Terkadang orang terdekatlah yang paling berpotensi menyakiti." Maysarah tidak menyangka kegagalannya ingin menikah karena ada campur tangan orang terdekat. Berusaha ikhlas menerima hingga dilamar orang tak dikenal. Bagaimanakah nasib Maysarah ke depannya dan akankah bahagia mampir menyapanya?
View MoreThe air in Samantha’s room was stifling with rage.
Silken curtains flared with each gust of wind that slipped through the cracked-open windows, but it did nothing to cool the storm brewing in her chest. Her long nails dug into the plush arm of the velvet chair she sat in, trembling with barely controlled fury.
"Rina? Rina, of all people…?"
Samantha’s lips twisted bitterly as her mother’s words from earlier still echoed in her ears—sharp, cold, unforgiving.
“You had him in the palm of your hand. And what did you do, Samantha? You threw it away because of petty pride, and flirting around with his own brother. Do you know how many women would kill to stand beside a man like Theo? Especially now?”
Those words didn’t hurt—they burned.
Her pride, her ego, her carefully crafted image—it had all been shattered the moment she heard the news: Theo, the same boy she used to mock behind his back and cheated severally on, the one she dismissed as beneath her, had now been appointed Alpha of a whole damn pack.
And not just any pack... Dam-Nighade.
The same pack her father had long eyed with greedy admiration, hoping to one day climb into its upper circles if only alpha Damian should sent him over.
Now Rina—Rina, the meek little healer—was set to become his Luna?
"Never..."
With a loud clatter, Samantha kicked over the silver lunch tray a servant had brought in. The roasted meat, bread, and wine spilled across the marble floor like a ruined banquet.
She shot up to her feet, eyes wild, her breath uneven.
The maid, a young girl barely older than seventeen, stood frozen by the door.
“You call that a meal?” Samantha snarled. “Are you trying to poison me?! Is this what you give to me?!”
The girl stammered, “I-It’s what the kitchen gave me, Lady Samantha—”
"What did you just called me?" Samantha asked, her eyes turning red.
"Lady... Lad... lady Samantha..." The terrified maid stuttered.
"What! Lady Samantha..? I'm Theo's future Luna, you fool..? How dare you address me as Lady Samantha...?"
But Samantha was already moving. She grabbed the girl by the arm and shoved her against the wall.
“You worthless mutt! I should have you flogged!”
And then—she snapped.
Her fists came down in a blur. The maid screamed, shielding herself as Samantha pulled her to the floor and began beating her mercilessly—hair flying, nails digging, fists swinging.
It wasn’t just rage—it was humiliation, projection, desperation. Everything that had been building since the moment she heard Theo had risen above her.
“You think you're better than me? You think Rina is better than me?!” she screamed.
"Lu... Lu.. Luna... Samantha... I am sorry ..!" The maid cried out, her voice barely carrying under the weight of Samantha’s fury.
Suddenly, the door flung open.
“Samantha!” her mother’s voice rang like a whip.
She stood there, her elegant gown unwrinkled, hair pinned perfectly despite the chaos before her. This wasn’t the first time she had walked into such a scene. In fact, it was the third time this week.
But this time, she didn’t shout.
She stood still, arms crossed, watching her daughter on top of the bleeding maid, breathing hard, eyes gleaming with a cruel sort of joy.
After a long pause, she said coolly, “That’s enough.”
Samantha blinked, panting, before slowly rising to her feet. Blood stained her knuckles. Her eyes still burned with fury.
The maid, bruised and trembling, crawled away toward the door.
But just as she reached the threshold, Samantha’s mother raised a hand.
“Stop.” The maid froze.
“Listen up... you worthless maid.. You didn’t see anything,” she said, voice calm, but sharp as a dagger. “And if you value your tongue—or your life—you won’t utter a single word about what just happened. Did I made myself clearer enough, stupid slave...?”
The girl turned to her with wide, teary eyes, clutching her bloody mouth, then gave a small, terrified nod before scrambling away.
Once the door shut, Samantha’s mother finally turned to her daughter, walking slowly to her side.
She looked down at Samantha’s trembling hands. Then up into her furious, unstable gaze.
“You’re losing control, my dear,” she said, almost gently. “And I don’t blame you. Watching someone like Rina get what should have been yours? It’s maddening.”
Samantha’s lower lip trembled, then curled with hate. “I want to kill her.”
Her mother raised an eyebrow, a calculating look forming on her face.
“You don’t need to kill her. You need to outsmart her.”
She took Samantha’s bloodied hand and squeezed it, as if this moment of violence had solidified something between them.
“Since we now know that Theo’s been appointed Alpha of the Dam-Nighade Pack,” her mother whispered. “And they’re still rebuilding… vulnerable… ripe for chaos. If you play this right, you won’t just ruin Rina. You’ll become what you should’ve been all along—Luna.”
Samantha blinked, breathing harder as the idea took root. “But how, mother?”
Her mother smiled coldly.
“We’ll send word that you’ve gone to stay with your cousins still within the pack here, just to avoid your father's wrath. Besides, your father doesn’t need to know the truth. Not yet.”
She leaned in closer.
