Uap panas itu mengepul menguarkan aroma mie rebus yang luar biasa menggoda. Membuat liur Callista seperti hendak menetes. Sungguh aroma ini begitu harum dan lezat, mendorong Callista langsung menyendok kuah berminyak itu dengan sendok.
“Enak?” suara itu terdengar datar, membuat Callista buru-buru menelan kuah mie guna mengosongkan mulutnya.
“Enak banget! Kok bisa sih?” wajah Callista nampak sumringah, ia mengangkat wajah, menatap Rudi yang duduk ada di depannya.
Tanpa Callista duga, senyum manis itu tersungging di wajah Rudi, menampilkan raut wajah teduh yang begitu tampan.
“Bisa dong, kamu juga bisa kalau mau belajar.” Rudi mulai menyantap mie miliknya dengan sumpit, uap panas terlihat membumbung dari mangkok, uap yang menutupi sebagian wajah Rudi secara samar-samar.
Callista tersenyum, benarkah? Seumur hidup Callista tidak pernah memegang langsung bumbu dapur dan Rudi bilang dia akan bisa memasak seenak ini? Ca
“Ini seriusan nggak bisa libur lagi agak lama gitu?”Morgan nampak cemberut ketika pagi-pagi sekali istrinya sudah begitu rapi dengan setelan scrub andalannya. Baru kemarin nikah dan sekarang harus sudah masuk? Sebegitu mengenaskan kehidupan para dokter dan nakes? Terlebih mereka yang masih pendidikan macam istrinya ini?“Kan sejak awal sudah aku jelaskan, Sayang. Selama pendidikan belum bisa ambil libur lama.” Clara hanya tersenyum, ia paham kalau Morgan protes, tapi mau bagaimana lagi?Terdengar helaan napas panjang yang membuat senyum getir itu tersungging di wajah Clara. Kalau bisa sih Clara juga ingin libur lebih lama. Tapi itu sangat tidak mungkin dia lakukan kecuali bapaknya direktur utama rumah sakit atau dekan fakutlas kedokteran tempat dia pendidikan.“Tapi lain kali bisa, kan, kita liburan berdua?”Sebuah pertanyaan yang membuat Clara sontak menoleh dan menatap Morgan yang juga tengah bersiap-siap deng
“Pak Bos marah-marah, ya, Mbak?” Rudi membawa mobil menyusuri jalanan yang cukup padat, ia melirik Clara yang duduk di jok belakang.Clara tersenyum, “Nggak ah, santai aja. Dia Cuma heran, tumben kamu ini telat datang. Biasanya selalu on time.” Jelas Clara yang sontak membuat Rudi tersenyum getir.Obrolan dan momen sarapan pagi bersama Callista tadi entah mengapa membuat langkah Rudi begitu berat dan enggan meninggalkan meja makan dan terus duduk mengobrol bersama gadis itu. Ada apa? Kenapa sekarang perasaannya makin aneh dan tidak menentu?“Eh ... senyam-senyum? Roman-romannya lagi jatuh cinta nih?” suara Clara mengejutkan Rudi, membuat Rudi melonjak dan langsung melirik kaca mobil.“Ah ... Mbak Clara ini ada-ada aja! Nggak, Mbak! Jatuh cinta apa sih?” Morgan menyangkal, berusaha tetap tenang sambil mencoba menetralkan degup jantungnya yang mendadak tidak beraturan.“Jangan bohong, wajah kamu i
Morgan melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung kantornya. Bisa dia lihat beberapa pegawai di front office sontak berdiri dna nampak menatapnya dengan tatapan terkejut. Namun Morgan tidak peduli, ia terus melangkah masuk setelah membalas anggukan dan sapaan yang ditujukan kepadanya.“Loh, Pak Morgan masuk hari ini?”Morgan menghentikan langkah, menoleh dan mendapati Salma, PR kantornya nampak tergopoh-gopoh melangkah mendekati Morgan.“Iya lah! Apa ada larangan yang melarang saya masuk ke kantor?” balas Morgan sambil tersenyum kecut.Nampak Salma nyengir, “Bukan begitu, Pak. Kan baru aja kemarin nikah, masa sudah masuk kerja sih?”Morgan menghela napas panjang, “Istri saya cuma dapat izin libur dua hari, jadi ya mau bagaimana lagi?” jawab Morgan apa adanya.Clara dapat izin libur 2 hari, dia ambil H-1 untuk segala macam fitting terakhir, gladi bersih dan lain-lain. Dan satu harinya lagi? Tentu u
Rudi sudah tiba di depan pintu kokoh dan besar berwarna cokelat gelap, warna yang Morgan pilih sendiri untuk pintu ruangan pribadinya. Jantung Rudi berdegub 2 kali lebih cepat. Ia menghirup udara banyak-banyak, berusaha menenangkan diri dan menghilangkan semua gugup yang menderanya saat ini. Bukan hanya gugup, tetapi juga perasaan takut dan sebuah perasaan yang Rudi sendiri tidak bisa menjelaskan dengan detail.Rudi mengangkat tangan, mengentuk pintu beberapa kali, lantas menekan knop dan membukanya perlahan-lahan. Bisa Rudi lihat, lelaki yang wajahnya masih nampak berbinar cerah itu tengah duduk di mejanya, dengan laptop terbuka dan beberapa dokumen berserakan di meja.“Bos panggil saya?”Sebenarnya Rudi tidak perlu bertanya, bukankan pesan tadi sudah begitu jelas menyuruh dia datang ke ruangan Morgan begitu selesai mengantarkan nyonya Morgan ke rumah sakit?“Sini duduk, Rud. Gue mau nanya beberapa hal sama elu!”Rudi menel
