Share

[007] Mereka dan Mereka

"Wanita jalang! Tidak berguna! Apa gunanya hidup sebatang kara!? Pembunuh orang tuanya sendiri dengan kekuatannya hanya demi memuaskan diri!"

Mulutku melongo setelah mendengar hardikannya yang tidak ada titik-koma. Mendengar sumpah serapahnya yang sudah tentu tertuju padaku.

'Aku ... membunuh orang tuaku?' Tidak habis pikir dengan kejutan akan kenyataan-kenyataan.

Dalam sekejap, otakku bekerja memberikan bayangan akan senyum Yang Mulia yang hangat–bukan tertuju padaku, melainkan kepada putra mahkotanya. Masa lalu kelam yang tidak patut untuk terus diingat, aku beralih pada dunia yang saat ini sedang kutempati. Lalu, menundukkan pandangan dengan tangan bergerak untuk menutupi telinga.

'Aku tidak membunuhnya, tapi dia membunuhku!' Ingin rasanya aku melontarkan kalimat pembelaan itu, tapi mulutku tak bisa. Gemetar hebat akan kejadian di masa lalu tidak bisa kuhilangkan dalam sekejap.

"Dia yang jahat ...." Pada akhirnya, hanya kata tersebut yang dapat kuucapkan.

"Apa-apaan perkataan wanita ini!?" Wanita itu justru semakin menaikkan suaranya. Dia tersulut emosi, sedang aku ketakutan menghadapi kehidupan.

Bayangan tentang senyum Yang Mulia, wajah penuh puas ketika aku hendak dieksekusi mati, lalu rasa sakit ketika ... ah, sudah cukup. Aku tak ingin mengingatnya.

"Lihatlah!" Wanita bertubuh kekar masih saja mencari masalah.

Aku mendongak hanya untuk melihat ekspresi seperti apa yang sedang ia gunakan. Tapi, mataku membelalak kaget ketika semua orang yang ada di sekitarku berubah menjadi bayangan. Hanya senyum lebar dan tatapan licik mereka tertuju padaku.

'Apa ... apa yang terjadi ...?!' pikirku ketika tertegun melihat perubahan yang mengerikan.

Tiba-tiba leherku terasa terbakar, seakan bekas eksekusi masih ada di leherku. Padahal, tidak ada apa-apa setelah tanganku memeriksa leher ini. Hanya ada pasir yang menempel di rahang dan tengkuk karena sempat tiduran di atas tanah.

"Sudah menjadi beban malah menambah beban dengan mempermalukan dirinya sendiri!"

Siapa?

Siapa yang berbicara barusan?

Tak ada satupun orang yang menggerakkan bibir, mereka hanya tersenyum dengan sorot mata yang licik. Mereka mengelilingiku dan tangan mereka bergerak menunjuk ke tempat aku terduduk.

"Untuk apa menahan wanita tidak berguna ini, kepala desa!?"

Siapa yang berbicara!?

Aku mengedarkan pandangan. Tapi, sekitarku masih sama. Manusia–tidak. Lebih tepatnya, bayangan yang dapat berdiri mengelilingiku dengan latar berwarna merah.

'Apa aku di neraka?'

Namun, tuduhan-tuduhan masih tertuju padaku dengan jelas. Suara yang tidak kuketahui asalnya membuatku semakin pusing.

Aku ketakutan.

"Aku sudah berjanji pada kedua orang tuanya untuk memberinya tempat berteduh."

Suara seorang pria yang berbariton. Tidak kukenal, tapi terasa dekat. Kembali, aku mengedarkan pandangan hanya untuk melihat wujud manusia.

Namun, hasilnya tetap saja nihil.

"Kenapa ...." Aku akhirnya berucap dengan nada yang lirih. "Kenapa semua orang tidak berwujud ...."

Aku benar-benar ketakutan. Tubuhku gemetar, bahkan mataku seakan juga ikut bergetar. Air mata berlinang memburamkan penglihatan.

"Tapi dia malah menjadikan desa ini semakin terpuruk!" Itu suara wanita tadi. Tapi tetap saja, wujudnya sama dengan yang lain.

"Bukankah hama sawah harus dibasmi sebelum terjadi gagal panen!?" Berkali-kali ia menuduhku sebagai wanita yang tidak pantas untuk berada di tempat ini. Tapi, suara pria itu menahanku untuk tidak pergi.

Namun, bukan itu permasalahannya. Saat ini, aku tidak bisa melihat wujud manusia. Apa yang sedang terjadi? Bagaimana raut wajah yang mereka gunakan saat ini saja tidak kuketahui. Mereka terasa sangat asing dengan perwujudan bayangan yang sudah jelas berwarna hitam, dengan sorot mata tajam mereka berwarna merah, dan senyum lebar menampilkan warna merah pada dalam mulut. Itu benar-benar terasa asing, sampai aku mengatakan bahwa ... 'Apa aku sudah mulai menggila?!'

