Share

Enam

POV Ayu

Aku menarik napas panjang, untuk menghadapi suami macam Mas Damar. Harus banyak istighfar dan sabar. Merki bin kodot (pelit) dari dulu kenapa tidak hilang juga dari raganya. Bahkan semakin parah. 

Wajahnya memerah saat mendengar penuturanku. Panik bukan? Kamu pikir aku main-main dengan ancamanku? Lihat, apa yang akan kamu lakukan. 

"Maksud kamu apa bicara hal itu? Aku nggak suka dengan apa yang kamu katakan." Mas Damar membela diri lagi. Sejak tadi dia mencoba berargumentasi denganku, tetapi dia tetap kalah telak. 

"Masa kamu nggak ngerti. Apa harus aku perjelas. Ceraikan saja aku, Mas. Kembalikan pada keluargaku. Aku capek, punya suami kaya nggak ada. Kerja pontang panting, lelah, aku yang merasakan." 

Semua unek-unek itu akhirnya keluar juga. Dada ini terasa sesak saat ia menghabiskan banyak uang untuk keperluan keluarganya. Apalagi saat Asih mulai kuliah satu tahun lalu dan itulah yang membuat prahara dalam rumah tanggaku.

"Mana bisa begitu. Istighfar, Ma. Jangan kalah sama ego kamu. Aku setiap bulan menafkahi kamu, kamu saya kurang bersyukur. Masih banyak di luar sana yang nggak bisa makan dan suaminya kena PHK," ujar Mas Damar tanpa rasa bersalah.

"Nah, mereka kena PHK, berarti mereka suaminya nggak ada pemasukan. Alias nggak punya gaji, sedangkan kamu, satu bulan gaji bisa masuk ke rekening 15 juta. Belum lagi uang bonus dan kinerja lainnya. Pikir dong, jangan ngaco. Boleh berbakti, tapi sudah membuat anak istri cukup apa belum?"

Mas Damar mengusap wajah kasar. Aku tidak peduli, dia salah dan harus mempertanggungjawabkan semuanya. Termaksud hidup aku dan anak-anak.

"Aku sudah bilang, aku bantu Asih kuliah."

"Iya, aku tahu. Setidaknya kamu adil, memang kuliah bayar tiap bulan? Nggak, kan?" tanyaku dengan emosi.

Setahuku, kuliah itu akan kembali mengeluarkan dana setelah semester dan itu setelah 6 bulan. Jadi, per bulan dia masih bisa menyisihkan untuk 6 bulan berikutnya. 

"Kamu jangan cari masalah. Ibuku juga butuh uang dan kamu tahu dari mana dia dapat uang selain aku?" tanya dengan wajah emosi.

"Kamu lupa ada Mba Laras? Dia kerja, masa dia nggak ngasih buat bulanan?" Sepertinya emosiku sudah tak terbendung lagi. 

Alasan apa pun tetap salah. Enak saja selama setahun ini dia mengikat pengeluaranku dan menghamburkan di sana. Otakku terasa berat menghadapi pria macam ini.

"Biaya jajan Asih pun mungkin lebih besar dariku, memang aku nggak tahu kalau sehari saja ibu bisa memberi dia 100rb untuk kuliah. Sedangkan aku, 50.000 untuk makan kedua anakku. Apa namanya adil?" 

"Dia ibu dan adikku, wajar aku memberikan mereka uang."

"Memang, ya sudah. Kamu pikirkan baik-baik, besok aku akan ke rumah ibu, kalau kamu belum bisa benerin otak kamu. Jangan harap aku kembali ke rumah ini." Aku sungguh tak sanggup menghadapi semuanya.

"Sombong kamu, baru kerja saja sudah tidak merasa butuh aku."

Picik pikirannya, dari pada aku darah tinggi di sini, lebih baik aku ke kamar dan merapikan barang-barang. Sepertinya aku harus benar-benar memberi dia pelajaran. Dia pikir aku akan terima diajak susah terus. 

Sejak pacaran sudah kukatakan aku tidak mau menikah dengannya. Ibunya sering kali ikut campur masalah kami. Sampai Damar menjemputku saja menjadi permasalahan. 

"Pusing kepalaku menghadapi kamu!" teriak Mas Damar.

Kubanting pintu kamar untuk kesekian kali. Kerebahkan tubuh ini. Rasanya kepalaku pening sekali. Teringat perbincanganku dengan Disti, sahabatku.

"Tinggalin aja," ujarnya.

"Kalau bisa mah mau. Dia sebenarnya orang baik. Sayang aja, otaknya lagi geser. Ini semua ulah ibu." Aku menghela napas.

"Ya, lu harus tegaslah. Masa dia ngasih lu uang makan segitu? Nyari tambahan gimana?"

Aku berpikir ulang. Sejak itu, aku terus memutar otak bagaimana aku bisa mendapat uang. Tuhan sepertinya mendengar doaku. Mas Arfan mengajak bekerja sama mengurus CV barunya. Dia mengizinkan aku bekerja dari rumah dan semua kulakukan terkadang di rumah ibu. 

Berjalan sudah hampir sepuluh bulan lamanya. Aku pun kerap berkonsultasi pada Mas Arfan, bukan aku membicarakan masalah pribadi. Hanya saja tidak mungkin aku mengatakan pada ibu Mas Damar.

