Share

Bab 5

Riska berlari keluar dari rumahnya saat Mila berteriak padanya untuk segera lari menyelamatkan diri. Dan secara tak sengaja, ia bertemu dengan Pak RT. Sejumlah warga yang tadi sempat bertemu dengan Kasto dan Mila ternyata berinisiatif untuk melaporkan kejadian itu pada perangkat kampung. Untuk sementara Riska aman berada di rumah pak RT. Warga kampung telah membuat kesepakatan untuk tidak menerima Kasto kembali ditinggal diantara mereka. Bagaimanapun juga Mila dan Riska sudah tak memiliki siapapun untuk melindungi mereka, sehingga warga kampung berkeputusan bahwa keamanan mereka berdua adalah tanggungjawab bersama. 

***

Tommy berhasil merangkul Rafin yang masih membabi buta memukuli Kasto. 

"Berhenti Fin, ia sudah tak bergerak. Berabe urusannya kalau ia sampai mati." Setelah diperiksa, ternyata pria itu hanya pingsan. Setidaknya kasus tak akan berbuntut panjang. Roy, yang ternyata adalah pemilik diskotik ini, ikut merasa lega saat tahu Rafin sudah dapat mengendalikan diri. Ia segera mengambil tindakan dengan mengumpulkan para security dan mengadakan pembicaraan tertutup. Mengevaluasi, bagaimana bisa sembarang orang bisa masuk dalam diskotiknya dan menyebabkan kekacauan. Roy termasuk seseorang yang dingin, dia tak segan-segan memecat seorang karyawan hanya karena masalah kecil. Dan mengenai hal ini, sudah dapat dipastikan ia akan segera membuka lowongan pekerjaan kembali untuk tenaga keamanan. 

***

Rafin sempat membalikkan badan saat dari ujung mata ia melihat bahwa wanita malang tadi tiba-tiba ambruk lemas. Ia Pingsan. Entah mengapa, ia sendiri bertanya dalam hati, mengapa ada semacam rasa iba pada gadis itu. 

Hendra yang mulanya berinisiatif untuk mengangkat gadis itu harus mengurungkan niatnya karena Rafin memberinya kode untuknya agar menyingkir. Rafin membopong gadis itu pergi bersamanya. Sebagian besar pengunjung bahkan secara terang-terangan bertepuk tangan karena menilai sikap Rafin sangat gentleman. Sempat ada rasa heran di hati Hendra, namun sesaat kemudian ia mengerti, bahwa dalam hati sahabatnya itu telah terjadi gelombang pasang yang menjadikannya berstatus siaga. Seukir senyuman miring bahkan telah terlukis dengan kentara di wajahnya. Senyuman yang sama ternyata juga terpasang di wajah dua sahabat yang lain. Sungguh mereka adalah sahabat sejati yang hanya dengan melihat pun telah melakukan komunikasi. 

***

Rafin mendudukkan gadis itu di kursi depan, di samping kemudi. Bantingan di pintu mobil rupanya berhasil membuat gadis itu kembali memperoleh kesadarannya. Dan betapa terkejutnya saat ia mendapati dirinya berada dalam sebuah mobil bersama dengan pria yang tadi telah ia bawa dalam kesulitannya.  

"Duhhh..., " batinnya. Ibarat lepas dari mulut buaya dan masuk kedalam mulut harimau. Mila bahkan tak berani untuk sekedar bertanya pada lelaki di sampingnya itu. Ia hanya sedikit mencuri pandang dan mendapati aliran darah yang telah mengering di sudut bibir pria itu, dan beberapa tempat lain terlihat lebam. 

Dengan sisa tenaga yang dipunyai, ia mencoba untuk menarik sapu tangan yang selalu terselip di dalam saku celana panjangnya. Mencoba mengabaikan rasa nyeri akibat kejadian berat hari ini. 

Hampir ia usap darah itu, namun sebuah tatapan tajam dan tangkisan membuat saputangan itu luruh dan terjatuh, tepat di pangkuannya. Terkejut, ia mendapatkan perlakuan kasar dari pria tersebut. 

"Diam, jangan kau memecah konsentrasi dan membuat kita sama-sama mati konyol karena kecelakaan." Pria itu mengucapkan sebuah peringatan dengan nada penuh penekanan.  

Mila meremas sapu tangan dalam genggaman di atas pangkuannya. Mencoba untuk tetap berpikir jernih dan positif. Ia yakin, pria ini adalah orang baik. Hanya ia memiliki temperamen yang kasar. Terbukti bahwa ia bersedia menolongnya. Dibuang pikiran-pikiran kotor dari otaknya, meskipun sebuah pertanyaan terus saja meronta menginginkan jawaban, akan dibawa kemanakah dirinya saat ini. Dzikir nya tak pernah putus dari hati. Ia berharap semoga semuanya akan berakhir baik. 

