Sosok itu tahu betul sedang dimana dirinya berada dengan menggandeng tangan mungil seorang jagoan yang sangat mirip dengan suaminya. Lala dan Sean telah sampai di Rumah Sakit dimana Rose sedang dirawat. Dalam hati Lala sedang dirundung rasa gelisah tanpa sepengetahuan anak kecil ber gigi kelinci yang berada disampingnya.
Lala menuruti arahan dari seorang yang sudah ditugaskan untuk mengantarnya ke kamar rawat inap yang ditempati Rose sesaat sesampainya ia beserta Sean tepat di depan pintu utama Rumah Sakit.
"Mama, kenapa kita harus diantar? Biasanya, dulu kalau kita mau mengunjungi orang sakit tinggal tanya saja ke resepsionis 'kan." Sean, bocah yang penuh dengan rasa penasaran berbisik lirih pada ibunya.
"Sudah, kita ikuti saja, Sean," jawab Lala seadanya.
Bau khas Rumah Sakit menyeruak menelungsungi rongga hidung, orang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing memenuhi sepanjang lorong jalanan ini. Sean, laki-laki cilik itu mengabaikan sekitar, merasakan rasa ngilu yang teramat menggelitik di lambung kecilnya.
"Mama, Sean lapar," serunya dengan menarik lengkungan bibir kebawah.
Lala pun memusatkan pandangannya kebawah kearah wajah lunglai Sean, siapa suruh tadi tidak mau makan. "Makanya jangan bandel, lapar 'kan, sok-sok-an nggak mau makan tadi," omelnya tidak ada belas kasihan.
Sean semakin mengerutkan bibirnya, tidak terima atas cibiran wanita yang pernah mengungkung dirinya di dalam perut selama tujuh bulan—Sean lahir premature.
Lala seperti punya ide cemerlang kali ini. "Sean, nanti kamu cari makan saja di cafeteria, ajak Lily."
"Oke," jawab Sean lesu.
***
"Tidak mau bercerita?" dengan sorot mata mengintimidasi, Lala segera mencoba untuk mengintrogasi. Lala seakan melupakan kondisi fisik sahabatnya yang terlihat lemah lunglai di atas ranjang.
Sesampainya Lala dan Sean ke ruang rawat inap Rose, segera saja wanita asal Thailand itu menyuruh anak laki-lakinya mencari makanan untuk mengisi lambungnya yang kosong, tanpa ragu bocah dengan buntean hoodie marah maroon itu menggeret Lily untuk ikut bersamanya.
"Astaga, jangan menatapku seperti itu, La," pinta Rose lemah.
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" Lala tetap saja tidak menyerah mencari jawaban atas rasa penasarannya.
"Beneran nggak ada Lala. Kau tau sendiri 'kan pekerjaanku seperti apa, aku hanya kelelahan karena akhir-akhir ini banyak jadwal operasi, belum lagi banyak berkas yang harus aku tanda tangani," jawabnya diakhiri hembusan napas pelan.
Lala merasa tidak tega untuk lebih mengorek informasi dari sahabatnya ini walaupun ia sangat yakin ada yang disebunyikan darinya. Keadaannya Rose ternyata sangat buruk, lemah, pucat dan dingin disekujur tubuhnya.
"Aku hanya kawatir padamu. Maafkan aku berlebihan." Lisa meraih tangan Rose dan mengelusnya disana.
"Aku baik-baik saja, kenapa jadi melow gini sih." Rose, pun akhirnya terkekeh diikuti dengan Lala yang menatapnya sendu.
"Kalau memang tidak kuat, kau tidak perlu memaksakan seperti ini 'kan, Rose?"
Lala mengatakan dengan nada memohon; mengingat pekerjaan Rose yang cukup menguras tenaga, berbeda dengan dirinya yang hanya fokus mengurus Sean dan bayi besarnya (suaminya sendiri).
Rose mendengus kesal mengerutkan bibirnya. "Lalu siapa yang akan mengisi perut Lily yang tidak pernah kenyang itu?" sarkasnya kemudian.
"Hei! Kau pikir aku ini orang bodoh yang tidak tau apa-apa tentang dirimu, dengan mengurangi sedikit pekerjaanmu tidak akan membuatmu hidup seperti gelandangan, berlebihan sekali." Lala memukul pelan lengan Rose, sungguh jengkel dengan sahabat karibnya ini.
