"Dokter Indira?" Clara benar-benar gugup, entah mengapa kali ini pertemuan mereka terasa sedikit lain.
Indira tersenyum, melangkah mendekati Clara yang sontak membeku di tempatnya berdiri. Apakah sekarang saatnya dokter senior sekaligus anak pemilik rumah sakit itu hendak melabraknya? Tapi bukankah dia yang sepakat hendak bercerai dari Arga sekarang?Clara merasakan jantungnya berdegub dua kali lebih cepat, apa yang hendak Indira lakukan, dia tidak tahu.Indira sudah berdiri tepat di depannya dengan jarak yang lumayan dekat. Tangan itu terulur ke depan, membuat Clara tertegun beberapa detik sebelum kemudian membalas jabat tangan pediatrik itu."Izinkan saya mengucapkan selamat untuk pernikahan kalian lebih cepat, Ra. Maaf saya mungkin tidak bisa hadir karena ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan."Hati Clara seperti disiram air es. Plong, lega dan sejuk sekali rasanya. Dia pikir Indira akan mengamuk, melabraknya dan mungkin jClara menatap bayangan dirinya di cermin. Gaun itu membungkusnya dengan begitu indah. Veil itu menjuntai panjang menutupi tiara cantik yang dia pilih untuk dia kenakan di hari spesialnya ini. Hari ini ... Akhirnya setelah sekian lama menanti, Clara akan menjalani prosesi sakral ini juga! Dia akan menikah, sebuah impian sederhana semua gadis di seluruh dunia. "Bapak, Ibu ... Kalian lihat Clara hari ini dari sana, bukan?" Mata Clara berkaca-kaca, seandainya mereka berdua masih ada bersama Clara, pasti hari ini mereka akan sangat bahagia sekali! Clara menahan air matanya agar tidak menitik, pintu ruangan itu diketuk. Sedetik kemudian pintu terbuka, nampak Om Jefri dan Tante Indah muncul. Mata mereka berkaca-kaca, membuat dada Clara sesak seketika. "Sudah siap, Ra?" Tanya tante Indah sambil mendekati dan mengelus lembut pipi Clara yang memerah efek blush-on. "Tentu siap, Tan." Clara tersenyum. "Seandainya ibu sama ba--.""Ssttt!
"Sudah? Sekarang tolong jelaskan pertolongan apa yang mau kau beri padaku!" Callista membiarkan ponselnya jatuh dari tangan. Tergeletak di jok mobil antara dia dan Rudi. Rudi menghela napas panjang. Bisa dia lihat Callista tidak berbohong. Dan percakapan tadi ... Sebuah bukti otentik bahwa Callista memang dijadikan alat kedua orang tuanya. Orang tua yang tidak punya otak dan hati menurut Rudi. "Kau berani kabur? Sembunyi dari kedua orang tua atau bahkan keluarga besarmu agar kau terbebas dari tuntutan menyelamatkan keuangan keluargamu yang defisit karena hobi Jodi papamu?"Callista nampak terkejut, ia menatap Rudi dengan wajah serius dan mata membulat. Rudi tersenyum simpatik, ia meraih ponsel Callista, memberi kode gadis itu agar membuka kunci layar. Callista melakukan apa yang Rudi minta, menyentuh layar ponselnya dan membuka akses benda itu. Rudi segera meraih kembali ponsel dari tangan Callista, entah apa yang dia lakukan, Callista tidak ta
Rudi melangkah turun, dia tahu, dia sedang bermain judi saat ini. Bisa saja Callista menipu dia. Tapi entah mengapa, hati kecil Rudi mengatakan bahwa gadis itu tidak berbohong dengan apa-apa saja informasi yang sudah dia berikan pada Rudi. Tentang bagaimana orang tua gadis itu mendesak dia agar bisa membantu menyelamatkan aset dan harga diri mereka. Bahkan sampai berencana hendak membunuh seseorang? Agaknya mereka benar-benar sudah tidak waras! Rudi kembali menoleh sebelum masuk ke dalam. Mobilnya masih anteng di sana. Mungkin Callista sedang menganti baju seperti apa yang tadi dia perintahkan. Ganti baju ... Ah! Pikiran Rudi malah teringat pada pelukan spontan yang tadi Callista lakukan! Jantungnya kembali berdebar tidak menentu. Ada apa dengan dirinya? Terlebih wajah Callista terus terbayang dengan senyum manisnya. Jangan bilang kalau ... "Ah, nggak mungkin!" Rudi menepis semua itu! Ia kembali melangkah masuk, hendak menemui GM hotel tempat
