Share

5. Kenangan menyakitkan

Suhu dingin di pagi hari menyeruak menelungsupi ruang bernuansa merah maroon yang selama sebulan ini telah dihuninya. Bahkan, matahari pun juga belum mau memunculkan sinarnya sebagai penghangat, Rose merasa sangat dingin sampai lapisan tulangnya.

Rose meremat baju bagian depan dada. "Kenapa dadaku sakit sekali."

"Ya Tuhan kenapa kau menyiksaku, kenapa aku sangat merindukan dia," ucapnya lirih sembari mengelus dan menepuk-nepuk pelan dadanya yang menyesakkan.

Semakin hari wanita berparas cantik ini tidak merasa lebih baik, justru ia semakin tersiksa walau harus rapat-rapat untuk menyembunyikan agar tidak muncul ke permukaan.

Sebulan lamanya setelah pindah dari Australia ke Negara ini. Suasana Jakarta seakan membawanya kembali ke kenangan menyakitkan yang pernah di alaminya waktu dulu; sebuah penghianatan terbuka lebar dimatanya, penghancur kepercayaan yang sangat handal talak membuat hidupnya berantakan.

Jiwa itu telah mati, tidak bisa merasakan cinta dari siapapun yang mencoba memasukinya. Sebenarnya, kebaikan hatinya membuat orang tidak mampu untuk menyakitinya, paras cantikknya membuat orang selalu ingin mendekatinya, namun cinta yang dijaganya dulu justru mampu membuatnya menutup hati saat itu juga.

Rose meringkuk pilu dibawah selimut, tak habis-habisnya membayangkan wajah tampan tambatan hati yang beribu-ribu kali ingin dimusnakan dari bumi. Namun Tuhan sangat kejam padanya, sampai tak mengijinkan walau sedetikpun memburamkan ingatan.

Rose menyibak selimut, berdiri dan berjalan terhuyung menuju kamar mandi. Tubuh dengan buntelan piyama hitam itu bersandar pada tembok dalam bilik, tangan kanannya memutar kran hingga air dingin berjatuhan dari shower. 

Rose bersimpuh bersamaan dengan memeluk lutut, tubuhnya basah kuyup, ia mencoba untuk melupakannya, tentang dia.

Sayang, aku ingin punya anak lima.

Percuma.

Ingatannya kembali lagi ke masa lampau dimana bibir kekasihnya dulu dengan kekanakannya meminta hal yang menurutnya sangat menggemaskan jika didengar.

Anak lima. Jika saja semua berjalan dengan semestinya, sisa emoat bisa diusahakan. 

Sore dulu; masih sangat terpatri jelas di memori, Rose membawa malaikat kecil, buah dari tanda cinta yang baru berkembang sangat imut di dalam perutnya yang masih rata. Sampai kenyataan yang dilihat membunuhnya perlahan, orang yang seharusnya menjadi sosok pahlawan dari janin itu tengah mengucap janji suci dengan wanita lain di ujung dalam sebuah gedung pernikahan.

"Aku membencimu, Vee. Sangat membencimu," ucapnya parau ditemani gemricik air disela rangkuman peristiwa bak film yang berotasi secara otomatis.

Vee dulu sangat berarti, tapi nyatanya saat ini pria itu satu-satunya bisa membuat Rose hancur berkeping-keping, pria itu pula yang membuat Rose akhirnya menutup hati untuk orang lain. Bahkan, bayangan Vee saja tidak mampu menghilang dari pandangan.

Vee telah handal membuat Rose berantakan. 

Bagaimana? 

Rose tidak bisa berbuat apa-apa selain rela hatinya merindu pun membenci dalam bersamaan. 

Jika bisa memilih. Sudah sedari dulu ia berpaling ke pelukan pria lain. Tapi nyatanya hati menolak sangat tegas.

Cukup Lily, hanya Lily saja yang Rose butuhkan saat ini.

Jika Lily tidak ada. Cukup sudah. Hidupnya tak berarti apa-apa. 

Tapi.

Sekali lagi Tuhan begitu tega menyiksa batin Rose. Disaat ia merasa semua baik-baik saja. Memori yang seharusnya lenyap seakan dimunculkan tanpa sebab, membuat hati yang masih membiru akibat pukulan bertambah lebam melebar. 

Tapi Rose harus kuat bukan?

Disaat sakit hati tiba-tiba menyerang, hanya sakit fisiklah yang mampu menahan. Hanya itu yang bisa dilakukan.