Rose memang sudah bercerita banyak tentang masalah hidupnya. Berkat itu juga, rentetan kejadian-kejadian mengerikan yang dialami oleh Rose dulu telah menjadi rahasia yang harus Lala jaga dari siapapun, termasuk suaminya sendiri.
Tidak semua rahasia diceritakan oleh Rose. Ada bagian yang tidak akan pernah diungkap mengenal sahabatnya yang berdarah campuran Swiss-Thailand itu sangat keras dan tidak suka dengan ketidak adilan, daripada ada pertumpahan darah, lebih baik Rose menceritakan apa yang wajar untuk diungkapkan.
Rose meminta dengan memohon agar Lala merahasiakan dari siapapun, bahkan mereka harus bersandiwara layaknya tetangga yang baru saja saling mengenal saat mereka pertama kali bertemu lagi.
"Terimakasih, Lala."
"Jangan mulai lagi, Rose."
"Maaf membuatmu berdosa lebih banyak, Lala." kali ini Rose serius.
Lala melihat tatapan mata itu begitu menyedihkan. Sebenarnya wanita Thailand itu sangat tidak suka dengan topik yang akan dibicarakan oleh Rose. Seandainya, ya seandainya saja waktu itu Lala sudah dewasa, dia akan memilih untuk menetap di Indonesia saja, mungkin dengan begitu, setidaknya dia akan menjadi benteng pertahanan untuk Rose.
"Ini tidak akan menjadi rahasia lagi kalau kau tetap begini, Rose," ancam Lala karena tidak mau terlalu lama tenggelam dalam euforia kesedihan.
Rose menghembuskan napas pelan. "Selalu saja mengancamku," keluhnya dan hanya mendapat kekehan dari lawan bicara.
"Mama," teriak Sean.
Bocah laki-laki itu berlari setelah tubuhnya berhasil masuk dalam ruang VIP dimana Rose yang sedang berbaring di ranjang ditemani ibunya yang duduk berhadapan.
"Sean, cepat sekali, kenapa lari-lari sih," protes Lala.
Sean belum sempat menjawab namun atensi semuanya teralihkan oleh seonggok wanita yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu dengan Lily yang berada digandengannya.
"Laura," gumam Rose pelan serta memberut.
Sosok Laura yang disebrang sana pun hanya cekikikan seakan tahu apa yang akan diproteskan oleh Rose.
"Pasti ulah Jeffry 'kan? Dasar pria itu, selalu merepotkanmu. Aku tidak suka Laura." nah 'kan benar seperti dugaan Laura
Laura segera menghampiri Rose lalu menjitak pelan kepalanya. "Lalu siapa yang akan menjaga Lily kalau kau dirawat disini? Dasar keras kepala," marahnya.
"Kau ini, kenapa tidak menelponku, aku hampir jantungan berlari kesini." Seakan tidak puas, Laura melanjutkan celotehannya lagi.
"Aku lemah tak berdaya, Laura. Kau tega sekali menyakiti fisikku dan juga hatiku." Rose memelas mencoba mendapatkan maaf, dia tahu Laura marah sampai ke ubun-ubun.
"Apa kau tau, kak Wendie besok harus melakukan launching produk barunya. Dia akan mebatalkan kalau saja aku terlambat mencegahnya tadi."
"Benarkah?" Rose terkejut minta ampun.
"Makanya jangan protes, aku yang akan menjaga Lily." putus Laura.
Tidak berbeda dengan Lala. Laura sama-sama keras sebagai seorang sahabat. Bedanya Laura baru beberapa tahun mengenal dan langsung masuk dalam lingkup keluarga Everleight. Rose sangat bersyukur mempunyai banyak orang baik disekitar hidupnya.
"Mama, Lily menolakku lagi," intrupsi Sean mengalihkan tiga wanita dewasa yang saling menyalahkan itu, sontak saja semua kompak memincingkan mata penasaran.
"Dasar anak ini," desis Lala yang tahu betul apa yang dimaksudkan putranya.
