Mila Prameswari adalah seorang waitress pada sebuah cafe sekaligus toko kue. Ia setuju untuk menanggung hutang pamannya senilai lima ratus juta rupiah pada seorang pengusaha kaya bernama Rafin Adi Wijaya. Namun sang pengusaha memiliki penawaran, Mila tak perlu mengembalikan uang itu jika ia bersedia melahirkan seorang anak lelaki untuknya dalam sebuah ikatan pernikahan. Padahal Mila telah memiliki seorang kekasih. Rafin tidak mengetahui bahwa Mila adalah kekasih sahabat baiknya, begitu pula sebaliknya. Awalnya gadis itu menolak, namun Rafin memberikan tambahan imbalan berupa kesanggupan untuk mempertemmukan Mila kembali dengan papanya yang telah lama menghilang. Akankah Mila tak melibatkan perasaannya dalam hal ini? Akankah Rafin berhasil memperoleh seorang anak lelaki dari perkawinannya? Dan berhasilkah ia mempertemukan Mila dengan papanya? Ikuti terus kisahnya ya...
View MorePYARR!!!
Suara gaduh terdengar dari sebuah ruangan dalam rumah sederhana yang dihuni oleh tiga orang.
JDUG!!!
Suara-suara yang sarat dengan kekerasan itu kembali menciptakan sebuah asumsi, bahwa siapapun pasti tahu, telah terjadi keributan di sana.
Seorang gadis manis berambut panjang sepinggang, terpaku di sebuah sudut ruangan. Matanya nanar, basah oleh lelehan air mata yang deras mengalir. Sementara bibirnya ia bekap rapat dengan telapak tangan. Berusaha agar tangisnya tidak lolos terdengar oleh seorang lelaki paruh baya yang saat ini sangat dibencinya. Bahkan ia memaksa untuk menggigit bibir hingga ia merasakan sedikit rasa asin pada indra pengecapnya. Nama gadis itu adalah Riska Prawesti.
Hatinya menjerit, seolah memberikan perintah pada seseorang untuk menghentikan kekacauan ini, namun kakinya bahkan tidak sanggup untuk sekedar menopang berat tubuhnya.
Sementara itu, di sudut ruangan yang lain seorang lelaki paruh baya tengah menyiksa seorang gadis yang lebih dewasa dari gadis sebelumnya.
"Beri aku uang!" kata Kasto, lelaki paruh baya itu pada gadis di depannya sambil menjambak rambut panjangnya. Mila Prameswari namanya.
"Aku tak punya," jawab Mila, gadis yang sedang tidak beruntung itu dengan tatapan dingin dan menantang. Tak ada air mata atau ucapan minta ampun yang lolos dari bibirnya, membuat si pria yang ternyata adalah pamannya sendiri semakin geram.
"Bohong!" sebuah tamparan mendarat tepat pada pipi kanan si gadis.
"Kamu dari kemarin bekerja, masa tak punya duit sedikitpun!" kata Kasto kepada keponakannya. Sementara Mila tetap memilih untuk diam dan tak menjawab apapun pernyataan dari pria itu.
Kasto yang merasa tak memiliki peluang untuk mendapatkan keinginannya, mengambil sebuah buku bertuliskan Kamus Bahasa Inggris di meja belajar sang keponakan, lantas melemparkannya ke tubuh lelah gadis itu. Lemparan itu tentulah terasa sakit, bagaimana tidak? Kamus yang sudah pasti berhalaman hingga ratusan lembar itu mendarat tepat pada tulang keringnya. Bukannya ia tak mampu membalas, namun sebuah alasan kuat membuatnya harus bertahan pada posisi ini. Menerima semuanya.
"Kuberi waktu sampai besok, sediakan uang tiga juta untukku!" ucap Kasto.
"Besok aku belum gajian, dan seandainya gajian pun uang itu akan aku gunakan untuk biaya sekolah Riska," ucap Mila dingin, membuat Kasto kembali mengurungkan niat untuk pergi dari rumah itu.
"Apa kamu kira hidup itu tak perlu uang? Sudah lama aku menampung kalian berdua, memberi tempat tinggal, memberi makan dan menyembunyikan keberadaan kalian dari para rentenir itu. Kamu pikir tak pakai uang?" gertak Kasto.
"Apa gunanya sekolah, menghabiskan waktu dan biaya. Kalau hidup itu seadanya saja, tak perlu muluk-muluk, harusnya Riska itu kau ajak bekerja. Bukannya malah menghabiskan uang banyak hanya untuk duduk-duduk dan berteduh di sekolahan. Belum lagi uang saku tiap harinya. Aku cuma minta tiga juta, itu jumlah yang tak seberapa dibanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk kalian berdua selama ini!" tambah Kasto sembari mengayunkan kakinya keluar dari ruangan itu. Membanting pintu kayu,dan meninggalkan mereka berdua.