Isakan demi isakan yang tak disadarinya ternyata telah membawa dirinya ke alam ketidak sadaran, Rose pingsan, mengenaskan. Hawa dingin ini menyiksanya begitu berat.

***

Lily keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi, sepatu terpasang dengan lengkap, rambut sudah dikuncir kuda seperti biasanya. Gadis itu berlari kecil menuruni anak tangga, setelah sampai di lantai pertama, perhatiannya tesedot oleh kesunyian yang mencurigakan.

"Mommy," panggil Lily sedikit keras, tidak biasanya ibunya belum bangun untuk menyiapkan sarapan.

Lily praktis menoleh kearah luar, lewat celah jendela ia memandang. Terang. Yang artinya memang sudah pagi, Lily sedang tidak mengigau. "Apa Mommy masih asik dengan mimpinya ya." gumam gadis itu.

Lily menaruh tasnya asal di sofa, berlari tergesa ke arah kamar milik ibunya, tangan mungil itu meraih ganggang pintu, pemandangan pertama yang didapati Lily adalah kondisi ranjang yang masih berantakan, Lily juga ingat, Daddy tidak ada di rumah, sedang melakukan perjalanan bisnis ke Jepang.

Satu pintu lagi terbuka. Ruang kerja Jeffry, Lily pun segera berlari untuk mengintip ruangan. Tidak ada. Telinga Lily menagkap suara air dari balik kamar mandi. "Mommy pasti mandi." gumamnya.

Dor.

Dor.

Dor.

"Mommy, sudah agak siang lho, cepetan ya," teriak Lily.

Dor.

Dor.

Dor.

"Mom, buka pintunya."

Lily mencoba untuk membuka knop pintu berbahan kayu itu, namun nihil yang didapatinya, pintu terkunci rapat. Gadis itu menyadari bahwa Rose berada dibalik bilik kamar mandi dengan air yang mengguyur tanpa henti. Hingga yang membuat curiga Lily adalah; tak terdengar aktifitas layaknya orang mandi di dalam sana, ibunya pun tidak memberi sautan atas panggilan dan ketukan pintu yang ia timbulkan.

Dor.

Dor.

Dor.

"Mommy, hiks, hiks, Mommy baik-baik saja 'kan?" Lily mulai menangis karena tidak tahan, sangat ketakutan jika ibunya sudah begini. 

Dor.

Dor.

Dor.

"Mommy, hiks, hiks, hiks."

Lily beranjak dengan lari yang memburu, di carilah jam tangan canggih milikknya yang disimpan di tas sekolah, tidak lupa menyalakan radar satelit agar mudah dilacak.

119 📞

"Hello, hiks, bisakah kau membantuku hiks, Mommy pingsan di kamar mandi hiks, aku tidak bisa menolongnya hiks, kumohon cepat bantu aku."

📞"Sweety kau tenanglah, kami akan segera kesana."

Pip.

Lily tergesa lagi, mengayunkan kaki pendeknya menuju kamar Rose, satu hal yang menjadi tujuannya. 

Ponsel ibunya.

Lily mencarinya, kebetulan Dewi Fortuna berpihak padanya, secepat kaki melangkah, Lily meraihnya.

"Hiks, Uncle, hiks, Mommy pingsan di kamar mandi hiks, cepatlah kesini hiks, Lily takut, Lily sudah telepon ambulan."

📞"Lily sayang, kau harus tenang ya, Uncle segera datang."

Pip.

"Mommy, hiks, hiks. Lily takut Mommy."

Lily berjalan perlahan menuju depan kamar mandi, tubuhnya melemas dan bergetar, pikirannya berkecamuk tanpa henti, hatinya sakit melihat keadaan yang selama ini sebenarnya tidak pernah baik-baik saja. 

Lily perlahan tersimpuh dengan tangannya yang lemah, mencoba mengetuk-ngetuk pintu tanpa lelah sedikitpun.

***

Lily tengah berada di dekapan wanita cantik bersurai pendek sebahu, wanita itu menenangkan Lily dari kedatangannya bersama Candra di kediaman Rose tadi.

Candra keluar dari ruangan setelah menyelesaikan pemeriksaan pada adik perempuannya, pria berjas putih khas Dokter itu melangkahkan lebar-lebar kakinya guna mempercepat untuk segera menemui Wendie istrinya.

"Sayang, bagaimana keadaan Lily?"

"Dia tertidur Can, terlalu lelah menangis mungkin, aku yakin dia sedikit syok," jawab Wendie sembari mengelus surai panjang Lily.