Acara break sampai malam nanti, nampak Clara dengan gaun besarnya melangkah diiringi bridesmaid dan tante Indah menuju kamar.Rudi segera melangkah maju, menghadang lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah Morgan, bosnya sendiri. Bisa Rudi lihat bahwa lelaki itu tampak begitu sumringah bahagia. Segera menjabat tangan yang dia ulurkan ke depannya. "Selamat Bos, saya turut bahagia dengan pernikahan kalian hari ini." Ucap Rudi tulus. Morgan tertawa, memeluk dan menepuk punggung Rudi dengan sedikit keras. Ia lantas melepaskan pelukan itu, menatap mata Rudi dengan begitu serius namun sangat lembut. "Thanks untuk semua bantuan lu, Rud. Gue nggak bakalan bisa sampai ke tahap ini tanpa bantuan elu." Desis Morgan tulus. Rudi menghela napas panjang, dadanya sesak dan matanya berkaca-kaca. "Sudah kewajiban saya, terlebih Bos sudah banyak membantu saya, terlebih dulu ... Ibu saya bisa selamat karena kemurahan hati Bos."Kembal
Rebecca Wijoyo. Perempuan itu benar-benar gusar. Pernikahan itu sudah terlaksana. Rencananya gagal total dan parahnya, nomor anak perempuan yang jadi harapan satu-satunya Rebecca untuk selamat dari ancaman kebangkrutan mendadak tidak aktif sejak terakhir dia hubungi beberapa jam yang lalu! Callista tentu hari harapan satu-satunya Rebecca. Kalau tidak? Bukan hanya kekayaan yang dia miliki yang akan lenyap dari hidupnya, tetapi juga nama baik yang meninggikan status sosialnya selama ini. "Berengsek! Kemana anak itu?" Morgan sudah sah menikahi perempuan itu sekarang! Dan itu artinya, anaknya sudah tidak punya kesempatan lagi! Apa sih bagusnya perempuan itu dibanding anak gadisnya? Keluarga mereka jelas statusnya kecuali apa pekerjaan suaminya yang menyeret keluarga ini pada ambang kehancuran karena berkali-kali kalau di meja judi. Sekarang, satu-satunya harapan Rebecca tetap berdiri dengan nama baiknya sudah pupus! Callista sama sekali tidak bisa
Acara sudah selesai, semua lancar tanpa gangguan apapun membuat Rudi lega luar biasa dan segera bersiap pulang. Tetapi ia perlu sejenak berpamitan pada tuan dan nyonya besar dan jangan lupa pasangan pengantin baru yang nampak terlihat sangat bahagia hari ini. "Kamu nggak nginep di sini saja, Rud? Biar dibukakan kamar nanti!" Tjandra nampak terkejut ketika Rudi berpamitan. "Iya, ikut tidur di sini saja, besok masih ada acara makan besar, Rud!" Nampak nyonya Feni yang biasanya angker, hari ini berubah murah senyum dan tentu saja sangat cantik dengan gaunnya. "Terima kasih banyak, Pak, Bu. Tapi mohon maaf sekali, saya harus pulang!"Tentu Rudi harus segera pulang! Ada anak gadis orang yang dia sembunyikan di apartemennya! Dia harus pastikan dia baik-baik saja dan jangan lupa, Rudi harus pastikan bahwa Callista tidak lagi memiliki niat jahat apapun! "Ah begitu? Baiklah, tapi besok pagi datang dan bergabung, oke?" Tjandra menepuk bahu Rudi
Arga duduk di meja bar dengan sebotol minuman yang sudah hampir tandas isinya. Tidak perlu dijelaskan lagi apa yang membuatnya lari ke sini. Ia sudah malas membahas dan benar-benar sedang butuh minuman untuk menghibur diri. Ia abaikan segala macam pesan dan telepon dari papanya. Ia sudah lelah dan ingin menenangkan diri dari semua kesialan yang hinggap kepadanya. Sebenarnya dia dosa apa? Kenapa kesialan demi kesialan selalu menghampiri dia? Apakah dia tidak pantas bahagia? Arga menuang isi botol terakhir dalam gelas, agaknya setelah ini dia harus buka kamar di hotel ini. Ia sudah tidak mampu lagi berdiri dengan dua kakinya sekarang! Indira ... Entah mengapa ia makin benci mendengar nama itu! Jadi dia biang keladi kenapa kemudian Morgan bisa tiba-tiba membawa mobil beserta surat perjanjian malam itu? Dia yang membuat Clara lepas dari Arga dan oleh karena itu Arga sudah bersumpah bahwa hidup Indira tidak akan pernah bahagia! Ingin sebena
Uap panas itu mengepul menguarkan aroma mie rebus yang luar biasa menggoda. Membuat liur Callista seperti hendak menetes. Sungguh aroma ini begitu harum dan lezat, mendorong Callista langsung menyendok kuah berminyak itu dengan sendok.“Enak?” suara itu terdengar datar, membuat Callista buru-buru menelan kuah mie guna mengosongkan mulutnya.“Enak banget! Kok bisa sih?” wajah Callista nampak sumringah, ia mengangkat wajah, menatap Rudi yang duduk ada di depannya.Tanpa Callista duga, senyum manis itu tersungging di wajah Rudi, menampilkan raut wajah teduh yang begitu tampan.“Bisa dong, kamu juga bisa kalau mau belajar.” Rudi mulai menyantap mie miliknya dengan sumpit, uap panas terlihat membumbung dari mangkok, uap yang menutupi sebagian wajah Rudi secara samar-samar.Callista tersenyum, benarkah? Seumur hidup Callista tidak pernah memegang langsung bumbu dapur dan Rudi bilang dia akan bisa memasak seenak ini? Ca