"Kakak ... ," Riska menghambur menuju kearah Mila, kakaknya. Ia bahkan sudah tak mampu berkata apapun ketika gadis itu merengkuhnya dalam pelukan lembut. Hanya menangis yang mampu ia lakukan. Tapi kali ini ia lepaskan rasa itu, tak mampu lagi ia menahan sesak di dadanya, yang sedari tadi ia redam. Sementara si Sulung terlihat lebih tegar, kedewasaan masih mampu membuatnya bersikap kuat.
Mila melepaskan pelukan, mengusap rambut adik kesayangannya dan menghapus lelehan air yang masih saja mengalir.
"Sudah ... , kakak tak apa-apa, lekaslah bersiap ke sekolah. Keburu siang. Sholatlah dulu, waktunya masih bisa untuk sholat. Kakak mau mandi dulu." Yang dijawab anggukan oleh gadis SMA itu.
Mila lantas berjalan masuk ke kamar mandi, ditutupnya pintu yang terbuat dari seng itu, ia menghidupkan air kran dengan keras, mencoba untuk menyamarkan tangisnya yang sudah sedari tadi ditahan. Ia merosot luruh di lantai dingin nan basah, ia biarkan air terus saja mengalir karena bak mandi yang telah terisi penuh.
Sakit ... , bukan hanya luka di tubuhnya yang terasa perih. Namun justru luka dihatinya yang kini semakin terbuka lebar, berdarah dan tersayat begitu dalam. Gadis itu terlihat begitu rapuh dan lemah.
***
Riska terpaksa menuruti permintaan kakaknya untuk berangkat ke sekolah. Dia termasuk siswa teladan di sekolahnya, selalu tertib dan nilai akademiknya memuaskan. Sekali-sekali meliburkan diri tak masalahkan? batinnya. Tapi ide itu ditolak mentah-mentah oleh Mila. Kejadian tadi pagi tak cukup menjadi alasan untuk tidak masuk sekolah.
"Ya jangan bilang tentang kejadian tadi dong kak. Bilang saja kalau aku lagi tak enak badan," kata Riska mengungkapkan idenya.
"Eh ... , belajar bohong ya?! sudah sana, pakai seragam mu, lekas sarapan lalu berangkat. Uang jajan ada di atas meja. Nanti kakak juga akan berangkat kerja." Mila memang tak terbantahkan. Meski dengan bersungut-sungut, Riska akhirnya nurut juga, setengah jam kemudian ia telah berpamitan untuk berangkat ke sekolah.
"Apa kakak yakin, mau berangkat kerja? Sesekali libur dan beristirahat kan boleh kak. Atau mau ku mintakan izin ke kak Pram?" tanya Riska menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Tak lupa, senyuman jahil juga menghiasi wajah ayunya.
"Haisshh ... , sudah sana, berangkat," ucap Mila sambil mendorong adiknya keluar pintu. Si bungsu hanya tertawa menang, memang ia kerap kali menggoda kakaknya itu. Respon Mila yang selalu berpipi merah membuat Riska selalu mengulang kebiasaannya menggoda saudaranya itu.
Namun Riska mendadak membalikkan tubuhnya, membuat Mila berhenti melakukan aksi dorongnya. Gadis SMA itu mendadak memeluk tubuh kakaknya. Meski sempat terkejut, akhirnya Mila membalas pelukan adiknya.
"Kenapa ... ?" bisiknya sambil mengusap lembut helaian rambut orang terkasihnya.
"Kakak baik-baik ya ... " ucap Riska sambil menahan tangis, dan menenggelamkan wajahnya pada gadis yang ternyata lebih tinggi darinya itu.
"Pasti, kita pasti akan baik-baik saja. Paman tadi hanya terpengaruh dengan alkohol. Semoga nanti sudah tidak lagi." Mila mencoba mencari kalimat yang menurutnya mampu untuk menenangkan hati sang adik, meskipun sebenarnya hatinya sendiri juga mengingkarinya.
"Sudah sana, berangkat. Keburu siang, nanti telat malah kena hukuman kamu."
Akhirnya Riska meninggalkan kakaknya dengan mencium tangan dan mengucap salam.
Selepas kepergian Riska dan menutup pintu, gadis itu seperti menimbang sesuatu. Berpikir keras, mencari sebuah keputusan yang mungkin tak harus ia tanggung sendiri jika orang tuanya masih ada.
Mila memaksakan diri untuk tetap bekerja, meskipun sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia memilih baju yang panjang untuk ia gunakan hari ini. Sekedar untuk menutup lebam yang ia dapatkan tadi pagi. Untung ia berjilbab, sehingga kerudung yang ia pakai setidaknya mampu menyamarkan luka di tempat-tempat yang biasanya terekspos oleh wanita yang tak berhijab.