Candra mendudukkan dirinya disamping Wendie, bergantian meraih Lily untuk pelukannya, pipi gembil itupun didaratkan secara pelan di pundak lebar miliknya.

"Bagaimana dengan Rose?" tanya Wendie.

Candra mengulas senyum pilu, merasa frustasi dengan kondisi adik kandungnya. "Untung saja tidak terlambat, tubuhnya hampir membiru, setelah ini akan dipindahkan di ruang VIP, agar Lily cepat istirahaat juga."

Dibalik frustasinya Candra, Wendie merasa lega mendengar Rose tengah tertangani dengan baik.

"Syukurlah dia baik-baik saja, kamu bisa diandalkan, Sayang." senyum menghangatkan terbit dari ranum Wendie dengan tujuan menenangkan suaminya.

"Sangat sulit menjaganya, aku sangat ketakutan." ucap Candra bergetar.

Candra mengeluarkan air mata yang sejak tadi nampak menumpuk ingin terjun ke pipi. Kekawatirannya memuncak saat ini, terlebih melihat Lily yang meringkuh pilu saat pertama kali datang tadi.

Wendie mengulurkan tangan menggapai punggung suaminya, mengelus-ngelus disana. "Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik, yang terpenting Rose sudah baik-baik saja, untuk kedepannya kita pikirkan lagi, sekarang kita harus urus bocah cantik ini, kasian pasti pegal-pegal tidur dengan posisi seperti ini, ya?"

Bujukan serta support dari Wendie tidak sia-sia sepertinya. Candra menurut atas nasehat istrinya. Melihat ke arah samping saat pintu terbuka; Rose sudah akan dipindahkan, maka dengan bergegas juga, sepasang suami istri itu mebawa langkahnya menuju ruang rawat inap Rose.

"Daddy, hiks, Daddy, Lily takut....hoaaam." Lily sepertinya mengigau di dekapan Candra.

Candra yang tahu segera saja menenangkan Lily dengan mengelus punggung gadis itu. "Dia sangat ketakutan terlebih Jefrry tidak ada dirumah," lirih Candra berbisik pada sang istri.

"Kamu sudah ngabarin Jeffry, Can?" tanya Wendie yang seingatnya belum sempat mengabari Jeffry.

"Sudah, tadi aku sempat telepon sebentar, dia memaksa untuk pulang, tapi aku melarangnya, sampai membentaknya, aku merasa tidak enak," jelas Candra.

"Kamu ini kebiasaan sekali, kurangi kebiasaan membentak orang lain," protes Wendy yang mengetahui keburukkan suaminya yang tidak pernah berubah dan tak akan pernah bisa berubah.

"Dia itu keras kepala seperti Rose, Wen. Aku sudah bilang akan menjaga Rose sementara. Aku tidak mau membebaninya terlalu banyak."

Candra tidak mau mengalah dan terus mebela diri, Wendie terpaksa mengalah, percuma saja berdebat dengan manusia jangkung itu, membuang-buang waktu dan tenaga saja.

"Kamu tidak ada jadwal memeriksa pasien lain? Tinggalkan mereka bersamaku, kamu bekerjalah, penuhi kewajibanmu," perintah Wendie mutlak.

Wanita itu akan selalu mengingat jika suaminya ini adalah seorang Dokter yang mempunyai pasien banyak, tidak boleh seenaknya meninggalkan kewajiban, terlebih lagi dia adalah panutan di Rumah Sakit ini, CEO utama sekaligus pemilik Rumah Sakit.

"Titip mereka ya, Sayang," pamit Candra.

"Mereka adalah kewajibanku juga, Can. Aku sungguh tersinggung kamu berkata seperti itu," protes Wendie untuk kesekian kalinya dalam percakapan hari ini.

Sifat tanggung jawab dan kepedulian Wendie terhadap keluarga Candra memang sangat tulus, Candra tahu betul itu, Candra sungguh sangat beruntung memiliki istri berhati malaikat seperti Wendie. Sekurang apapun kebahagiaan yang Candra dapat selama ini, Wendie lah pelengkap sempurna hidupnya.

"Maaf." hanya kata itu yang keluar dari mulut Candra, namun perlakuan romantis yang diberikan tidak akan perah berubah, sebelum meniggalkan ruang rawat inap ini, Candra sempat mencium kening istrinya cukup lama, bukti bersyukurnya memiliki istri sesabar dia.

Sign, Pee🍂

Komen (2)
goodnovel comment avatar
amaranisaa
Lily, speechless
goodnovel comment avatar
Maria
Lily pinter banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status