POV Ayu
Aku menarik napas panjang, untuk menghadapi suami macam Mas Damar. Harus banyak istighfar dan sabar. Merki bin kodot (pelit) dari dulu kenapa tidak hilang juga dari raganya. Bahkan semakin parah. Wajahnya memerah saat mendengar penuturanku. Panik bukan? Kamu pikir aku main-main dengan ancamanku? Lihat, apa yang akan kamu lakukan. "Maksud kamu apa bicara hal itu? Aku nggak suka dengan apa yang kamu katakan." Mas Damar membela diri lagi. Sejak tadi dia mencoba berargumentasi denganku, tetapi dia tetap kalah telak. "Masa kamu nggak ngerti. Apa harus aku perjelas. Ceraikan saja aku, Mas. Kembalikan pada keluargaku. Aku capek, punya suami kaya nggak ada. Kerja pontang panting, lelah, aku yang merasakan." Semua unek-unek itu akhirnya keluar juga. Dada ini terasa sesak saat ia menghabiskan banyak uang untuk keperluan keluarganya. Apalagi saat Asih mulai kuliah satu tahun lalu dan itulah yang membuat prahara dalam rumah tanggaku."Mana bisa begitu. Istighfar, Ma. Jangan kalah sama ego kamu. Aku setiap bulan menafkahi kamu, kamu saya kurang bersyukur. Masih banyak di luar sana yang nggak bisa makan dan suaminya kena PHK," ujar Mas Damar tanpa rasa bersalah."Nah, mereka kena PHK, berarti mereka suaminya nggak ada pemasukan. Alias nggak punya gaji, sedangkan kamu, satu bulan gaji bisa masuk ke rekening 15 juta. Belum lagi uang bonus dan kinerja lainnya. Pikir dong, jangan ngaco. Boleh berbakti, tapi sudah membuat anak istri cukup apa belum?"Mas Damar mengusap wajah kasar. Aku tidak peduli, dia salah dan harus mempertanggungjawabkan semuanya. Termaksud hidup aku dan anak-anak."Aku sudah bilang, aku bantu Asih kuliah.""Iya, aku tahu. Setidaknya kamu adil, memang kuliah bayar tiap bulan? Nggak, kan?" tanyaku dengan emosi.Setahuku, kuliah itu akan kembali mengeluarkan dana setelah semester dan itu setelah 6 bulan. Jadi, per bulan dia masih bisa menyisihkan untuk 6 bulan berikutnya. "Kamu jangan cari masalah. Ibuku juga butuh uang dan kamu tahu dari mana dia dapat uang selain aku?" tanya dengan wajah emosi."Kamu lupa ada Mba Laras? Dia kerja, masa dia nggak ngasih buat bulanan?" Sepertinya emosiku sudah tak terbendung lagi. Alasan apa pun tetap salah. Enak saja selama setahun ini dia mengikat pengeluaranku dan menghamburkan di sana. Otakku terasa berat menghadapi pria macam ini."Biaya jajan Asih pun mungkin lebih besar dariku, memang aku nggak tahu kalau sehari saja ibu bisa memberi dia 100rb untuk kuliah. Sedangkan aku, 50.000 untuk makan kedua anakku. Apa namanya adil?" "Dia ibu dan adikku, wajar aku memberikan mereka uang.""Memang, ya sudah. Kamu pikirkan baik-baik, besok aku akan ke rumah ibu, kalau kamu belum bisa benerin otak kamu. Jangan harap aku kembali ke rumah ini." Aku sungguh tak sanggup menghadapi semuanya."Sombong kamu, baru kerja saja sudah tidak merasa butuh aku."Picik pikirannya, dari pada aku darah tinggi di sini, lebih baik aku ke kamar dan merapikan barang-barang. Sepertinya aku harus benar-benar memberi dia pelajaran. Dia pikir aku akan terima diajak susah terus. Sejak pacaran sudah kukatakan aku tidak mau menikah dengannya. Ibunya sering kali ikut campur masalah kami. Sampai Damar menjemputku saja menjadi permasalahan. "Pusing kepalaku menghadapi kamu!" teriak Mas