Share

Tujuh

Penulis: Galuh Arum
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-25 13:05:56

Obatnya benar-benar paten, sampai aku baru saja terbangun dari tidur. Tubuh ini masih lemas dan terasa lapar. Memindahi sekeliling, rasanya sepi. Tidak terdengar suara anak-anak, apalagi Ayu. 

"Ma," panggilku. 

Tidak ada jawaban. Perlahan aku bangkit dan mencari mereka. Namun, aku sama sekali tidak menemukannya. Kemana mereka? Apa iya, Ayu tega meninggalkan aku saat sedang sekit seperti ini?

Gegas aku mengambil ponsel untuk menghubunginya. Namun, sebelum itu, ponselku masih terbuka pesan dari ibu. Aku ingat sebelum tidur, aku mengirim pesan padanya.

Ibu sudah membalas pesan dariku, tapi aku sama sekali tidak merasa membukanya. Apa jangan-jangan Ayu yang membacanya?

Kepala ini semakin sakit, jangan-jangan Ayu pergi karena membaca pesan dari ibu. Kutepuk kening ini, rasanya hancur sekali mengingat pesan Ibu pastilah Ayu sangat sakit hati.

Gegas aku menelepon Ayu. Sial! Sama sekali tidak diangkat. Bagaimana ini? 

Tubuh masih lemas, terpaksa aku menelepon ibu agar datang membantu. Mana bisa aku melakukan semua sendiri saat sakit seperti ini.

[Bu, bisa ke rumah sekarang]

Pesan langsung kukirim pada Ibu.

[Nggak ada yang antar. Asih pergi tadi]

Kuketik lagi agar ibu datang setelah Asih datang.

[Telpon Asih saja. Bilang pulang cepat]

[Nanti ibu coba]

Kembali aku menaruh ponsel di nakas. Mencoba tenang, tetapi hati ini begitu sulit untuk ditenangkan.

***

"Aduh, istrimu itu benar-benar nggak tahu diri. Suami lagi sakit, malah ditinggal. Emang benalu itu!" 

Sejak datang ibu terus saja mencerca Istriku. Kenapa dia tidak pernah mencoba akur? Padahal, aku sudah mendahului kebutuhannya. Sampai Ayu terus mendiamkan ku.

"Bu, sudah, jangan salahkan Ayu terus. Dia pergi juga gara-gara Ibu," keluhku. 

Mau bagaimana pun Ibu harus tahu. Pesan masuknya membuat Ayu sakit hati. Bahkan sampai pergi dari rumah. Padahal, saat tadi saja dia masih sibuk mengurusku. Kalau dia sudah seperti itu, pasti Ayu marah besar.

"Loh, kok gara-gara Ibu?" Ibu menatap tidak suka.

"Iya, Mas, kenapa jadi salah Ibu. Istri Mas saja yang nggak bisa ngurus, Mas." Asih malah ikut berkomentar. 

"Kamu diam saja, Sih. Jangan ikut campur!" bentakku padanya. Seketika Asih diam dan kembali memainkan ponselnya.

Memindahi sekeliling, Ibu saling pandang dengan Asih. Lalu, saat aku melihat ke arah mereka, kembali dua orang itu sibuk dengan kesibukan masing-masing.

"Aku minta tolong sama Ibu dan kamu ke sini untuk mengurusku. Bukan mencerca Istriku. Cukuplah, Ibu jangan ikut campur urusan aku dan Ayu," ucapku.

Wajah ibu masam seperti tak terima saat aku menyalahkan dia. Gegas ia melangkah ke dapur, sepertinya mengambil piring karena aku memintanya membelikan bubur tadi.

"Kamu, kok malah membela dia? Bukan ibu yang sudah melahirkan dan mengurus kamu." Sembari memberikan aku bubur yang tadi ibu beli di luar, dia pun terus saja mengoceh.

Drama apa lagi ini? Sudah tahu aku masih sakit, masih saja diajak berdebat. Habis ini pasti akan ada drama Isak tangis. Lalu, seperti yang sudah-sudah, ujung-ujungnya uang.

"Bu, aku tahu itu dan nggak akan amnesia. Tapi, kan ibu juga harus tahu aku sudah menikah. Jadi, urusan rumah tangga aku biarlah kami yang menyelesaikan." Kali ini aku merasa tidak enak, tapi ibu harus ditegaskan. Lelah aku setiap hari harus bertengkar dengan Ayu. Bahkan, dia pergi saat aku butuh dia.

