Menurut Vee, rumah bak istana ini bagaikan neraka. Bukankah neraka tempatnya orang berdosa, ya memang benar, Vee menganggap dirinya dan juga istrinya adalah pendosa.
Masih sangat ingat, dulu sekali, pagi itu sangat mengejutkan untuk Vee, disaat dirinya yang hanya ingin melihat wajah kekasihnya saat bangun tidur seakan tertampar dengan kenyataan, sosok wanita yang berstatus sebagai sahabatnya lah yang berada disampingnya—Zara.
Keadaan menghantam tubuhnya secara bertubi-tubi, malam sebelum pagi itu adalah malam paling mengerikan bagi Vee. Sebuah video singkat mempertontonkan lekuk tubuh kekasihnya yang berada jauh di Amerika sedang bergelut secara menjijikan bersama sahabatnya-Jeffry; di atas ranjang sebuah kamar hotel.
Malam itu pula rasa kalut menghujani Vee, hingga akhirnya pria yang sedang dilanda rasa benci itu memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya di sebuah club milik temannya—Kenzo. Menghabiskan sekitar beberapa gelas minuman hingga waktu
Suasana hening menambah kekawatiran seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sebuah cafe pastry. Jemarinya pun tak kalah hebat dalam merespon apaun yang akan terjadi setelah ini, saling meremat pun berkeringat. Bahkan hawa dingin ruangan saja tak mampu menghalau buliran-buliran yang keluar dari sekujur pori-pori tubuhnya. Rose Alyne Everleight, sedang menunggu seseorang, Jeffry tentu saja, sesuai janji tadi pagi, maka terdamparlah wanita itu disini setelah pekerjaanya di rumah sakit selesai. Oh, jangan lupakan pekerjaan berat itu juga cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini, ditambah beberapa hari kemaren dirinya juga sempat limbung akibat kecerobohannya yang mengguyur tubuh sendiri ber jam-jam meggunakan air dingin yang mengalir tanpa henti. Pintu utama cafe terdorong dari arah luar, artinya ada pengunjung yang datang, setelah menangkap perwujudan dari arah sini, Rose bertambah gemetar. Sosok Jeffry datang membawa senyuman yang menyejukkan,
"Adek, kamu dimana?" teriak Rose sesaat setelah mendapati ruang tengah dimana biasanya di jam ini Lily bersantai sambil menonton TV. Rose telah mampu menata hatinya untuk memberanikan pulang ke rumah, mencoba untuk mengendalikan debaran-debaran menyakitkan setelah beberapa jam yang lalu bertemu kembali dengannya. Apa jadinya jika dirinya berantakan di depan buah hatinya sendiri, tidak membayangkan berbagai macam pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Lily mengingat tingkat kepekaan putrinya itu sungguh luar biasa "Adek, kamu dimana sih?" teriak Rose lebih keras lagi. Pintu terbuka dari lantai dua, itu dia anaknya, Lily berlari ke arah Rose dengan hati-hati, kaki mungilnya menuruni tangga, senyuman merekah itu mampu membuat Rose merasa sedikit lega, mungkin itulah obat paling manjur yang ada di dunia ini. "Mana kue pesananku, mom?" tanyanya polos dan juga bingung, matanya mengarah mencari-cari disekitar jemari Rose, namun nihil, ibunya
Otak boleh semrawut tapi, pekerjaan tetap harus diurus. Beginilah aktifitas Vee Kanesh Bellamy untuk menghabiskan waktu guna memusnahkan petang akibat tidak dapat menemukan ketenangan di waktu malam. Duduk di tempat kerja, kacamata bertengger dengan gagahnya serta jari-jari yang menari di sepanjang papan keyboards sebuah komputer. Vee memincingkan mata dengan konsentrasi penuh pada layar bercahaya dengan berbagai susunan huruf di dalamnya. Kopi yang berada dalam cangkir disebelah kanannya terhitung tiga; jumlah konsumsi yang cukup berlebihan mengingat lambung pria itu sedikit bermasalah dari muda. Mengingat tentang kopi. Vee memang kurang setuju dengan kebiasaan barunya ini. Tapi mau bagaimana lagi. Selain obat tidur, cuma air hitam dengan rasa pait itu yang saat ini setia menjadi teman malam. Mata Vee tiba-tiba memanas saat pintu menyibak secara mendadak, menampilkan sosok Zara dengan kepalan tangan menggenggam ponsel serta mata memin