Damar.Kubanting pintu kamar untuk kesekian kali. Kerebahkan tubuh ini. Rasanya kepalaku pening sekali. Teringat perbincanganku dengan Disti, sahabatku."Tinggalin aja," ujarnya."Kalau bisa mah mau. Dia sebenarnya orang baik. Sayang aja, otaknya lagi geser. Ini semua ulah ibu." Aku menghela napas."Ya, lu harus tegaslah. Masa dia ngasih lu uang makan segitu? Nyari tambahan gimana?"Aku berpikir ulang. Sejak itu, aku terus memutar otak bagaimana aku bisa mendapat uang. Tuhan sepertinya mendengar doaku. Mas Arfan mengajak bekerja sama mengurus CV barunya. Dia mengizinkan aku bekerja dari rumah dan semua kulakukan terkadang di rumah ibu. Berjalan sudah hampir sepuluh bulan lamanya. Aku pun kerap berkonsultasi pada Mas Arfan, bukan aku membicarakan masalah pribadi. Hanya saja tidak mungkin aku mengatakan pada ibu Mas Damar.Mas Arfan pun memberikan uang bulanan untuk ibu. Namun, tidak sampai mengabaikan anak dan istrinya. Tidak seperti Mas Damar, entah apa yang ada dipikirannya***Kuputuskan, sepertinya aku harus pergi. Biar saja dia berpikir jernih. Lagi pula, anak-anak tidak rewel jika jauh dari bapaknya. "Mau ke mana?" Tangan Mas Damar menarik lenganku. "Mau ke mana?" tanyanya lagi."Kok, tangannya panas." Aku segera mengecek keningnya. Astaga, kenapa suhu tubuhnya panas. Sejak kapan dia sakit seperti ini?Gegas aku mengambil termometer dan air putih. Mas Damar terlihat kesulitan saat bangun. Katanya perutnya juga sakit, memang sudah beberapa hari, ungkapnya. Namun, ia tahan karena tidak terlalu parah.38 derajat, pantas saja ia lemas. Kuberikan obat yang ada di rumah dulu. Jika tidak turun, nanti aku bawa ke dokter.Kenapa, sih, saat aku mau memberikannya pelajaran, dia malah sakit. Menang banyak sekali dia. Walau aku kesal, tapi dia tetap suamiku. Dering ponsel berbunyi, Disti meneleponku. Segera aku melangkah ke luar agar Mas Damar tak bisa mendengarku."Iya, Ti. Ada apa?" tanyaku padanya."Jadi ke rumah nyokap nggak? Gue jemput nanti." Suara Disti begitu ceria dari seberang telepon."Nggak jadi, laki gue sakit. Kesian," jawabku."Hahaha ... gila, udah disakitin, masih aja sayang. Untung lo nggak depresi kaya istri-istri di dalam novel yang suka gue baca." Disti malah mentertawakanku. Wajar si."Ya, gue, kan sudah bilang. Gue punya cara sendiri buat diri gue seneng, gue nggak mau nyiksa diri dalam kesedihan dan buat stres sampai gila. Nah, yang untung laki gue sama keluarganya. Hahaha ... selow sajalah jalanin hidup. Makanya, banyak minta sama Tuhan, biar hidup lo berkah." Aku malah jadi ceramah pada Disti."Ya udah deh."Aku mengakhiri panggilan Disti. Pernah juga aku dalam tahap seperti itu. Pusing dan hampir gila. Bahkan, anak-anak menjadi sasarannya. Namun, kembali aku berpikir, untuk apa aku seperti itu. Lebih baik, aku mencari kegiatan, uang banyak dan buat perhitungan dengan suamiku. Dan berhasil bukan, ia mulai merasa aku cuek padanya.Saat aku punya uang, manjakan diri. Untuk apa pusing dengan keadaan, kalau dia mau berubah, kita jalani sama-sama lagi. Kalau tidak ada perubahan, tunggu saja surat pengadilan.Gegas aku ke dapur untuk membuatkan dia bubur. Ia mengeluh sakit, takutnya ia malah sakit tipes. Semoga saja demamnya turun setelah minum obat tadi.Selang sejam, aku kembali ke kamar melihat kondisinya. Setelah anak-anak mandi dan sarapan, aku meminta mereka tetap di ruang TV untuk menonton saja."Kamu sejak kapan sakit, sih?" tanyaku kesal. Padahal harusnya aku pergi ke rumah ibu."Nggak tahu, perut sakit, Ma." Dia terus memegangi tanganku."Ke dokter aja, ya?" tanyaku.Mas Damar mengangguk. Dia sudah lemah tak berdaya mungkin. Demamnya sudah turun, tetapi perutnya masih sakit.