"Tuh bener, kan. Harusnya ibu nggak izinin kamu nikah sama dia. Ayu bawa pengaruh buruk buat kamu. Bahkan, kamu rela mengeluarkan uang banyak untuk perawatannya. Belum baju baru, kemarin saja ke undangan kamu belikan gamis bagus. Lah, ibu, kamu lupakan." Ibu terlihat mengusap sudut mata. Kini, ia malah sesegukan di hadapanku.

Astaga, gara-gara skincare dan gamis bikin ibu iri pada Ayu. Aku harus bagaimana menjelaskannya, jika semua bukan uangku. Dan mungkin Ayu sengaja mengatakan hal itu untuk membuat Ibu iri atau apalah, aku tidak mengerti juga.

"Mas, jangan begitu. Kasihan Ibu, sampai menangis," ucap Asih.

"Sudahlah, Sih. Mas bilang kamu diam saja, nggak usah ikut-ikutan bicara. Bikin tambah panas saja." Aku mengusap wajah kasar, pastilah Ayu di sana sedang menceritakan hal yang terjadi pada kami. 

Bagaimana aku menghadapi ibu mertuaku? Duh, rumit-rumit.

"Bu, masalah gamis, kan ibu bisa beli sendiri. Skincare kalau mau juga bisa. Aku memberikan gajiku lebih besar pada ibu. Apa masih kurang?" tanyaku pelan.

"Kebutuhan ibu banyak, belum jajan Asih saja sehari bisa 200.000. Belum masak, listrik, air dan uang bulanan RT." Ibu menjelaskan rincian pengeluarannya sampai membuat aku melongok.

"Uang jajan Asih kenapa banyak banget?" Aku menoleh pada Adikku.

"Ya, aku, kan kuliah butuh ongkos, butuh makan, belum keperluan lain," jawabnya membela diri.

"Cobalah kamu bekerja part time. Mas pusing kalau seperti ini. Taruhannya rumah tangan Mas berantakan cuma gara-gara gaji Mas banyak kukasih ke ibu."

Harus mengadu pada siapa aku kalau seperti ini. 200.000 dikalikan 24 hari saja sudah 4.600.000. Pemborosan sekali itu. Sepertinya harus kurubah. 

"Gini aja, mulai sekarang uang jajanmu 100.000 saja. Kamu pikir Mas gudang uang?" 

Seketika wajah Asih murung. Aku tidak peduli, enak saja dia menghabiskan banyak uang dengan gratis. 

"Mar, kasihan Asih, nanti dia sakit kalau nggak makan di kampus, lebih parah, kan?" Ibu membela Asih kali ini.

"Ya ibu buat bekel saja buat dia. Biar irit, kan?" 

Mereka diam tanpa kata. Sesekali saling melempar pandang. Bubur di meja sudah tidak hangat, tetapi aku harus minum obat dan terpaksa kumakan saja.

***

"Duh, kok bisa Ayu pergi pas kamu sakit?" tanya Mba Laras. 

Kakakku datang karena di telepon Ibu. Bersama Mas Anton, sepulang kerja Mba Laras langsung mampir ke rumahku.

"Gara-gara Ayu baca pesan Ibu di ponselku," jawabku.

"Haduh, ibu buat ulah apa?" tanya Mba Laras pelan sembari melirik ibu yang berada di ruang TV.

Kuceritakan semua pada mereka, tentang kepergian Ayu. 

"Mba sudah bilang, jangan pernah mengikuti maunya ibu. Mba saja memberi ibu secukupnya. Kan, ibu dapat uang pensiun dari alm. bapak. Cukuplah buat makan berdua," ujar Mba Laras.

"Kasihan Ibu, Mba. Takut mau beli sesuatu," ujarku.

"Iya, tapi nggak mengorbankan pernikahan kamu juga. Gila aja kamu kasih Ayu uang belanja minim." Mba Laras tertawa membuat aku kesal. 

Wajar aku ingin ibu bahagia. Sejak Bapak meninggal, siapa lagi yang akan mencari nafkah kalau bukan aku yang memberi.

"Mas Anton saja memberi sebulan lebih dari yang kamu kasih ke Ayu. Bisa ngamuk Mba kalau Mas Anton kaya kamu. Bukan ngamuk, deh tapi langsung gugat cerai hahaha ...."

Tawa Mba Laras semakin kencang hingga membuat ibu melongok ke luar.

"Ma, ketawanya kaya gitu. Kasihan, kan tuh yang otw jomblo meringis," ledek Mas Anton.