Mungkin hari ini adalah hari yang sangat menyebalkan untuk wanita yang menyandang status sebagai single parent yang tak lain dan tak bukan adalah Rose Alyne Everleight. Bagaimana tidak, sepagi ini kakaknya yang sangat menyebalkan itu tiba-tiba menunjukkan batang hidungnya, pun merecok pula. Jeffry Argiato Samanta. Ya. Pria yang sedang asik duduk bercengkrama dengan Candra itu adalah dalangnya; mengatakan dan melebih-lebihkan informasi sehingga watak kakaknya yang sangat berlebihan itu membuat tubuhnya yang kekar menyempatkan waktu untuk mampir menuntut penjelasan. Apalagi jika bukan tentang pertemuan Vee Kanesh Bellamy dengan putrinya Lily Berna Samanta waktu lalu. Rasanya saat ini Rose ingin sekali menggorok leher Jeffry. Seakan belum cukup Jeffry mengatakan hal ini kepada bapak Fernandez yang terhormat hingga pria tua itu bernafsu lagi untuk menghancurkan Vee. Namun, niat menggorok leher Jeffry terpaksa diurungkan oleh Rose, menginga
Ok, anggaplah hari ini memang adalah hari yang benar-benar sial untuk Rose. Belum sempat raganya mendudukkan diri untuk sekedar minum kopi. Kini, netranya menatap kertas dari tangan lentik milik sekertaris pribadi sekaligus salah satu Dokter di Rumah Sakit ini, parasnya cantik, semua mengakui."Kau gila?" Rose membanting kertas itu sampai ke lantai, anggaplah Rose saja yang gila, bukan wanita di depannya. Namun, bagi Rose, sekertaris yang merangkap menjadi teman semasa sekolah menengah atasnya, dulu, lebih gila darinya.Shane. Nama wanita itu Shane, pribadi dengan pawakan bak model, molek aduhai yang tengah menghembuskan napas beratnya. "Boleh aku berbicara sebagai teman?""Ya, silahkan," jawab ketus Rose."Sekarang apa masalahmu Rose, ayolah, ini demi Rumah Sakit, " bujuk Shane akhirnya, sangat serius bahkan beribu-ribu kali lipat lebih serius.Rose tetap diam ketika tubuh menjulang tinginya itu sudah duduk tenang di kursi kebesarannya. Direktur U
Suara pantulan bola menggema melengkapi sunyi yang begitu kelam di malam hari ini, sepasang kaki itu tak henti berlari, memutar bahkan melompat dengan tangan yang menggiring benda bulat orange. Peluh yang meluruh dari dahi dibiarakan begitu saja. Lantas, kakinya telanjang tanpa terbungkus apapun, banyak goresan bahkan cairan kental merah berceceran mengikuti jejak pijakannya. Bukan hanya kondisi fisik yang tersiska dibalik napas engahnya, hatinya tersiris perih, pun menjalar, belum lagi punggungnya yang saat ini dipasrahkan pada lantai paping dingin di pinggir lapangan. Vee Kanesh Bellamy, sekali lagi dilemparkan pada ingatan masa lalunya saat mata hangat itu menatap langit gelap menembus tanpa batas menampilkan pijaran bintang yang samar tak terlihat. Kepalanya berpangku pada tangan yang di lipat dibawahnya. "Begini sangat nyaman," gumamnya sembari memejamkan mata. Semilir angin yang tiba-tiba berhempus mampu menggoyangkan anakan rambutnya, dilihat d
Benda bulat yang mengeluarkan terik panas itu sudah menggantung di langit atas, Vee yang saat ini baru terbangun mendadak mengrenyit karena silau dari matahari menembus matanya. Pria itu mendudukkan diri dengan keadaan mengenaskan, pandangannya kini berpindah untuk memindai sekelilingnya, lalu seakan dibungkam dengan keadaan saat matanya melotot pada gelang jam yang sedang dengan santainya menunjukkan pukul tujuh pagi. "Haiiis, sial, kenapa aku bisa ketiduran di lapangan ini," rutuknya bersamaan itu mencoba untuk berdiri. "Akash," ringisnya menyadari saat dirasa kakinya memanas sakit ketika mencoba untuk sedikit melangkah. Benar kata Leon tadi subuh, luka sobekan itu sangat parah dan harus dijahit. Vee yang sekarang sedang menatap pada kaki itu merasa ngilu sendiri. Ayolah, jangankan untuk dijahit, disuntik saja pria dewasa itu ketakutan setengah mati. Sedangkan di luar sana, puluhan pasang kaki melangkah ingin memasuki gedung Jakarta Revolution Eleme
Tidak lagi terasa perih, kini kakinya pun dapat menekan gas mobil dengan rapih. Membelah kota Jakarta yang nyatanya terlewat sepi ditemani jalanan yang tak cukup isi. Vee Kanesh Bellamy, sudah melakukan berbagai cara dengan modal pita suara, meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, kenyataan tetap kenyataan, Lily cukup membuatnya membungkam dan nurut saja. Vee, seakan dibuat lupa untuk kesekian kali. Ada perasaan aneh yang selalu memaksa untuk menuruti gejolak jiwa. Lily Berna Samanta, gadis cilik itu seakan menghipnotisnya, benci sekali pun sungguh tidak bisa. Perangai manisnya tengah mampu menarik total tubuh Vee untuk nyaman berada di dekatnya. Pria dewasa itu yakin, pun sadar dengan perasaan yang tidak bisa ditarik begitu saja, benar-benar nyaman dan apa adanya. Sekarang lihat saja, betapa bahagianya buntelan kecil dengan kantung plastik berisi makanan yang asik nangkring di pahanya. Duduk dibagian jok samping dimana Vee sedang menyetir, gadis itu, Lily, m