***
Mila berjalan lambat di trotoar saat ia dikejutkan oleh suara klakson, membuatnya mau tak mau menoleh pada sumber suara yang berhasil menginterupsi lamunannya. Terlihat di belakangnya, sebuah mobil mewah yang familiar di netranya.
"Ayo naik ... " perintah si pemilik mobil yang ternyata adalah Shella, temannya di tempat kerja. Dan tanpa ragu-ragu Mila segera menerima ajakan temannya.
Mereka bekerja disebuah toko "Hanum Bakery" milik wanita bernama Hanum. Dan Shella ini sebenarnya adalah keponakan dari pemilik sebelumnya, bahkan sepertiga saham perusahaan adalah miliknya. Hanya saja Shella adalah seorang gadis aktif yang tentunya tak mampu jika harus berdiam diri tanpa kegiatan apapun. Maka ia mengajukan diri untuk ikut terjun langsung di perusahaan itu, sebenarnya Ny. Hanum menawarkan sebuah jabatan yang tinggi padanya, namun lagi-lagi ia tolak karena ia akan merasa bosan jika harus seharian berada di balik meja dalam sebuah ruangan tertutup. Maka ia mengajukan diri sebagai kasir di toko roti itu. Shella lebih memilih untuk bekerja di ruangan luas, bertemu langsung dengan customer memasang senyum sumringah dan saling melempar canda dengan karyawan lainnya.
"Ada apa lagi denganmu? Si brengsek itu lagi kan?" tanya Shella yang kini sudah tak lagi terkejut jika mendapati luka-luka di tubuh sahabatnya itu.
"Biasalah ... " jawab Mila sekenanya.
"Mil, ini sudah sangat keterlaluan. Harusnya kau ijinkan aku untuk membuat laporan pada kepolisian. Bukan kamu yang melapor Mil, tapi aku! Kejadian seperti ini bukan satu, atau dua kali lho ... , tapi seringkali. Ayolah Mil, kuatkan dirimu, buanglah rasa bahwa ia adalah pamanmu, karena pada kenyataanya kau sendiri tidak dianggap keponakan olehnya," Shella sangat iba melihat keadaan sahabatnya yang selalu muncul dengan luka-luka lebam.
Mila terlihat tegar, ia hanya membalas kata-kata sahabatnya dengan senyuman, dan Shella cukup tahu, apa artinya itu. Dia hanya menggelengkan kepalanya, tak mengerti dengan jalan pikiran wanita yang duduk disebelahnya itu.
"Terserah kamulah!" kata Shella pada akhirnya, sambil membuang nafasnya dengan sebal.
Mobil itupun akhirnya melaju, menuju kearah "Hanum Bakery".
TBC
by. Rinto Amicha
"Tunggu," ucap Mila. Membuat Daffa segera menurunkan kecepatan dan menepikan mobilnya."Kenapa? Apa ada yang ketinggalan?" tanya pria itu kemudian."Jadi kalian berdua udah tau pada mau pergi kemana? Terus kenapa Azzam gak dikasih tau mama kita mau kemana hari ini. Kalau tau mau ke pantai kan bisa bawa baju ganti juga. Soalnya kamu pasti basah-basahan." Mila terlihat ngambek karena disini hanya dia satu-satunya orang yang tak tahu menahu tentang rencana piknik ke pantai kali ini."Kan kamu gak nanya ke aku, kita mau pergi kemana. Ya ku kira Azzam udah kasih tau kamu," jawab Daffa enteng, perlahan ia mulai menjalankan kembali kendaraannya. Pria tersenyum menyikapi kekonyolan yang terjadi pagi ini."Gak usah dibikin ngambek gitu lah, nanti beli baju di sana. Pasti ada." Selanjutnya hanya ada suara Azzam yang asyik bermain dengan mainan robot-robot yang ia bawa dari rumah."Kalian sudah sarapan?" tanya Daffa."Belum, tadi dia gak mau sarapan. Udah gak sabar pengen cepetan pergi, katanya
Seorang wanita cantik, terlihat sayu. Tanpa polesan make up atau pakaian glamor seperti kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya. Ia tampak seperti tak memiliki semangat hidup, melamun dan diam. Dalam kamarnya terdengar alunan musik yang menenangkan. Wanita itu sesekali mengetuk-ngetukkan jarinya, tanda bahwa ia menikmati alunan irama indah itu.Wajahnya memang terlihat lebih tirus, namun kondisi ini sangatlah lebih baik dari sebelumnya. Seorang wanita lainnya masuk ke kamar membawa dua cangkir minuman berwarna pink dan sekotak cemilan. Anggita, wanita itu adalah seseorang yang telah berhasil membuat kegaduhan dalam rumah tangga Rafin dan Mila. Sementara hubungannya sendiri juga menjadi kacau berantakan karenanya.Waktu hampir tiga tahun ini adalah masa terberat dalam hidupnya, ia ditinggalkan oleh orang-orang yang penting. Butuh waktu lama untuk menerima keadaan ini. Apalagi karirnya juga redup akibat ulahnya sendiri yang suk