Mereka memang kompak mentertawakan aku. Sial sekali punya kakak yang selalu saja berbeda pendapat denganku.

"Mba juga perempuan dan seorang istri. Dengan gaji minim mana bisa mba hidup. Untung istrimu kuat, nggak stres kaya kebanyakan orang." Penuturan Mba Laras membuat aku merasa bersalah pada Ayu.

Ayu, pulang Sayang. Mas kangen ini, Mas janji akan menambahkan 5 persen lagi untuk kamu asal kamu pulang.

"Lo, kebalik Bro. Harusnya Ibu yang dapat jatah 1.500.000 dan Ayu dapat lebih dari itu. Gue kira Ayu lo fasilitasin sampe kinclong." Mba Laras menyenggol Mas Anton saat wajah ini sudah tidak tahu bentuknya.

"Mas, jangan muji Ayu. Si Damar itu cemburuan, nanti kamu dikira naksir sama istrinya. Hahaha ...." Tawa Mas Laras semakin kencang. 

"Lagian, istri cakep, modalin lah. Laki cemburuan, tapi nggak bisa nyenengin bini. Hati-hati, kalau di jomblo, Mba yakin, deh yang ngantri jadi Bapaknya anak-anak kamu banyak." Lagi ucapan Mba Laras semakin membuat aku jengkel.

Untuk apa mereka datang kalau semakin membuat aku kesal dan jengkel. Ucapan Mba Laras saja bikin hati keki. Andai saja tubuh ini tidak lemas, sudah kudatangi rumah ibu mertua.

"Sih, kamu nginep aja dulu di rumah Mas Damar sampai dia sembuh. Ibu juga, kasian nggak ada yang ngurus. Ini juga ulah kalian, kan. Sampai Ayu kabur." Mba Laras sangat berani mengucapkan hal itu pada ibu.

"Ibu aja, deh, Mba. Aku jauh ke kampus dari sini. Lagian, aku, kan sibuk kuliah," tolak Asih.

"Kuliah main-main doang, kan kamu. Emang Mba nggak tahu nilai kamu semua jelek. Mas kamu saja bodoh, mau dibohongin sama kamu. Mar, berhentikan saja semua fasilitas. Suruh kerja, nyusahin saja." 

Aku terkesiap mendengar ucapan Mba Laras. Bukannya selama ini nilai-nilai Asih bagus? Lalu, kok Mba Laras mengatakan hal sebaliknya? Baru beberapa Minggu dia memberikan nilai dengan IPK 3.2 yang lumayan menurutku.

"Bukannya IPKnya 3.2, Mba?" tanyaku.

"Hahaha ... kebalik. 2.3 IPKnya."

Seketika raut wajahku berubah menatap Asih yang menunduk saat kulihat dirinya. Maksudnya apa ini? IPK 3.2 kenapa bisa berubah jadi 2.3? 

Bersambung

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (7)
goodnovel comment avatar
Fradew Ku
Oke ku nanti kelanjutan nya
goodnovel comment avatar
Cantiqa Ardhiana
untung masih ada yg Waras di keluarga nya Damar.. Mba Laras dan Mas Anton
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
ini adek bikin gedeg aja nilai bisa ganti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Extra Part

    Ibu Andar terduduk di teras rumah. Sudah semingguan acara pernikahan Damar berlangsung. Ia merasa lega karena kini penyesalan dirinya sudah terbayarkan.Ia menyesal karena dirinya, kebahagiaan anak-anaknya hilang. Mulai dari Laras, hubungan mereka renggang saat ia ikut campur dalam rumah tangga sang anak. Kedua, rumah tangga Damar yang hancur olehnya. Ketiga, masalah Asih yang membuatnya sangat bersalah.Ia teringat lima bulan yang lalu saat ia bertengkar hebat dengan tetangga beberapa gang dari rumahnya."Ya ampun, Bu Andar lihat, deh. Ini anakmu bagaimana, sih. Masa istri barunya jadi pemeran video porno. Iki, loh," tujuk Bu Sentot sambil memperlihatkan video Erika bersama Yuda.Wajah Bu Andar memerah menahan malu juga amarah. Lalu, ia merampas ponsel milik Bu Sentot dan menghapus videonya."Ih, Bu Andar, lancang sekali, sih. Ini hape saya, nggak ada tatakrama sekali, main ambil saja. Pantas saja anak-anak ibu pada

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Enam

    Menunggu jawaban dari Ayu membuat Damar tak sabar. Ia kembali bertanya dengan dada yang begitu berdebar.Sorot mata Ayu mengisyaratkan ia ingin kembali, tetapi keraguan kembali membuncah di dada."Yu, bagaimana? Demi aku dan anak-anak?" Lagi, pertanyaan itu terus mendesak Ayu.Batinnya pun tersiksa saat Damar memutuskan untuk tetap pergi ke Surabaya. Terkadang berkirim pesan dengan mengatas namankan anak membuatnya sedikit lega melihat aktivitas sang mantan suami."Yu, mau nggak? Kalau mau, nanti aku bawa keluarga aku untuk datang kembali, dan semoga saja ibu sudah bisa lebih baik.""Mas, apa kamu yakin?""Kalau aku nggak yakin, buat apa aku datang.""Aku--aaku, mau, Mas. Dengan syarat," ucap Ayu."Full gaji di transfer gitu?" Damar menaikkan kedua alisnya."Nggak, tapi janji, kamu mau berubah, tidak seperti dulu.""Janji, sih, mudah. Kamu bantu aku mengingatkan, bagim

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima puluh lima

    Lima bulan berlalu begitu cepat. Kini, Ayu memulai semuanya dengan baik. Kabar pernikahan David pun membuat ia senang, walau tidak secara besar-besaran, pernikahan CEO itu mengundang banyak kontroversi karena anak yang di bawa Viola.Aku mengitari sebuah mall untuk membeli perlengkapan untuk kedua anaknya. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Viola.Viola mengajak untuk berbincang di sebuah tempat makan. Ia pergi sendiri karena Gista bersama Oma Meria."Terima kasih, Yu. Kamu memberikan hari bahagia untuk anakku. Berkat kamu, anakku kembali tersenyum. Setiap malam tidur bersama ayahnya." Sembari menggenggam tangan Ayu, manik mata Viola itu meneteskan air mata."Maaf, aku mengambil kebahagiaanmu," ucap Viola lagi."Nggak, kok. Aku bahagia, memang aku dan David nggak berjodoh. Untuk apa memaksakan. Memang dia ada untuk kalian, bukan aku. Aku senang bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian." Senyum tulus Ayu membuat dirinya semakin bers

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Empat

    David sengaja menunggu Ayu pulang dari kantor. Ia duduk di lobi kantor Laras. Sudah beberapa hari ia tidak bisa menghubungi Ayu."Yu, kita perlu bicara," ujar David saat melihat Ayu ke luar."Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi." Ayu terlihat sangat sengit menatap David.David terus saja memohon untuk bicara. Laras yang sedang bersamanya, memberi kode untuk berbicara saja dengan pria itu. Lebih baik untuk menyelesaikan masalah mereka."Baik, kita bicara.""Ya."Mereka memilih berbicara di sebuah tempat makan tidak jauh dari kantor. Ayu memesan cokelat hangat, sedangkan David memilih hanya memesan teh hangat saja."Yu, dengarkan aku. Saat ini, hati aku hanya untuk kamu dan nggak akan pernah mendua. Viola hanya masa lalu aku," ujar David."Tapi ada anak itu diantara kalian." Ayu menarik napas panjang.Ia juga perempuan, memiliki anak dan pasti hatinya sakit melihat David t

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Tiga

    "Aku pamit, Yu," ucap Damar saat menemui Ayu di kantor Laras.Pria itu sengaja berpamitan, untuk memberitahu jika dia akan ke Surabaya dan menetap lama di sana."Bagaimana dengan anak-anak jika bertanya tentang kamu?" tanya Ayu."Katakan saja seperti biasa. Aku sedang bekerja dan mencari uang untuk mereka. Aku janji, sebulan sekali atau ada kesempatan ke Jakarta, aku akan bertemu dengan kalian, maksud aku anak-anak." Sedikit lega karena Damar merasa lebih baik ia menjauh dari Ayu.Seperti ada yang hilang, tetapi Ayu mencoba menenangkan hatinya. Dirinya hanya merasa sedikit sedih saat Damar pergi. Bukan karena hal lainya. Hanya bingung bagaimana jika kedua anaknya bertanya tentang Papanya."Ini, uang bulanan mereka," ucap Damar.Ayu mengambilnya, ia memperhatikan wajah Damar yang terlihat berbeda dari biasanya. Ia begitu tirus dan kurus."Aku pamit.""Cie, ada yang sedih mau di t