Lalu kembali berpikir, 'Apa aku di neraka?'

Jadi, dunia apa yang telah kutempati tadi?

"Tapi, kita semua telah gagal panen." Kali ini suara pria yang dapat kutebak ialah pemabuk. Suaranya paling khas diantara pria lainnya–kecuali pengembara–itu karena tenggorokannya selalu disuguhi minuman keras.

"Akan lebih baik jika dia diusir dari tempat ini sebelum aku membunuhnya dengan pisau dapurku," ucap wanita yang mungkin saja merupakan wanita kekar tadi.

Tak lama setelah ucapan wanita itu keluar, keheningan menyambut tempat ini. Kegelapan–atau apalah namanya, seakan ikut menyimak apa yang dikatakan oleh wanita kekar tersebut. Lalu–

"Hihihi ...."

Aku terkejut mendengar suara kekehan di suatu tempat. Lantas, dengan cepat pandanganku beralih untuk melihat wujudnya. Ah, tetap saja. Berbentuk bayangan dan mata merah dengan mulut tersenyum lebar.

"Hihihi ...."

Semakin banyak kekehan mereka semakin membuat kepalaku pusing. Tanganku bergerak untuk menutup telingaku lagi, semakin kuat aku menutup telingaku semakin kuat pula kekehan mereka. Seakan-akan ini disengaja.

Hingga, pada akhirnya aku merintih memohon ampunan pada mereka yang tidak kukenal.

'Tolong! Ampuni aku! Jika aku memiliki kesalahan pada kalian, tolong! Aku minta maaf!' pintaku meskipun melalui batin.

Sebut saja aku lemah.

Kekehan kian menjadi. Suara wanita kekar yang berdebat dengan para bandit semakin samar.

'Aku mohon!'

"Dia tidak ada gunanya di tempat ini, lalu kenapa kau tetap melindunginya!" Masih mendebatkan hal yang sama, tapi kian samar.

"Malapetaka hanya akan datang ke desa kita–"

Lalu menghilang.

Kini berganti dengan kekehan yang telah ditingkatkan ke tawa mereka. Ya, mereka tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang membuat lucu.

Pikiranku semakin kacau, kepalaku seperti berputar, air mata yang tak kuinginkan terus mengalir, lalu aku menggertakkan gigi untuk menahan sakit di sekujur tubuh. Apakah ini kutukan yang 'mereka' berikan kepadaku!?

"Kekekeke!"

Aku mohon.

Hentikan–

"HENTIKAN!"

Tanpa sadar aku meneriaki permintaan yang ada di dalam benakku. Tapi hebatnya, suara kekehan mereka menghilang seperti ditelan bumi. Hening yang terasa aneh. Rasa bersyukur muncul di dalam hatiku, aku merasa lega meskipun hanya sementara.

Terlepas dari siksaan mental yang mereka berikan kepadaku, kini suasana terasa sangat hening. Seakan tidak ada kehidupan di sekitarku. Apa kali ini aku berada di alam bawah sadar? Siapa yang tahu.

Setelah pikiranku mulai berpikir jernih, perlahan kuangkat kelopak mata yang sedari tadi kututup untuk menghindari bayangan-bayangan pembawa aura negatif tadi.

"Wanita ini sudah gila!?"

Lalu, umpatan indah tertuju padaku. Wanita kekar itu dengan nada suaranya yang terkejut memenuhi pendengaranku.

"A–aku masih di sini?" Tapi tanpa kusadari dan dengan bodohnya, pertanyaan yang ada di dalam benakku terlontar begitu saja.

Tentu saja, semua orang yang mendengar ucapanku akan menganggap bahwa Ophelia–juga nama pemilik tubuh ini–merupakan wanita aneh dengan kekuatannya yang juga begitu aneh.

Kudengar wanita kekar itu berdecih, tapi kuabaikan sikap tidak sopannya. Aku masih terperangah pada tempat ini dan pikiranku masih dipenuhi dengan pertanyaan akan makhluk-makhluk berwujud bayangan mengelilingiku barusan. Tanganku bergerak menuju kepala, lalu mengusap dengan begitu lembut. Aku kebingungan meskipun hawa dingin setiap kali membayangkannya membuatku merinding.

Apa ... ini ada hubungannya dengan kekuatan purnama merah?

"Dia pembunuh!" Bentakan dari suara wanita kekar itu masih saja menggelegar. Mengumpat diriku yang bernasib malang. "Sudah sepantasnya dia mati di atas panggung eksekusi!"

Deg.

Jantungku seakan berhenti berdetak setiap kali mendengar kata 'eksekusi' yang selalu tertuju padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status