***Ada saja cobaan. Benar dugaanku, Mas Damar kena tipes. Gejala tipes, harusnya dirawat, tapi dia menolak. Lebih memilih rawah jalan saja. Sejak tadi ponsel Mas Damar terus bergetar. Orangnya malah tertidur. Kuambil dari nakas, penasaran siapa yang menelepon.Wah, ternyata pesan dari ibu. Sepertinya dia mengabarkan pada ibunya. Kubuka sajalah.Sepertinya Ku menyesal membukanya. Kini, aku kembali merasa sesak yang begitu luar biasa.[Aku sakit, Bu. Tadi ke dokter, gejala tipes.]Pesan Mas Damar pada Ibu.[Oalah, kamu sakit. Kok bisa, ini pasti istrimu yang nggak bisa ngurus. Suami kerja, bukan diurus yang benar. Pasti, nih nggak pernah masak, beli terus sampai kamu sakit karena makan sembarangan. Kamu menikah sama Ayu, dari awal bukan bahagia, ini semua akibat dosa istrimu ini. Bikin suami sakit]Kurang baik apa aku pada suami? Bisa-bisanya aku dikatakan seperti itu. Apa kurang cukup melihat aku dengan kondisi seperti ini? Kutaruh kembali di nakas. Gegas aku ke kamar dan berkemas. Biar saja ibu yang merawat kamu, Mas. ***BersambungObatnya benar-benar paten, sampai aku baru saja terbangun dari tidur. Tubuh ini masih lemas dan terasa lapar. Memindahi sekeliling, rasanya sepi. Tidak terdengar suara anak-anak, apalagi Ayu."Ma," panggilku.Tidak ada jawaban. Perlahan aku bangkit dan mencari mereka. Namun, aku sama sekali tidak menemukannya. Kemana mereka? Apa iya, Ayu tega meninggalkan aku saat sedang sekit seperti ini?Gegas aku mengambil ponsel untuk menghubunginya. Namun, sebelum itu, ponselku masih terbuka pesan dari ibu. Aku ingat sebelum tidur, aku mengirim pesan padanya.Ibu sudah membalas pesan dariku, tapi aku sama sekali tidak merasa membukanya. Apa jangan-jangan Ayu yang membacanya?Kepala ini semakin sakit, jangan-jangan Ayu pergi karena membaca pesan dari ibu. Kutepuk kening ini, rasanya hancur sekali mengingat pesan Ibu pastilah Ayu sangat sakit hati.Gegas aku menelepon Ayu. Sial! Sama sekali tidak diangkat. Bagaimana&nbs
"Jelaskan sama Mas, apa benar yang dikatakan Mba Laras? Jawab Asih!" Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya.Emosi ini tak terbendung kala mengingat perkataan Ayu."Dia tidak ada niat belajar. Percuma buang-buang uang saja. Kamu pikir kuliah tidak mahal?"Aku mengusap wajah kasar. Demi keinginan ibu, Asih harus kuliah dan aku yang membiayainya. Namun, aku harus kecewa karena ia membohongiku."Jawab, Mas!""Sudah, kasihan adikmu," ujar Ibu.Tanganku mengepal keras, bisa-bisanya Asih berbohong padaku. Bagaimana bisa dia berbohong selama ini."Jaman sekarang, IPK banyak yang di palsukan. Coba kamu mampir aja ke daerah ujung, pasti deh banyak jasa edit yang pasti persis dengan hasil asli dari kampus." Kini Mba Laras kembali berujar."Mas nggak mau tahu, semester ini, kalau kamu masih saja jelek nilainya, lebih baik kamu selesaikan saja kuliahmu." Semoga saja ancamanku berhasil kali ini.