Mas Arfan pun memberikan uang bulanan untuk ibu. Namun, tidak sampai mengabaikan anak dan istrinya. Tidak seperti Mas Damar, entah apa yang ada dipikirannya

***

Kuputuskan, sepertinya aku harus pergi. Biar saja dia berpikir jernih. Lagi pula, anak-anak tidak rewel jika jauh dari bapaknya. 

"Mau ke mana?" Tangan Mas Damar menarik lenganku. "Mau ke mana?" tanyanya lagi.

"Kok, tangannya panas." Aku segera mengecek keningnya. Astaga, kenapa suhu tubuhnya panas. Sejak kapan dia sakit seperti ini?

Gegas aku mengambil termometer dan air putih. Mas Damar terlihat kesulitan saat bangun. Katanya perutnya juga sakit, memang sudah beberapa hari, ungkapnya. Namun, ia tahan karena tidak terlalu parah.

38 derajat, pantas saja ia lemas. Kuberikan obat yang ada di rumah dulu. Jika tidak turun, nanti aku bawa ke dokter.

Kenapa, sih, saat aku mau memberikannya pelajaran, dia malah sakit. Menang banyak sekali dia. Walau aku kesal, tapi dia tetap suamiku. 

Dering ponsel berbunyi, Disti meneleponku. Segera aku melangkah ke luar agar Mas Damar tak bisa mendengarku.

"Iya, Ti. Ada apa?" tanyaku padanya.

"Jadi ke rumah nyokap nggak? Gue jemput nanti." Suara Disti begitu ceria dari seberang telepon.

"Nggak jadi, laki gue sakit. Kesian," jawabku.

"Hahaha ... gila, udah disakitin, masih aja sayang. Untung lo nggak depresi kaya istri-istri di dalam novel yang suka gue baca." Disti malah mentertawakanku. Wajar si.

"Ya, gue, kan sudah bilang. Gue punya cara sendiri buat diri gue seneng, gue nggak mau nyiksa diri dalam kesedihan dan buat stres sampai gila. Nah, yang untung laki gue sama keluarganya. Hahaha ... selow sajalah jalanin hidup. Makanya, banyak minta sama Tuhan, biar hidup lo berkah." Aku malah jadi ceramah pada Disti.

"Ya udah deh."

Aku mengakhiri panggilan Disti. Pernah juga aku dalam tahap seperti itu. Pusing dan hampir gila. Bahkan, anak-anak menjadi sasarannya. Namun, kembali aku berpikir, untuk apa aku seperti itu. Lebih baik, aku mencari kegiatan, uang banyak dan buat perhitungan dengan suamiku. Dan berhasil bukan, ia mulai merasa aku cuek padanya.

Saat aku punya uang, manjakan diri. Untuk apa pusing dengan keadaan, kalau dia mau berubah, kita jalani sama-sama lagi. Kalau tidak ada perubahan, tunggu saja surat pengadilan.

Gegas aku ke dapur untuk membuatkan dia bubur. Ia mengeluh sakit, takutnya ia malah sakit tipes. 

Semoga saja demamnya turun setelah minum obat tadi.

Selang sejam, aku kembali ke kamar melihat kondisinya. Setelah anak-anak mandi dan sarapan, aku meminta mereka tetap di ruang TV untuk menonton saja.

"Kamu sejak kapan sakit, sih?" tanyaku kesal. Padahal harusnya aku pergi ke rumah ibu.

"Nggak tahu, perut sakit, Ma." Dia terus memegangi tanganku.

"Ke dokter aja, ya?" tanyaku.

Mas Damar mengangguk. Dia sudah lemah tak berdaya mungkin. Demamnya sudah turun, tetapi perutnya masih sakit.

***

Ada saja cobaan. Benar dugaanku, Mas Damar kena tipes. Gejala tipes, harusnya dirawat, tapi dia menolak. Lebih memilih rawah jalan saja. 

Sejak tadi ponsel Mas Damar terus bergetar. Orangnya malah tertidur. Kuambil dari nakas, penasaran siapa yang menelepon.

Wah, ternyata pesan dari ibu. Sepertinya dia mengabarkan pada ibunya. Kubuka sajalah.

Sepertinya Ku menyesal membukanya. Kini, aku kembali merasa sesak yang begitu luar biasa.

[Aku sakit, Bu. Tadi ke dokter, gejala tipes.]

Pesan Mas Damar pada Ibu.

[Oalah, kamu sakit. Kok bisa, ini pasti istrimu yang nggak bisa ngurus. Suami kerja, bukan diurus yang benar. Pasti, nih nggak pernah masak, beli terus sampai kamu sakit karena makan sembarangan. Kamu menikah sama Ayu, dari awal bukan bahagia, ini semua akibat dosa istrimu ini. Bikin suami sakit]

Kurang baik apa aku pada suami? Bisa-bisanya aku dikatakan seperti itu. Apa kurang cukup melihat aku dengan kondisi seperti ini? 

Kutaruh kembali di nakas. Gegas aku ke kamar dan berkemas. Biar saja ibu yang merawat kamu, Mas. 

***

Bersambung

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
ibu mertua yg gesrek nyalahin menantu trus g mau koreksi diri
goodnovel comment avatar
Asep Sablon
lanjut terus
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
wah ternyata ibu nya damar ni yg sakit jiwa wkwkw. sebel suka ngatur
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status