“Ga!”Arga yang tengah melangkah hendak kembali ke ruangannya, sontak menoleh, mendapati Tomi, sejawat anestesi nampak berlari-lari kecil ke arahnya. Alis Arga berkerut, tumben Tomi sampai lari-lari mengejar dirinya? Ada apakah?Arga membalikkan badan, menanti sejawatnya itu sampai ke dekatnya. Napas Tomi nampak tersengal-sengal, maklum untuk pria gempal macam Tomi, lari macam tadi cukup membuatnya ngos-ngosan.“Kenapa? Macam dikejar setan?” tanya Arga sambil menepuk pungguh Tomi yang masih mencoba menetralkan napas.Tomi mengangkat wajah, menatap Arga dengan begitu serius. Hal yang lantas membuat alis Arga berkerut menatap sejawatnya itu. Kenapa sih? Tomi ini kenapa?“Apakah yang menyebabkan kamu menalak istrimu dan mengajukan gugatan cerai adalah karena penyelewengan yang dia lakukan?” tanya Tomi to the point yang sontak membuat Arga terkejut.Bagaimana tidak terkejut kalau Tomi sampai menanyakan hal ter
Callista menyambar masker yang sudah dia siapkan. Suara bel itu berdenting dan Rudi berkali-kali memperingatkan agar ketika pengantar makanan tadid tiba mengantarkan makanan, tidak ada yang boleh melihat wajah Callista. Jadi kacamata dan masker ini tentu akan sangat membantu Callista untuk menyembunyikan wajah.Sebelum membuka pintu, Callista mengintip di pintu guna memastikan orang tersebut memang orang suruhan Rudi, bukan orang yang dia kenal atau mamanya! Jangan! Callista tidak mau kembali ke mamanya, apapun itu ia merasa begitu nyaman, damai dan terlindungi di sini, meskipun harus terisolasi di dalam apartemen milik Rudi.Callista membuka pintu, nampak lelaki dengan jersey bola itu tersenyum ke arahnya.“Dengan Mbak Tata, ya? Ini saya disuruh Pak Rudi antar makan siang!”Tata adalah nama samaran yang sudah mereka sepakati bersama. Callista meraih beberapa kantong plastik dari tangan lelaki itu, mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Ia
Rudi meletakkan ponsel di meja. Seketika kepalanya jadi begitu pusing. Calon? Kapan memangnya Rudi punya waktu luang untuk leha-leha, mejeng sana-sini mencari calon istri? Sebenarnya Morgan juga tidak terlalu menekan Rudi, toh Rudi juga punya anak buah sendiri. Pekerjaanya menyediakan waktu juga kalau Rudi berniat hendak santai dan memburu jodoh, tetapi Rudi yang tidak mau. Ah ... bukan tidak mau, tetapi belum mau.Sekarang ... ibunya tidak hanya meminta dia pulang untuk acara sang adik, tetapi juga pulang sambil membawakan calon mantu! Di mana Rudi bisa nemu calon mantu untuk dia bawa pulang menemui ibunya nanti?Rudi tengah berpikir keras ketika pintu ruangannya terbuka, nampak Morgan muncul dan melangkah masuk menghampiri mejanya.“Rud? Lu kenapa?” Morgan segera duduk di kursi, menatap wajah tangan kanannya yang tengah ditekuk itu.Rudi tersenyum getir, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Nampak ia menghela napas sambil menengadahkan kep
Callista melangkah dengan penuh ragu mendekati telepon. Ia dalam kebimbangan, perlukah dia angkat? Atau diamkan saja? Tapi bagaimana kalau Rudi yang menelepon dan hendak memberinya kabar? Callista menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan guna meraih gagang itu. Ia segera mendekatkan benda itu ke telinga. Dengan begitu lirih dan takut-takut ia mulai bersuara.“Ha-halo?”“Astaga, Ta! Kemana aja sih? Aku sempet ngira kamu kenapa-kenapa karena lama angkat telepon!”Fiuh!Lega sekali hati Callista ketika suara Rudi yang menyapanya. Ketakutan Callista sontak lenyap tidak bersisa. Senyum Callista merekah, kenapa tiap dia mendengar suara Rudi, rasanya begitu gembira? Padahal suara itu begitu kaku, dingin dan begitu datar.“Maaf. Jujur aku lagi parno banget, Mas. Rasanya kayak dihantui.” Desis Callista jujur.“Mana ada hantu siang-siang, Ta? Apa sih yang kamu takutkan?” tanya suara itu yang entah m