***

"Turun, " Rafin membuka pintu di sebelah Mila dan memberinya perintah. Ia menurut, sebuah parkiran yang luas, dapat dilihat beraneka mobil mewah yang berjajar rapi. Ia yakin tempat ini bukanlah tempat sembarangan. Rafin melangkah meninggalkannya, membuat Mila mau tak mau mengekor pada pria itu. Langkah yang lebar dan besar membuat Mila harus berlari di belakang Rafin agar tak terlalu ketinggalan jauh. 

Waktu yang menunjukkan lebih dari tengah malam membuat suasana sekitar menjadi sepi. Setidaknya ia tak harus merasa tak nyaman saat berpapasan dengan orang lain karena penampilan mereka berdua yang kacau. Gerakan lambat Mila membuat Rafin menjadi geram dan akhirnya menggandeng pergelangan tangan gadis itu, hingga sampai pada sebuah pintu bertuliskan angka 184. Bahkan Rafin masih menyeretnya hingga masuk ke sebuah kamar. 

Pikiran buruk mau tak mau membuatnya menyilangkan kedua tangannya ke dada. Mungkin benar kata Shella tempo hari, jaman sekarang itu sangat banyak orang yang mau berbuat tidak senonoh, bahkan dengan seseorang yang belum dikenal sekalipun. Edan! Dan saat ini ia sedang mengalaminya. 

"Yang benar saja. Jangan bersikap bodoh. Aku tak tertarik padamu. Malam ini tidurlah dikamar ini, kotak P3K ada di sana dan gantilah pakaianmu dengan baju yang ada di lemari. Urus sendiri lukamu. Aku tidur dikamar sebelah. Jangan membuat keributan. Aku butuh ketenangan." Rafin berkata dengan sedikit penekanan. Membuat Mila tak berani menatap wajahnya. 

"Baik," jawab Mila sambil mengangguk. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh kamar, hampir semua berwarna ungu muda dan pink. Di salah satu sudutnya, terdapat meja rias terbuat dari kayu ukir. Semua terlihat manis. Mungkinkah ini kamarnya? Mengapa tampak seperti kamar perempuan? Mendadak ia merasakan gerah pada tubuhnya. Jelas saja, keringat dan debu menempel tebal. Sedangkan tadi sore ia belum sempat mandi setelah pulang dari bekerja.  

Ia membuka resleting di belakang bajunya, saat tiba-tiba Rafin membuka pintu kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu. Seketika Mila membalikkan badan dan merasa malu, sementara Rafin urung untuk masuk kedalam kamar. 

"Setelah semua selesai, kita makan."

 Ucap Rafin sambil berlalu. 

Mila memukul kepalanya sendiri, menara konyol dengan kebodohannya, bukankah kamar mandi ada di dalam kamar? Kenapa ia tidak membuka pakaiannya di sana? 

Satu jam kemudian, ia telah selesai dengan dirinya. Ia hanya ingin berbaring, sekedar meluruskan tubuhnya, namun pikirannya teringat oleh pria tadi, ia berniat untuk sekedar ngobrol ringan dan berbasa-basi.  

TOK TOK TOK! 

Namun lama tak ada jawaban, entah keberanian dari mana ia nekat membuka pintu. 

"Hey! Kau mau membalasku ya?" suara Rafin mengeras. 

"Maaf, tapi aku sudah berkali-kali mengetuk pintu," ujar Mila takut-takut sambil melangkah maju, karena dilihatnya pria itu agak kesulitan ketika sedang merawat lukanya. 

Mila mengambil kapas dari genggaman Rafin. 

"Mau apa lagi," tanya Rafin dengan nada sinis dan merebut kapas itu kembali. 

"Biar kubantu kau merawat lukamu." Mila mengambil gumpalan kapas yang lain dan mulai membersihkan luka di beberapa bagian wajah Rafin. Awalnya pria itu menolak, namun rasanya tak ada salahnya menerima bantuan dari gadis itu. 

Dari jarak yang sedekat ini, Rafin mampu melihat wajah gadis itu dengan leluasa. Wajah yang lebih segar dari yang ia lihat beberapa waktu yang lalu. Rupa ayu dengan kulit mulus tanpa make up. Benar-benar asli dan natural. 

 Dengan bentuknya yang proporsional. Sungguh sebuah maha karya Tuhan yang sempurna. 

Namun hatinya mendadak merasa ngilu saat dilihatnya beberapa cacat di wajah itu, lebam, goresan, dan bekas luka lama yang telah mengering. Ingatannya langsung tertuju pada lelaki yang sedari tadi berbuat kasar padanya. 

"Siapa lelaki brengsek tadi ...," tanya Rafin memecah kesunyian. 