"Hahaha, Sean, kau pasti melamar Lily lagi 'kan?" tebak Laura yang memang sudah saling mengenal juga dengan Lala maupun anaknya.
"Iya Auntie, wanita memang sulit ditahlukkan ya. Aku sampai putus asa sendiri," keluh Sean yang lagi-lagi sok dewasa sambil memegang keningnya frustasi.
"Shut up Sean, aku tidak mau mendengarmu mengatakan hal konyol itu." Lily berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop dipangkuannya.
"Adek, laptopnya taruh meja, jangan di taruh paha."
Lily mendongak. "Oh. Oke. Lupa, Mom." jawabnya.
Rose menggeleng kepala. Susah sekali mengingatkan hal kecil seperti itu. Sedangkan Lily kembali sibuk mengamati layar laptopnya—entah apa. Lalu tangannya meraih headset untuk dipakainya, sepertinya gadis itu sangat serius dan tidak mau terganggu oleh obrolan yang menurutnya tidak penting, apalagi soal lamar-melamar yang Sean bicarakan.
"Hey, kau tau Rose, Sean juga melamar Lily di depan Om-nya waktu makan es krim sebulan lalu, dan yaaa....dia ditolak. Kasiaaan." Lala memang sangat tega pada Sean, tak segan menceritakan kesialan anaknya sendiri.
"Benarkah? Wah, kau tidak pantang menyerah juga ya Sean!" puji Rose yang entah itu pujian atau ledekan.
"Iya Om sampai menahan tawanya waktu itu, sangat menyebalkan," cibirnya lalu mengalihkan pandangannya lagi ke Lala "Mama, tidak biasanya Mama memanggil Mommy Auntie dengan santainya."
Ups!!! Lala kelolosan, betapa bodohnya Lala.
"Kita sudah bersahabat, Sean. Mulai hari ini." Laura memecahkan bongkahan es yang menutupi otak cerdas Rose dan Lala, menjadi penengah untuk situasi seperti ini memang diperlukan, untung saja Laura banyak akal.
"Benarkah?" tanya Sean dengan bola mata yang berkaca-kaca menahan haru, ya Tuhan laki-laki kecil ini sangat berlebihan.
"Tentu saja," jawab kompak ketiga wanita yang banyak akal bulus itu.
"Oh iya, kau tau, Kak Vee sangat terkejut lalu menceritakan pada-,"
"Vee?"
Ucapan terpotong sebab Rose bertanya secara tiba-tiba hingga Lala keheranan, kenapa Rose sampai terkejut mendengar nama Vee dari bibirnya yang masih belum selesai meracau. Itu pikirnya.
"Iya Vee Kanesh Bellamy, Om-nya Sean yang sebenarnya sahabatnya Jaeko sih. Waktu itu sebenarnya kak Vee mau mengantar Lily pulang, tapi putrimu itu menolak terus." jawab Lala lugu.
Rose maupun Laura diam terpaku, pikirannya berkelana mencari pertolongan atas nama yang baru saja muncul di depan mereka, apalagi nama itu muncul dari mulut orang terdekat, sangat mengejutkan.
"Hei! Kenapa kalian diam begitu?" protes Lala yang tak kunjung mendapat jawaban, yang dilihatnya adalah tatapan innocence dari keduanya, Sean memang sudah berlalu dan bergabung bersama Lily.
Laura sadar dan secepat badai menghancurkan kota, dia punya jawaban yang membobol otaknya. "Apa Vee Kanesh Bellamy yang kau maksud adalah pengusaha terkenal itu?"
Lisa mengangguk pelan.
"Pengusaha yang punya satu putri kecil seumuran dengan anak-anak itu?" telunjuk Laura membidik kedua anak yang sedang fokus pada laptop di ujung sofa—Sean dan Lily pastinya.
Lisa mengangguk lagi.
"Waaah, kau kenal dengan pengusaha terkaya seantero Indonesia ternyata La. Maka dari itu kita kaget tadi."
Lisa menganggguk lagi. Ah, ternyata karena itu alasan Rose dan Laura terbengong konyol dihadapannya.
"Benar 'kan, Rose ?" Laura mencoba menoel lengan Rose pelan.
Rose tergagap salah tingkah. "Aah, iya benar," jawabnya seraya menggaruk-garuk rambutnya sendiri.
