

"Caca...yuk pulang!" Juwi muncul di depan pintu rumah kontrakan Devit dengan hanya memakai piyama selutut bermotif keroppi.

Rambutnya yang panjang digelung ke atas, hingga menampakkan leher putih jenjangnya. Devit menelan salivanya sambil tercekat. "Astaghfirulloh ... jadi hilang semua pahala malam ini." gumam Devit sambil berpura-pura tak melihat Juwi yang berdiri di depan pintu.

"Ayo, Ca." Kini Juwi masuk sambil memegang tangan mungil Salsa mengajaknya bangkit dari posisi tidur-tidurannya di samping Devit yang masih asik membuka Alqur'an kecilnya.

"Mau bobo cini aja, Bunda," ucap Salsa enggan malah meletakkan kepalanya di paha Devit. Devit kaget mencoba bersikap ramah agar tidak ketahuan Juwi, bahwa dia salah tingkah sendiri dengan sikap Salsa.

"Eh, ini kan rumah pak guru, Salsa rumahnya di sebelah, bobo sama Bunda yuk," rayu Juwi lagi sambil duduk di dekat Salsa.

"Mau bobo sama Papa." Mata Salsa melihat Devit yang tersenyum kikuk.

"Papa siapa?" tanya Juwi ikut kebingungan.

"Papa Caca, ya kan Pa?" Salsa nyengir kuda menatap wajah Devit. Juwi kini paham, ikut tersenyum lebar.

"Caca...Caca...kamu bikin Bunda gemes aja." Juwi menggelitiki tubuh Salsa. Salsa tertawa cekikikan, Devit ikut tersenyum melihat keakraban antara ibu dan anak itu.

Ah...sebentar lagi tentu saja ia dan Sarah akan segera mempunyai anak yang lucu dan gemesin.

"Maafkan anak saya ya pak guru," ucap Juwi merasa sungkan sambil membenarkan posisi piyamanya yang tadi sedikit tertarik ke atas. 

"Ah, eh ... iya, gak papa, namanya juga anak-anak." 

"Ayo Salsa pulang dulu ya, Pak Devit mau belajar lagi," rayu Devit dengan lemah lembut.

Salsa menggeleng. Juwi pun merayu kembali Salsa, bahkan dengan iming-iming dibelikan es krim esok hari. Namun Salsa tetap menolak. Kini Salsa malah menangis.

"Ya sudah biar Salsa tidur di sini, nanti kalau sudah pulas, saya antar ke rumah," ucap Devit akhirnya mengalah. Tak tega juga melihat Salsa yang sudah sesegukan menangis tak ingin pulang.

"Bunda bobo cini juga ya," ucap Salsa lagi.

"Eh ... Kalau Bunda bobo di sini nanti Pak guru gak bisa bobo Ca," ledek Juwi sambil nyengir kuda.

Devit hanya tersenyum canggung, kini ia  berdiri untuk mengambil laptop di atas meja, bermaksud mengerjakan materi yang akan besok ia berikan pada mahasiswanya.

Juwi pun pasrah, menemani Salsa tiduran di rumah Devit. Pintu rumah Devit masih terbuka, tentu tak enak jika tetangga melihat Salsa dan Juwi di rumah Devit. Juwi sudah sangat mengantuk, begitu juga Salsa, sedangkan Devit masih asik depan laptopnya sambil sesekali melirik ibu dan anak yang kini berada di ruang depan kontrakannya. 

Kedua wanita itu akhirnya tertidur. Salsa tertidur di paha Devit, sedangkan Juwi tertidur dengan bersandar di tembok dengan kepala miring. Pemandangan apa ini hingga membuat hatinya berdesir. 

Wajah teduh Juwi saat tidur sangat elok dipandang. Devit tak ingin melihat namun berkali-kali ekor matanya seperti tertarik magnet hingga menatap kembali wajah Salsa dan Juwi bergantian. Devit mengulum senyum, dengan pelan Devit membangunkan Juwi.

"Dek Juwi bangun," bisiknya.

"Apa loe?!" bentak Juwi dalam tidurnya. Juwi mengigau.

Devit tersentak. "Ett dah, serem amat nih cewek ngigonya," gumam Devit sambil bergidik ngeri. 

"Juwi bangun, Salsa udah tidur," bisiknya lagi sambil mencolek bahu Juwi. Bukannya bangun Juwi malah melorotkan badannya hingga tertidur miring di samping Salsa.

Devit sampai garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba membangunkan Juwi kembali. Namun Juwi terlalu pulas. Devit jadi bingung sendiri.

"Devit."

"Kakaak," ucap wanita paruh baya dan seorang remaja lelaki bersamaan. Devit terjengkit kaget mendengar suara yang sangat familiar. Devit menoleh. 

"Ma." Mata Devit terbelalak melihat siapa tamu yang datang.

"Siapa mereka Devit?" 

"Sayang, kok belum tidur?" 

"Ayo sini tidur." Juwi dengan mata tertutup menarik lengan Devit untuk berbaring.

Mama Devit melongo, begitu juga dengan adik remaja Devit.

"Maa, Devit bisa jelaskan!" Devit melepas paksa lengannya dari tangan Juwi.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
wah oarah ni si juwi sampai ngigau tarik di devit bisa di suruh nikah dh sm janda
goodnovel comment avatar
edmapa Michael
tertidur puas.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kepincut Janda Tetangga   57. Ekstra part 4

    Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.

  • Kepincut Janda Tetangga   56. Ekstrapart 3

    Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus

  • Kepincut Janda Tetangga   55. Ekstra part 2

    Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.

  • Kepincut Janda Tetangga   54. Ekstrapart 1

    Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se

  • Kepincut Janda Tetangga   53. Ending

    Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin

  • Kepincut Janda Tetangga   52. Mengurus Mertua

    Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa

  • Kepincut Janda Tetangga   51. Kuncilah Kamar Saat Berdua Saja dengan Suami

    Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini

  • Kepincut Janda Tetangga   50. Tuduhan Bu Lani

    Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa

  • Kepincut Janda Tetangga   49. Ternyata Hamil

    Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status