“Ada apa ini sebenarnya?” tanya Rojali sembari memindai keadaan. Ia mulai mencium gelagat tak beres.
Mengelilingi kampung dengan kondisi masuk angin tentu membuat kepala Rojali kian pusing, terlebih ia berusaha menyemai jawaban dari kondisi desa. Di pesantren, ia menunggu Kiai hingga dua jam. Setelah bertemu, pemuda itu harus berbasa-basi lebih dahulu dengan sang pemilik pesantren. Tak elok rasanya jika berbicara langsung pada inti masalah.
Rojali menghela napas panjang, kemudian masuk ke rumah untuk mengganti baju dan mengganjal perut dengan ubi rebus. Setelahnya, pemuda itu bergegas menuju kediaman Pak Dede yang berada di tengah Kampung Cimenyan. Tampilan rumahnya mencolok karena kebanyakan kediaman warga masih berupa panggung.
“Pak Dede,” panggil Rojali setelah mengucap salam.
Rojali mengetuk hingga beberapa kali. Pemuda itu akhirnya memutuskan pergi setelah tidak melihat tanda-tanda penghuni rumah akan membuka pintu. Ia kemudian berkunjung ke ruma
Mobil yang Rojali dan para santri naiki tengah melumat jalanan perkampungan. Akses jalan yang buruk membuat kendaraan bergoyang beberapa kali. Tak ada yang berbicara semenjak si kuda besi melaju. Dari tempatnya duduk, pemuda itu melihat bila cahaya lampu dari rumah warga mulai menghilang.Rojali menyandarkan punggung ke kursi. Sesekali pemuda itu memijat kepala. Sungguh, ia akan sangat malu bila sampai Kiai mendengar berita ini. Karena ketidakberdayaannya, masalah ini bisa terjadi.“Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Kang,” ucap santri yang tengah mengemudi, “menurut saya, Kang Rojali sudah berjuang sebisanya.”Rojali mengembuskan napas berat, lantas mengangguk. Pemuda itu segera memakai peci begitu mobil menepi di gerbang pekuburan.Rojali dan rombongan santri mulai menapaki kawasan kuburan. Saat sampai di lokasi, Pak Yayat, Pak Harun, Aep serta beberapa aparat desa sudah berada di sana lebih dahulu.“Apa kita b
Rojali menghela napas berat begitu merebahkan diri di kasur. Ia menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Pandangannya menerawang pada tirai jendela yang sesekali tertiup angin. Hujan kembali mengguyur Ciboeh semenjak sore.Para santri sudah kembali ke kabupaten sejak siang. Mereka akan mengabarkan masalah ini pada Kiai secepatnya. Malu sebenarnya, tetapi Rojali tak punya pilihan lain. Di sisi lain, jemaah di masjid mendadak menghilang. Setiap kali ia mengumandangkan azan dan mengimami salat, sajadah hanya akan diisi angin dan debu.Tubuh Rojali bergerak ke samping, menatap lantai papan. Malamnya hanya diisi dengan lantunan ceramah dari radio tua yang bertengger di bilik kayu. Kejadian hari ini benar-benar menguras akal dan fisiknya.Pihak desa beserta tokoh masyarakat menyerahkan semua permasalahan ini pada kepolisian. Semua mengangguk setuju tanpa terkecuali dirinya. Pembunuhan dan pencurian jenazah adalah sesuatu yang tak bisa ditangani oleh wa
Hujan kembali mengguyur Ciboeh sejak siang dan baru reda saat isya. Rojali sendiri hanya keluar untuk azan di masjid dan memimpin salat, meski pada kenyataannya tak ada satu pun warga yang datang ke surau. Saat subuh tadi, ia bangun telat dan tak sempat mengumandangkan azan. Tubuhnya menggigil dengan kepala yang teramat pusing. Mungkin karena efek masuk angin kemarin, ditambah beban pikiran yang menumpuk semenjak kasus kematian Mbah Atim. Ustaz muda itu lebih banyak berbaring di kasur seharian ini. Rojali menerawang seisi kamar. Angin kencang sesekali menerjang jendela, mnggoyang-goyangkan tirai ke kanan dan kiri. Pikirannya masih tertuju pada kejadian subuh tadi. Saat terbangun, ia mendapati dirinya terbaring di atas sajadah dengan kondisi bersimbah keringat. Perihal kejadian pertemuan dengan pocong berkafan hitam itu, ia meyakini jika hal itu sebatas mimpi. Rojali menggeleng beberapa kali, menarik selimut hingga sebatas dada. Suara derit kasur
Seminggu berlalu setelah kejadian penemuan jasad Mbah Atim. Pihak kepolisian masih kesulitan untuk mengungkap misteri dan siapa dalang di balik pembunuhan sang penjaga makam tersebut. Di sisi lain, warga Ciboeh mulai kembali beraktivitas setelah beberapa hari mengurung diri di rumah.Suara azan asar saling bersahutan di langit Ciboeh. Selain sebagai pertanda memasuki waktu salat, nyatanya lantunan tersebut menjadi salah satu pengingat bila warga tak boleh berlama-lama berada di luar rumah.Para petani tampak tergesa-gesa berjalan di pematang sawah, menarik kerbau tak sabaran sembari sesekali memecutnya dengan tali. Pangkalan kembali sepi dari tukang ojek, yang tersisa hanya kulit kacang dan bungkus rokok. Sementara itu, ibu-ibu berteriak memanggil anak-anak untuk segera pulang ke rumah. Pelototan, jeweran dan pukulan sandal dijadikan senjata untuk menakut-nakuti.Ciboeh masih terus berbenah meski belum sepenuhnya kembali ke keadaan semula. Nyatanya, ketakutan it
Rojali sontak terkejut dengan pertanyaan barusan. “Saya pulang sendiri, Za. Mungkin kamu salah liat.”“I-iya kali.” Reza menyisir rambut dengan jari, lalu menoleh ke samping. Ia yakin kalau dirinya tak salah lihat, tetapi di sisi lain, tak mungkin juga Rojali berbohong. Aneh.“Tapi ...” Ucapan Rojali menggantung. “... saya merasa kalau motor saya jadi berat pas pulang tadi.”Aep yang mendengarnya seketika mundur dan membelah jarak Rojali dan Reza. Ia berjalan di tengah keduanya, tak bila peduli rokoknya harus jatuh ke genangan air. “Punten, Ustaz,” ucapnya.“Za,” panggil Aep pelan setelah meneguk saliva beberapa kali. “Memang ... bagaimana ciri-ciri orang yang kamu liat tadi?”Reza mengembus napas kuat. Jantungnya mendadak berdebar kencang. “Orang itu ... pake pakaian serba hitam. Tapi ...” Pria berjaket itu menjeda. “... saya tidak
Satu bulan berlalu semenjak kejadian pembunuhan Mbah Atim. Pihak kepolisian terpaksa menutup kasus dengan alasan sulitnya menemukan bukti dan mengungkapkan identitas pelaku. Di sisi lain, warga Desa Ciboeh perlahan menata hidup baru. Aktivitas yang sempat terkendala, mau tak mau kembali digarap. Mereka tak bisa selamanya akan berdiam diri di rumah dan hidup dalam ketakutan. Kehidupan harus tetap berjalan, meski mereka dipaksa berdamai dengan misteri yang sampai saat ini belum menemukan titik terang.Dalam teriknya matahari siang, beberapa truk mulai memasuki gerbang desa, melibas jalan berbatu, melewati perumahan penduduk. Beberapa kali mobil tampak bergoyang, berusaha stabil dan berdamai dengan jalan yang penuh lubang.Aktivitas warga Kampung Cigeutih teralihkan beberapa saat. Para wanita yang tengah berkumpul di teras depan sengaja berpindah ke sisi jalan, menyaksikan bagaimana truk-truk itu kian masuk ke perkampungan. Anak-anak berteriak sembari melambaikan tangan.
Warung milik Euis sudah dijejali para pria sejak pagi. Kopi yang mereka pesan hanya tinggal tersisa ampas hitam. Bakwan, pisang goreng, dan cireng sudah berkali-kali habis diembat, menyisakan beberapa buah gorengan dan minyak menggenang di koran yang dijadikan alas piring. Asap rokok tampak meliuk-liuk seiring dengan obrolan yang kian menghangatkan pagi.“Kalian sudah dengar belum kalau Ustaz Rojali dan si Reza ditemukan pingsan di selokan?” tanya pria berselandang sarung, Mahmud namanya. “Sekarang mereka sedang dirawat di puskesmas.”“Kok bisa, Kang? Bagaimana kejadiannya?” Euis yang tengah menggoreng gorengan lantas mengecilkan kompor. Wajah cemasnya kentara sekali. Saking panik mendengar Rojali kecelakaan, ia sampai tak sadar membawa spatula dan saringan ke kerumunan.“Katanya ... mereka berdua dikejar pocong,” bisik Mahmud, tetapi suaranya masih bisa didengar orang-orang di sekitar warung.“Astagfi
Waktu baru saja menunjukkan pukul empat sore saat Rojali berjalan ke arah teras puskesmas. Itu berarti hampir seharian ia dan Reza berada di tempat ini. Luka yang dialaminya akibat kecelakaan tadi malam memang tak seberapa. Hanya saja, bayangan peristiwa itu masih membekas di ingatan.Beberapa warga silih berganti berkunjung untuk menengok keadaan Rojali dan Reza. Beberapa datang membawa buah dan bingkisan, yang lainnya berkunjung dengan membawa cerita mengenai penampakan pocong Mbah Atim.Di beranda puskemas, beberapa warga sedang berkumpul. Pak Dede, Pak Yayat, Pak Juju, Aep serta dua aparat desa sudah berada di sana sejak setengah jam lalu.Pak Dede dibantu oleh dua aparat desa membantu Reza masuk ke mobil. Saat didudukkan, beberapa kali Reza meringis dan menjerit pelan. Bisa dibilang lukanya lebih parah dibanding Rojali.“Aya-aya wae! (ada-ada saja),” sindir Pak Dede sembari melangkah menuju kursi kemudi. Ia melirik Rojali dengan