"Kau belum keramas, Rose? Gatal?" tanya Lala, dasar polos sekali wanita ini.
"Iya, sepulang dari Rumah Sakit aku akan kesalon pokoknya."
"Aku akan menemanimu, ok."
Laura lega, lega sekali melihat Rose yang tak terlihat begitu panik setelah insiden penyebutan nama orang yang paling dia hindari seumur hidupnya.
"Bolehkah aku tidur sebentar, kepalaku pusing," keluh Rose.
Sepertinya dugaan Laura salah, Rose shock berat, maka dari itu semua berpamitan agar Rose segera mendapatkan waktu untuk istirahat.
Sudah dua hari Rose masih mendekam di kamar sakit di salah satu Rumah Sakit yang bisa dibilang paling besar di Indonesia. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya sehingga lama pulih dari kondisinya. Namun, dia lega ada Laura yang siap sedia menjaga putri semata wayangnya walaupun diawal sangat sungkan karena pasti merepotkan. Laura memang sangat dekat dengan Lily, tahu betul apa yang selalu diinginkan dan disukai gadis itu meskipun bukan anaknya sendiri. Seperti pagi ini, sangat ribut, Lily berkali-kali mengomel kala jam tangan kesayangannya hilang entak kemana, dicuri kucing tetangga mungkin, pikirnya tidak logis. "Auntie, apa kucing doyan makan jam tangan ya?" tanya Lily polos. Laura terkekeh. "Auntie tidak yakin kau ini benar-benar cerdas, Lily," jawabnya yang masih sibuk dengan rambut-rambut gandis berpipi gembul itu. Pagi ini Laura ingin membuat rambut Lily terlihat rapi dengan mengepangnya menjadi dua, hingga langkah terakhir membuat ce
Rose Alyne-Rose Garden Dihari yang sangat redup, dan penguasa matahari pun sepertinya sangat enggan hanya sekedar memberikan sedikit sinarnya pada bumi yang sangat malang ini. Entah kenapa pria dewasa yang tampak menawan dan rupawan dengan buntelan coat cream bisa terdampar di suatu tempat yang menurutnya sangat ia benci, namun hatinya ingin sekali mengunjungi. Duduk di kursi kayu yang melintang dipinggiran taman, memandang lurus kedepan menyaksikan bunga-bunga yang sedang bergoyang karena terpaan angin kencang. Dingin ini terasa menusuk tulang. Vee seorang diri sedang berkelana jauh di dalam ingatannya tentang wanita yang biasa disebutnya—Jalang. "Kau selalu menyebutnya jalang, tapi kau tak pernah lupa tempat ini, lalu apa, kau juga yang membuatkan ini semua." Intrupsi dengan nada datar mengoyak ingatan Vee untuk kembali ke asalnya. Vee tidak ingat sejak kapan pria berkulit pucat disampingnya itu mulai mendudu
Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya. "Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia. Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring. Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini. Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian. "Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi
Mungkin bagi semua pekerja hari minggu adalah hari terbaik di Dunia, hari dimana ketika bangun tidur bisa tidur lagi, atau tidak usah bangun sekalipun tidak masalah. "Perlu banget ya kamu kerja di hari minggu?" Penuturan pria putih tanpa mengalihkan atensinya karena sibuk duduk tersimpu di lantai ruang santai samping kanan dapur, tidak ada sekat tembok di area itu, lantas tangannya pun mengobrak abrik komponen skateboard. "Banyak yang belum aku beresin karena sakit, Jeff. Tumpukan kertas menggunung di mejaku. Belum lagi masalah pengembangan dan obat terbaru yang perlu di meetingin besok Rabu," jawab Rose menggebu. Rose juga tak kalah repot saat ini, dia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari berbagai peralatan di dapur dan sekawannya. Rose harus menyelesaikan masakannya sebelum berangkat ke Rumah Sakit. "Seandainya aku paham, bakalan aku bantu." Jeffry menanggapi dengan cengiran bodoh. "Ada-ada saja kamu ini," timpal santai
Menurut Vee, rumah bak istana ini bagaikan neraka. Bukankah neraka tempatnya orang berdosa, ya memang benar, Vee menganggap dirinya dan juga istrinya adalah pendosa. Masih sangat ingat, dulu sekali, pagi itu sangat mengejutkan untuk Vee, disaat dirinya yang hanya ingin melihat wajah kekasihnya saat bangun tidur seakan tertampar dengan kenyataan, sosok wanita yang berstatus sebagai sahabatnya lah yang berada disampingnya—Zara. Keadaan menghantam tubuhnya secara bertubi-tubi, malam sebelum pagi itu adalah malam paling mengerikan bagi Vee. Sebuah video singkat mempertontonkan lekuk tubuh kekasihnya yang berada jauh di Amerika sedang bergelut secara menjijikan bersama sahabatnya-Jeffry; di atas ranjang sebuah kamar hotel. Malam itu pula rasa kalut menghujani Vee, hingga akhirnya pria yang sedang dilanda rasa benci itu memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya di sebuah club milik temannya—Kenzo. Menghabiskan sekitar beberapa gelas minuman hingga waktu
Suasana hening menambah kekawatiran seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sebuah cafe pastry. Jemarinya pun tak kalah hebat dalam merespon apaun yang akan terjadi setelah ini, saling meremat pun berkeringat. Bahkan hawa dingin ruangan saja tak mampu menghalau buliran-buliran yang keluar dari sekujur pori-pori tubuhnya. Rose Alyne Everleight, sedang menunggu seseorang, Jeffry tentu saja, sesuai janji tadi pagi, maka terdamparlah wanita itu disini setelah pekerjaanya di rumah sakit selesai. Oh, jangan lupakan pekerjaan berat itu juga cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini, ditambah beberapa hari kemaren dirinya juga sempat limbung akibat kecerobohannya yang mengguyur tubuh sendiri ber jam-jam meggunakan air dingin yang mengalir tanpa henti. Pintu utama cafe terdorong dari arah luar, artinya ada pengunjung yang datang, setelah menangkap perwujudan dari arah sini, Rose bertambah gemetar. Sosok Jeffry datang membawa senyuman yang menyejukkan,
"Adek, kamu dimana?" teriak Rose sesaat setelah mendapati ruang tengah dimana biasanya di jam ini Lily bersantai sambil menonton TV. Rose telah mampu menata hatinya untuk memberanikan pulang ke rumah, mencoba untuk mengendalikan debaran-debaran menyakitkan setelah beberapa jam yang lalu bertemu kembali dengannya. Apa jadinya jika dirinya berantakan di depan buah hatinya sendiri, tidak membayangkan berbagai macam pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Lily mengingat tingkat kepekaan putrinya itu sungguh luar biasa "Adek, kamu dimana sih?" teriak Rose lebih keras lagi. Pintu terbuka dari lantai dua, itu dia anaknya, Lily berlari ke arah Rose dengan hati-hati, kaki mungilnya menuruni tangga, senyuman merekah itu mampu membuat Rose merasa sedikit lega, mungkin itulah obat paling manjur yang ada di dunia ini. "Mana kue pesananku, mom?" tanyanya polos dan juga bingung, matanya mengarah mencari-cari disekitar jemari Rose, namun nihil, ibunya
Otak boleh semrawut tapi, pekerjaan tetap harus diurus. Beginilah aktifitas Vee Kanesh Bellamy untuk menghabiskan waktu guna memusnahkan petang akibat tidak dapat menemukan ketenangan di waktu malam. Duduk di tempat kerja, kacamata bertengger dengan gagahnya serta jari-jari yang menari di sepanjang papan keyboards sebuah komputer. Vee memincingkan mata dengan konsentrasi penuh pada layar bercahaya dengan berbagai susunan huruf di dalamnya. Kopi yang berada dalam cangkir disebelah kanannya terhitung tiga; jumlah konsumsi yang cukup berlebihan mengingat lambung pria itu sedikit bermasalah dari muda. Mengingat tentang kopi. Vee memang kurang setuju dengan kebiasaan barunya ini. Tapi mau bagaimana lagi. Selain obat tidur, cuma air hitam dengan rasa pait itu yang saat ini setia menjadi teman malam. Mata Vee tiba-tiba memanas saat pintu menyibak secara mendadak, menampilkan sosok Zara dengan kepalan tangan menggenggam ponsel serta mata memin