Mila sempat membuang nafas berat saat hendak menjawab pertanyaan dari pria dihadapannya. 

"Ia Pamanku," ucap Mila yang langsung berdiri bermaksud mengakhiri pembicaraan mereka. 

"Sudah selesai, terima kasih telah menolongku Tuan ..., " ucapan Mila mengambang karena memang mereka belum saling mengetahui nama masing-masing. 

"Rafin." Jawab pria itu singkat. 

"Baiklah,namaku Mila Prameswari terimakasih banyak Tuan Rafin karena bersedia menolongku, dan maaf karena membuatmu harus terlibat dengan permasalahan ku yang rumit." Mila akhirnya keluar dari kamar pria itu. Menyisakan ribuan pertanyaan di benak Rafin tentang gadis yang mengaku bernama Mila Hapsari. 

"Aaarrgghh!" 

Pusing kepalanya terasa bertambah, belum selesai urusannya dengan orang tuanya, ditambah penolakan dari Anggita disusul dengan syarat konyol dari Papa. Di usia yang terbilang muda, Rafin telah mampu memiliki segalanya. Ia nyaris tak pernah mendapatkan kesulitan apapun dalam hidupnya. Semua akan bisa dicapai asalkan ada uang, pikirnya. Namun anggapan itu terbantahkan saat kekasihnya Anggita, yang seorang model papan atas ternyata telah menolak lamarannya, dengan alasan lebih memilih karirnya. Ia telah terikat kontrak dengan agensinya, poin dalam kontrak kerja mengatakan, setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun ini ia tidak boleh menikah, apalagi hamil. Sebenarnya Rafin bersedia membayar ganti rugi kontrak itu dengan berkali lipat, namun Anggi menolak. Karena baginya, dunia modeling adalah nafasnya. Itu sudah cukup membuat Rafin tersadar, bahwa selama ini hanya dirinyalah yang mencinta, hanya dirinya yang memuja pasangannya, hanya dirinya yang menjadikan kekasihnya sebagai nafas hidupnya. Dan kini ia merasa terluka, kecewa, dan terbuang. Karena selama ini Anggi telah berhasil membuatnya hanya melihat pada gadis itu. Tak ada gadis lain di dunia ini selain Anggi, menuruti semua keinginan gadis itu, memberi limpahan perhatian dan materi yang berlebih. Tapi kenyataannya ... , ia kini merasa tidak berharga setelah sekian banyak hal ia lakukan untuk gadis itu. Satu-satunya permintaan Rafin tak dikabulkan oleh Anggi, ribuan bahkan jutaan permintaan berhasil ia penuhi untuk gadis itu. 

Inilah salah satu alasan, mengapa Rafin akhir-akhir ini sering mengunjungi diskotik milik sahabatnya itu. Ia ingin meluapkan semua bebannya dengan sedikit mabuk dan bersenang-senang bersama gadis seksi di sana. Ia tahu bahwa itu salah, namun ia hanya ingin menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Ia lelah. Biarkanlah ia saat ini menjadi sosok yang berbeda. Bukan Rafin yang bodoh dan lemah seperti budak cinta yang selama ini dikenal orang-orang. 

Sebenarnya Rafin masih memiliki seorang sahabat dan tak ikut berkumpul dengannya semalam. Ia adalah Praminto. Memang orang tuanya adalah orang Jawa, sedangkan ia sendiri lahir dan besar di kota besar ini. Dari keempat sahabatnya, hanya Praminto saja yang hampir tak pernah berkunjung di "tempat gelap" macam diskotik. Dengan sisi religius yang kental, mereka tetap dapat saling menghargai dan tidak membuat persahabatan mereka menjadi terpecah. Kelimanya bahkan sering berkumpul di cafe milik Praminto. Menikmati secangkir kopi atau coklat panas sambil mencicipi kudapan kue sebagai menu andalan, ditemani musik cafe yang mengasyikkan. 

Tiba-tiba ingatannya kembali tertuju pada Mila. Ia pun segera menghubungi Tommy, sahabat sekaligus anak buahnya. 

Sesaat kemudian panggilannya tersambung. 

"Tom, selidiki tentang gadis yang bernama Mila Prameswari, urus hutang lelaki brengsek tadi, dan usut semua hal tentang mereka. Aku mau semua info sudah kau kirim sebelum esok pagi!" Rafin memberi perintah tanpa ada jeda yang membuat Tommy bisa membalas kata-kata Rafin.  

Setelahnya ia membaringkan tubuhnya, sebenarnya ia sama sekali belum makan, namun rasa kantuk dan lelah lebih mendominasi nya. Tanpa harus berlama-lama, ia sudah berselancar di alam mimpi. 

-TBC

By. Rinto Amicha

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status