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Dua

    Damar menaruh kembali ponsel di nakas. Ia kembali mengerjakan beberapa pekerjaan miliknya. Ia tidak mau membahas lagi tentang Erika, baginya, perselingkuhan tidak bisa di tolerir walau dengan kata maaf.Beberapa karyawan sudah berbicara dengannya. Banyak yang bersimpati dengan pria dua anak itu. Bahkan, ia pun di panggil oleh atasannya."Pak Damar, di panggil pak bos," ujar Simon."Iya, aku ke sana."Dengan langkah gontai, Damar menuju ruang bos. Mengetuk pintu dan ia segera masuk ke dalam."Ada apa, Pak?" tanya Damar."Saya sudah melihat video istri kamu, kamu oke?" Pak Mario mempertanyakan kondisi Damar."Saya oke, ya, walau sedikit perih." Damar menjawab dengan tawa."Saya mau memastikan kamu baik-baik saja.""Saya masih bisa bekerja dengan baik kok, Pak. Tenang saja," jawab Damar."Baik, begini, Pak Damar, kami ada cabang perusahaan di kota Surabaya, di sana

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Satu

    "Mas bagaimana ini?" Erika panik bukan main.Begitu juga ibunya Erika, wanita tua itu tidak mengerti bisa berada dalam situasi seperti itu. Bu Hindun panas dingin, seketika dadanya terasa sesak kian mendalam."Rik, duh dada ibu sesak ini," keluhnya."Aduh ibu, kenapa?"Geduran keras dari luar memaksa Yudi dan Erika akhirnya ke luar dari mobil. Maria dengan puas tersenyum sinis.Ia menarik Erika dan mendorong tubuh itu hingga terjatuh di tanah. Tidak terima, Erika bangkit dan ingin mendorong Maria, tetapi oleh teman Maria di tarik kembali."Jadi ini, wanita pelakor itu? Dih, nggak tahu malu merebut suami orang." Salah satu teman Maria berteriak kencang hingga mengundang banyak orang memperhatikannya."Heh, suami situ yang emang nggak suka lagi sama kamu. Sadar diri dong, dia milih aku karena aku lebih dari kamu," ujar Erika membela diri."Dih, nggak punya malu, sudah merebut, malah membangga

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh

    "Oma, Maaf, aku belum bisa mengatakan ia atau tidaknya. Ini bukan pernikahan pertamaku dan aku sudah gagal dalam pernikahan pertamaku. Aku mohon, beri aku waktu utuk berpikir." Ayu berharap sang oma mau menerima alasannya."Baik, Yu. Kalau itu keputusan kamu, Oma dan David menunggu kabar baik dari kamu," ujar Oma Meria.Davit terlihat kecewa, tetapi ia harus menerima apa yang diputuskan oleh Ayu. Mungkin tidak lama lagi ia akan memberikan kabar baik untuknya.Beberapa menit mengobrol, akhirnya David dan Oma Meria pamit pulang. Sudah terlalu malam hingga mereka lupa waktu.Ayu bisa berbapas lega, ibunya pun ikut lega dengan keputusan sang anak. Baginya, pernikahan itu tidak bisa terburu-buru. Apalagi Ayu pernah gagal."Ibu setuju sama kamu, pokoknya pikirkan yang terbaik, ya, Sayang.""Iya, Bu. Aku juga takut gagal lagi," ucap Ayu.Ayu melihat keadaan kedua anaknya, mereka sudah tertidur nyenyak.

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Empat puluh sembilan

    Kondisi Bagas sudah membaik, kemarin sudah pulang dan di jemput oleh Damar. Pria itu dengan telaten mengajak sang anak main dalam beberapa jam sebelum pulang.Berulang kali Bagas membujuk ayahnya untuk tetap tinggal. Namun, itu tidak mungkin karena Ayu dan dirinya sudah berpisah. Tidak mungkin bisa untuk bersama."Kalau kamu mau, nanti nginep di rumah papa, bagaimana?" Damar mencoba membujuk Bagas.Anak laki-laki itu mengerucutkan bibir. Ia sama sekali tidak mau melepaskan pelukan sang ayah. Rasa rindunya kian membuncah, saat ia terbangun melihat hanya sosok ibunya yang ada."Nanti Papa main lagi, Bagas sama Mama dulu, ya," bujuk sang ibu.Beruntungnya Bagas menurut dengan apa yang dikatakan sang ibu. Walaupun dengan wajah masam, anak itu tetap mengantar sang ayah sampai ke halaman rumah."Yu, pamit," ucap Damar."Iya, Mas."Setelah Damar pulang, Ayu kembali membujuk sang anak u

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status