Mila telah berada di dalam kamarnya, di sebelahnya terbaring Azzam yang sudah tertidur pulas. Di samping bantal bocah itu tergeletak mainan-mainan baru yang tadi ia dapatkan dari Daffa.Terlintas kembali saat terakhir tadi sebelum pria itu pergi."Besok ku jemput pagi, sekitar jam delapan ya." Dan Mila selalu hafal dengan karakter Daffa yang tak pernah bisa di bantah. Ia hanya cukup percaya pada pria itu bahwa dia dan Azzam akan aman bersamanya.***Hari ini Sutomo dan Dodit berniat untuk menghubungi orang yang berniat untuk menerima hasil kolamnya. Pagi ini langit sangatlah cerah, nyaris tak ada mendung ataupun awan yang menggantung. Dapat dipastikan bahwa siang nanti pasti cuaca akan sangatlah terik.Mereka berboncengan dengan mengendarai motor yang baru saja mereka beli tempo hari. Tujuan mereka adalah desa sebelah. Namun begitu, mereka akan memakan waktu yang la
Kasto benar-benar merasa bahwa hatinya tak tenang. Ia seakan-akan selalu dikejar oleh dosanya sendiri. Kesibukan yang selama ini ia lakukan nyatanya sama sekali tak bisa mengalihkan kesalahan yang pernah ia lakukan tiga puluh tahun yang lalu. Ia pun bergegas mengambil air wudhu, berdiri menghadap kearah kiblat dan mengkhusyukkan diri. Mencoba untuk pasrah dan memohon ampun. Tak disadari, bahwa ternyata air mata telah menganak sungai membasahi pipinya.Rasa bersalah, menyesal dan ketakutan, mendera hatinya. Keserakahan nyatanya mampu membuat hatinya gelap. Rasa iri dengki telah membuat hatinya menjadi kotor dan memiliki rasa benci meskipun terhadap saudara kandung sendiri.Bahkan dengan jahatnya ia tega melenyapkan keponakannya sendiri. Air mata tak berhenti mengalir. Namun sesal kini tak ada lagi manfaatnya. Tak ada lagi gunanya. Memang sampai saat ini tak ada satupun kejahatannya yang terungkap. Bahkan saudara kandung ya
Rafin begitu terharu menyaksikan ada raut ceria di wajah putrinya. Lantunan lagu selamat ulang tahun dan riuhnya suara tepuk tangan membuat suasana begitu meriah. Puluhan anak-anak dari panti asuhan juga terlihat ikut larut dalam suasana bahagia yang diciptakan keluarga itu. Berbagai kudapan khas ulang tahun, juga souvenir telah dipersiapkan untuk memanjakan anak-anak kurang beruntung itu.Saat tiba pada acara potong kue, Ara yang didampingi oleh Ny. Nara dan Riska membantu gadis kecil itu untuk memotong kue pertamanya. Tanpa mereka suruh, gadis mungil itu langsung berjalan mendekati papanya dan menyerahkan kue pertamanya. Pandangan Rafin mengabur, betapa bahagianya ia yang mendapatkan hal kecil itu. Bahkan Ara memberikan suapan pada sendok kecilnya, diiringi dengan sebuah kecupan lembut di pipi papanya.Tepuk tangan meriah mengiringi peristiwa mengharukan itu. Bahkan mama dibuat menitikkan air mata saat menyaksikan momen
Riska nekat untuk pulang ke Indonesia, namun ia tak sendirian. Karena Ailin ikut dengannya. Awalnya Rafin sama sekali tak mengijinkan anak gadis itu kembali, apalagi alasannya hanya untuk merayakan ulang tahun Ara. Namun dengan segala upaya ia merayu mama agar berdiri dipihaknya. Dengan dukungan dari Tn. Wijaya juga, ia akhirnya bisa kembali dengan selamat dan penuh kemudahan.Ailin begitu tak menyangka jika keluarga Riska adalah orang hebat. Pelayan dan bodyguard berada dimana-mana. Mirip seperti rumah di drama-drama Korea yang sering ditonton.Begitu memasuki rumah, teriakan Riska mendominasi seluruh ruangan."Mamaaaaa," dan semua orang yang hadir disana pun menoleh dan menyunggingkan senyum."Sayang … , gimana kabarmu nak," tanya mama antusias, dan mereka berpelukan, saling mencium pipi melepaskan kerinduan karena selama dua tahun lebih mereka hanya bertemu melalui pangg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments