Share

Secret admirer

 Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.

***

 "Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda.

 "Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang teman terbaik. Dia selalu membela dan memberikan support dikala banyak yang mencemooh.

 "Masa' sih? Katanya, calonnya yang kemarin malah kecantol sama adiknya. Benar nggak sih?" timpal suara lainnya.

 "Benar nggaknya itu, juga bukan urusan kita. Yang pasti kalau ketemu Bu May kita harus bersikap biasa aja. Seolah kita nggak tahu dan jangan diungkit masalah yang itu lagi." Aku tahu ini suara siapa. Bu Resa. Guru senior yang kusegani. Beliau tipe guru yang ngemong dan enak diajak diskusi.

 "Iya, iya paham kok. Cuma aneh saja gagalnya pas udah mentok tinggal nunggu harinya saja. Katanya sih, ayahnya Bu May sudah menolak lebih dulu lamaran si calonnya May untuk adiknya, benar begitu Bu Linda?" Hal sedetail itu saja sampai ke telinga mereka. Entah siapa biang gosipnya.

"Saya tidak tahu. Itu bukan ranah saya untuk menjawab. Bu Dian bisa tanya sendiri sama Bu May," jawab Linda tegas.

 "Bu Linda pelit. Masa yang begini aja nggak tahu. Kan situ temenan," tuding Bu Dian tidak percaya.

  "Teman bukan berarti harus tahu semuanya. Andai pun tahu bukan hal bijak untuk mengungkap masalah pribadi orang lain."

 "Kan bisa--"

 "Loh, Bu May? Kenapa nggak masuk Bu?" Aku sampai terkaget karena tak siap disapa Pak Arga yang kebetulan datang, dan melihatku hanya berdiam diri di depan ruang guru. Kutatap ke dalam, semua guru yang tadi membicarakanku sudah berada di posisinya masing-masing atau ke meja berpapan nama mereka yang terletak di atas meja.

 "Nggak apa Pak, mari." Aku berlalu masuk lebih dulu dan sempat bersitatap dengan Bu Dian dan Bu Rahma, saat melewati meja mereka dengan memaksakan senyum menuju ke mejaku berada.

 "Hei, sorry. Tadi dengar ya?" tanya Linda berbisik merangsek duduk di sampingku. 

 Aku kembali memaksakan senyum. "Dengar apa? Gosip terbaru? Apa?" Berpura bertanya dan terlihat sibuk mengecek buku yang tersusun rapi di atas meja.

 Linda menyenggol lenganku dengan badannya. "Jangan bohong. Jangan bertingkah seolah tidak dengar. Kayak nggak kenal kamu aja."

 Aku tersenyum. "Sudah biasa," jawabku tetap dengan menyunggingkan senyum. Berita tentangku yang gagal nikah sampai juga di sekolah ini. Ada yang bertanya langsung, tapi ada juga yang menjadikannya bahan gosip.

 "Coba lihat di kolong laci meja, siapa tahu bisa menaikkan mood kamu." Linda paling tahu kalau pembicaraan mereka barusan telah menurunkan moodku. Yang dibawah laci pun kurasa tidak bisa menaikkan moodku kembali.

 Kuhela Napas terlebih dulu sebelum mengikuti saran Linda. Lalu merunduk dan merogoh ke kolong laci di bawah meja, mencari sesuatu. Dapat. Ada lagi.

 "Dapat lagi," tukasnya dengan senyum terkembang setelah kukeluarkan pelan sebuah kotak kecil berisi sesuatu sambil mengitari sekitar, melihat sekilas orang-orang yang berada di dalam ruangan ini. Tidak ada yang mencurigakan. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

 "Coba buka? Kayaknya isinya cokelat." Lagi, Linda yang semangat ingin tahu dan penasaran dibandingkan aku.

 Setelah kubuka isinya memang sesuai tebakan Linda, cokelat berbentuk bulat, tersusun rapi dalam kotak kecil. Ada kartu ucapan di atasnya.

 "Kok lihat aku segitunya?" 

 "Bukan kamu kan yang mengerjaiku seperti ini?" tudingku tanpa mengalihkan tatapan.

 "Loh, kok aku yang tertuduh? Nggak." Linda mengelak dengan mengangkat kedua tangannya.

 "Kamu kuajak ke ruang security untuk ngecek CCTV kantor nggak mau. Padahal aku penasaran May, siapa yang sering ngasih kamu hadiah kayak gini, siapa tahu ketangkap kamera CCTV di sini."

 Bukannya tidak mau mengikuti saran Linda. Aku juga penasaran siapa yang hampir dua bulan mengirimi hadiah tanpa nama. Hanya saja aku tidak ingin membuat kegaduhan di sekolah ini dan menambah gosip tentangku. 

 "Semoga kamu suka. Tunggu lima tahun lagi, aku akan datang melamarmu. Your secret admirer." Linda melirikku sekilas dengan senyum menggoda saat membacakan pelan catatan kecil di kartu ucapan tersebut. 

  

 "Ciee … kamu nggak penasaran May siapa dia?" tanyanya kembali setelah selesai membaca isi pesan itu.

 Kugelengkan kepala. Bagiku kalau suka tunjukkan, bukannya bersembunyi seperti ini. Pakai bilang mau melamar segala.

 "Sayang pesannya diketik, bukan tulis tangan," rutuknya masih meneliti pesan tersebut. "Buatku kan?" tunjuk Linda ke kotak cokelat tersebut dan kuanggukkan kepala mengiyakan. Linda bersorak gembira. Hampir semua hadiah yang kudapat dari si pemuja rahasia, kuberikan ke dia.

 "Makasih, padahal ini cokelat mahal May." tukasnya sembari mengambil satu bulatan cokelat dan memasukkannya ke dalam mulut.

 Aku hanya tersenyum tipis. Fokusku masih dengan buku tugas yang berada di atas meja.

 "Sudah bel masuk. Aku duluan Lin. Jam ngajarku pertama," pamitku padanya dengan membawa semua buku yang telah selesai kuberi nilai.

 Linda mengangguk dengan mulut penuh cokelat. Diangkatnya dua jempol ke arahku.

 ***

 "Bu Maysarah." Pak Arga memanggilku.

Kuhampiri Pak Arga yang berdiri di depan pintu ruang kelas tempatku sedang mengajar kelas matematika.

 "Maaf ganggu sebentar waktunya." Ucapan Pak Arga membuat keningku berkerut.

 "Iya, Pak. Ada apa?" Aku bertanya saat memangkas jarak.

 "Ken dan Rio ketangkap Pak Tigor memanjat pagar belakang sekolah. Mereka dibawa ke kantor guru dan sedang diinterogasi Pak Tigor."

 "Hah!" Refleks ku kaget.

 "Mereka ketahuan bolos saat jam kelasnya," lanjut Pak Arga memberi info.

Ya ampun. Ada-ada saja dua muridku itu. Mereka memang terkenal bandel, terutama Ken. Kalau Rio hanya ikut-ikutan. Pak Arga memberitahu karena aku adalah wali kelas mereka.

"Iya, Pak. Terima kasih atas infonya. Saya akan segera ke sana."

 ***

 "Untung Bu Maysarah datang. Lihat mereka mau bolos pada jam kelas saya," beber Pak Tigor dengan logat bataknya padaku. 

"Pagi, Bu May." Kedua murid itu malah tersenyum sambil menyapaku. Hanya kugelengkan kepala mendapati sapaan mereka.

 "Nih, saya serahkan mereka sama Bu Maysarah. Bandel. Mau saya kasih hukuman berat, mereka malah kesenangan, aneh." Pak Tigor berlalu pergi setelah mengatakan hal tersebut dan menyisakan tinggal kami bertiga di ruangan kantor ini. 

"Jadi kenapa bolos?"tanyaku setelah duduk di hadapan mereka.

 "Ibu hebat. Kukira Bu May akan izin libur gegara batal kawin, eh … ternyata tetap ngajar," ucap Ken dengan mengangkat dua jempol. Anak lelaki yang kuakui tampan ini senang sekali bicara asal ceplos. Apa yang kutanyakan, malah dijawab lain.

 "Kenapa bolos?" ulangku lagi tanpa memperdulikan ucapan Ken barusan. 

 "Bosan. Jam olahraga, tapi yang dikerjakan malah teori, bukan praktek. Jadi kami memutuskan bolos, Bu," jawab Rio sesantai mungkin.

 "Kenapa nggak protes?" tanyaku lagi.

 "Bu May kayak nggak kenal Pak Tigor aja. Beliau kan nggak suka dibantah. Yang ada kami malah disuruh nyanyi. Makin nggak nyambung kan, Bu, kami lagi kelas olahraga apa musik?" Kali ini giliran Ken yang menjawab.

 Aku mengulum senyum mendengar jawaban Ken. Dia benar. Pak Tigor itu sebenarnya lebih cocok jadi guru kesenian. Entah kenapa dia mengajar kelas olahraga.

 "Lihat kan Yo, Bu May kalau sudah senyum, biar setipis kertas pun tetap terlihat cantik," ucap Ken dengan menepuk bahu Rio.  

 Aku melongo mendengar ucapan Ken. Anak ini memang sering sekali menggodaku. Aku maklum karena dia terkenal playboy di sekolah ini.

 "Bu May benar berumur 26 tahun?"

 "Kalian ini mau dihukum malah menanyakan umur gurunya. Ayo duduk yang benar, yang sopan. Tuh bajunya dimasukin yang benar," tegurku pada dua anak lelaki berumur 18 tahun yang saat ini berada di kelas tiga SMA.

 "Kamu benar, Ken, Bu May kalau dilihat sedekat ini seperti anak umur 19 tahun, eh 17 tahun. Imut. Apalagi kalau kacamatanya dilepas. Pantas kamu bilang bakal nikahi Ibu May setelah lima tahuun! Aduh, kenapa diinjek?" Rio seperti meringis dengan mengelus ke bagian kakinya.

 "Jangan dengarkan Rio, Bu. Dia suka canda," timpal Ken sembari merangkul bahu Rio dengan tersenyum lebar. 

 Menikahiku setelah lima tahun? Seperti pernah mendengar perkataan itu, tapi siapa? Alisku saling bertaut mencoba berpikir. Tunggu .... Tatapanku beralih ke Ken. Kutatap ia lamat-lamat. Apa jangan-jangan pemuja rahasiaku itu ....

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Gustini Hasibuan
tauny sang murid toh......
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Mantap bu anak murid yg mencintai gurunya
goodnovel comment avatar
Wiwit Rasyidin
mahal amat...bukan nya 5 aja gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status