POV ibu Damar"Mas kamu kebangetan. Dia malah membela istrinya dari pada ibu." Aku mulai kesal karena Damar sekarang malah memilih Ayu dari apa aku.Aku pun kesal dengan Laras. Sejak dulu dia selalu bertentangan denganku. Seperti sekarang, dia sepertinya lebih berpihak pada Ayu dari pada aku. Kasihan sekali Asih, jatah uang jajannya harus berkurang."Iya, aku juga kesal. Masa jatah jajanku berkurang. Bagaimana aku bisa kuliah, Bu? Mana Mba Laras bongkar semuanya. Sebenarnya dia anak ibu apa bukan, sih. Kok malah membela si Ayu itu." Asih pun sama kesalnya denganku.Laras anakku, tapi sikapnya berbeda memang. Ia diasuh ibuku dulu karena aku bekerja dan Laras tak mau kembali tinggal bersamaku. Setelah ibuku meninggal, barulah ia kembali tinggal bersamaku.Namun, ia sangat berbeda. Entah, apa yang ibuku ajarkan padanya. Tak pernah mau menuruti kemauanku. Bahkan, memberikan sebagian gajinya saja tidak ma
"Perkara wanita banyak di dunia itu masalah kesekian. Harusnya Ibu membantu mempertahankan pernikahanku dengan Ayu. Bukan malah mendukung perceraian kami. Apa Ibu nggak mengerti perasaanku?" Aku menahan emosi yang memuncak di dada.Bisa-bisanya Ibu berlaku seperti itu. Salah apa Ayu padanya, selama menikah istriku tak pernah berkata kasar padanya. Baru kali ini Ayu mengatakan hal yang benar-benar sudah ia pendam selama ini.Keluhan demi keluhan Ayu selalu aku abaikan. Aku tidak suka saat ia mengatakan Ibu begini dan begitu. Kupikir semua mengada-ada. Nyatanya, semua terjadi seperti itu."Untuk apa Ibu mendukung kamu. Istri kamu pembangkang, apa yang harus dibanggakan? Kecantikan luar tidak menjamin hatinya baik." Lanjut Ibu lagi.Kulirik Mba Laras yang mulai gusar. Ia memilih ke luar dari kamar Ibu. Kupikir dia malas mendengar perdebatan kami. Kalau seperti ini, Ayu akan menjadi benci padaku."Ini rumah tanggaku. Ibu nggak
Sebelum ke rumah Ayu, aku mampir ke rumah ibu untuk mengajaknya untuk meminta maaf pada Ayu. Hanya berharap semua selesai hari ini. Kupastikan Ibu harus ikut denganku kali ini."Bu, ikut aku ke rumah Ayu." Tanpa basa-basi aku langsung berbicara niatku untuk datang sore ini."Ibu sudah bilang nggak akan mau ke sana. Dia siapa memang, harus gitu ibu meminta maaf. Adanya dia, mantu nggak berguna," oceh ibu.Aku tidak mau berdebat lagi. Cara halus tidak berhasil, sepertinya Ibu harus mendapat terapi sedikit."Terserah, kalau Ibu nggak mau datang, ya, sudah. Mulai bulan besok, aku tak mau memberi Ibu jatah uang bulanan. Apa itu yang Ibu mau?" Kupastikan dia akan setuju.Raut wajahnya masam. Sepertinya kesal dengan ancamanku. Harusnya sejak kemarin aku melakukan itu. Kenapa baru terpikir kali ini?Aku beri waktu berpikir lima menit. Kerutan di wajahnya sudah begitu terlihat. Bibirnya komat kamit sendiri. Entah apa yan
POV AyuSetelah kemarin membuat mentalkudown,kini aku harus kembali bekerja. Kesepakatan dengan Mas Anton membuat aku harus bertemu juga dengan Mba Laras. Namun, sepertinya mereka biasa saja.Pukul 09.00 aku sudah sampai di kantor mereka. Sebuah perkantoran kecil yang mereka bangun berdua, seperti yang kini aku lakukan bersama Mas Arfan.Untuk sementara, Mas Arfan memperbolehkan aku mengambil beberapa job untuk menambah wawasan dan pengetahuanku di bidang keuangan. Apalagi, kami perusahaan baru yang tidak begitu banyak pekerjaan.Aku butuh uang untuk membesarkan kedua anakku. Sementara, ayahnya tidak bisa aku andalkan. Biarkan saja dia menghidupi ibu dan adikknya. Mau lihat akan sehebat apa Asih nanti.Kalau memang berhasil, kuancungkan jempol karena dia membela mati-matian untuk kepentingan kuliah Asih. Namun, jika sebaliknya, ingin sekali aku tertawa di depan Mas Damar da
POV AYUMobil Mas Damar terus saja memepet mobil Pak Erik. Bagaimana ini? Aku takut terjadi sesuatu yang membahayakan.Mobil berhenti saat Mas Damar sudah menepi di depan mobil yang kami tumpangi. Bagaimana bisa akan terjadi pertumpahan darah.Mas Damar turun dari mobil dan menggedur kaca ini."Sebaiknya selesaikan masalah kalian, Bu Ayu," pinta Pak Erik."Baik, Pak, maaf."Aku turun dari mobil, begitu juga Pak Erik. Dia bilang tidak akan ikut campur, tapi hanya berjaga-jaga supaya Mas Damar tak berlaku kasar padaku."Turun juga kalian! Kamu ikut aku Ayu!" Mas Damar menarik lenganku kasar."Lepas, Mas!" titahku.Mas Damar seperti kesetanan. Ia masih saja mencengkram lenganku dengan kencang. Pak Erik mencoba membantu, tetapi Mas Damar seperti tidak terima."Lepas, Mas! Kamu menyakiti aku!" Lagi, aku mencoba berteriak."Bukan
Mundur perlahan, dari pada aku dibuat malu dan di maki di depan umum oleh Mas Arfan. Sungguh emosi saat melihat Ayu bersama dengan Pak Erik. Bagaimana tidak, Ayu meminta cerai dan hari ini aku melihatnya dengan bosku.Aneh bukan? Namun, kali ini aku tidak berhasil mengungkap perselingkuhan mereka. Lihat saja Ayu, kalau sampai benar dugaanku, hak asuh Bagas dan Anita akan kuambil.Getar ponsel menghentikan langkahku. Pesan dari Arman membuat aku tertegun.[Bro, di mana? Gila Lo, main kabur aja. Kerjaan belum kelar. Mana main baku hantam si bos pula! Mati aja karir Lo]Aku mengacak rambut kasar. Sial sekali hari ini. Cemburu buta membuat aku tak berpikir siapa yang aku hantam tadi. Ayu, kenapa kamu buat aku seperti orang gila?Melangkah cepat untuk ke parkiran dan langsung melajukan mobil kembali ke kantor. Harap-harap cemas dengan apa yang sudah kulakukan. Sial sekali hidupku saat ini, kehilangan istri, bahkan seperti