“And you… you’ll go there not as Samantha, the ex-girlfriend. You’ll go as someone desperate, humbled by war… and hungry to serve. A mere kitchen maid. Invisible, underestimated.”
Samantha’s eyes glinted.
She liked the sound of that.
“Let the little healer's apprentice enjoy her moment,” she whispered to herself, a sick grin spreading on her face. “Because soon, I’ll be the one wearing the crown.”
POV AuthorTernyata belum siap aku,Kehilangan dirimu.Belum sanggup untuk jauh darimu.Yang masih s'lalu ada dalam hatiku.Tuhan, tolong mampukan aku.'Tuk lupakan dirinya.Semua cerita tentangnya. yang membuatku s'lalu teringat akan cinta yang dulu, hidupkanku.Ken menghela napas panjang, lalu menghembuskannya. Lagu yang sedang diputar di cafe shopnya, membuat dadanya terasa sesak karena terkenang seseorang. Padahal lagu dari Stevan Pasaribu tersebut sedang hits dan sering diputar di media elektronik."Gas, matikan lagu itu. Putar yang lain saja," titahnya pada pegawainya bernama Bagas, yang kebetulan lewat di hadapannya."Siap Bro!" Ken hanya mengerjap. Ia kembali duduk di pojok kursi sambil mengamati ruangan cafe yang mulai terisi oleh para pengunjung. Cafenya mulai menamp
Semalaman mengurung diri di kamar. Mata sembab dan bengkak. Penampilanku kacau. Ibu ternyata memanggil Kak May. Sebenarnya aku malu, tapi mungkin ada baiknya meminta maaf padanya, siapa tahu rasa sakit ini berkurang. Kami akhirnya bicara dari hati ke hati. Kuceritakan bagaimana Raihan memutuskanku. Kak May bilang dia tidak pernah mendoakan yang buruk untukku. Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu padanya? Kak May benar, inii hanya teguran dari Allah karena perbuatan jahatku. Aku kembali menuturkan kata maaf padanya. Sekarang aku sadar kalau perbuatan kita, entah baik atau buruk pasti akan berbalik ke arah kita kembali. Aku berjanji akan menjadi pribadi yang baru dan tidak akan menyakiti orang lain.***Di kantor, aku bersikap biasa saja. Aku dan Raihan seolah tidak saling kenal. Kami bagaikan orang asing kembali. Kulihat ia malah menjalin hubungan dengan wanita lain, teman satu kantor lainnya, padahal baru bebera
Aku tidak ingin dipenjara. Kenapa perhiasan itu bisa berada di kosanku? Siapa yang sengaja meletakkannya di sana? Pasti Hanin. Bukankah dia yang melaporkanku atas kasus ini?Kak May. Hanya dia yang bisa membantu. Dengan bersuamikan Pak Biru, masalahku pasti teratasi. Kak May tidak mungkin abai.Aku meminta Ibu membujuk Kak May agar mau membantuku. Pasti Kak May tidak akan menolak. Kenapa sulit sekali menjadi orang baik. Baru saja memulai hubungan baik dengan Kak May, sudah ditimpa musibah seberat ini.Beberapa kali melihat ke arah arloji. Tidak terasa sudah dua jam berada di sini. Lelah. Entah sudah berapa pertanyaan mereka lontarkan kepadaku. Hingga tiba-tiba salah satu petugas bilang aku bisa pulang.Aku tercengang. Katanya aku bebas. Laporan untukku sudah dicabut, dan aku boleh pulang. Secepat ini
"Bodoh! Bodohnya aku! Seharusnya kujauhi wanita licik sepertimu. Mana ada wanita baik yang merebut kekasih hati kakaknya. Kenapa aku baru sadar sekarang?""Aku yakin kamu cuma mempermainkanku. Sedari awal kamu yang mendekati, merayuku hingga rela meninggalkan Maysarah dan menyakiti hatinya. Benar kan? Kenapa La? Kenapa tega melakukan semua ini padaku?" tambahnya lagi. Tidak ada tatapan cinta yang kutangkap dari kedua matanya.Akhirnya lelaki di depanku ini sadar juga. Sayang sudah terlambat.'Ayo Mala, bersandiwara lah dulu. Yakinkan Ibram jangan sampai lelaki ini bertindak diluar kuasamu.'"Kamu berkata apa? Jangan berspekulasi yang tidak-tidak tentangku. Kamu salah paham, Mas." Aku mencoba bertahan dengan kepura-puraan ini, meyakinkannya kembali."Aku tidak bisa dibohongi lag
POV NirmalaAku menatap seseorang dari atas ke bawah. Kupindai penampilannya. Masih cantikkan aku. Masih tinggian aku, dan masih lebih aku kemana-mana.Kulihat ia mendekap erat boneka bear kecil yang sudah berwarna kusam. Pasti itu benda kesayangannya.Muncul sebuah ide di kepalaku. "Bu, Mala mau itu," tunjukku pada boneka tersebut. Ibu memandang heran ke arah sosok anak kecil yang berada di hadapanku."Jangan, itu kotor. Mending kita beli yang baru yang lebih besar," bujuk Ibu berbisik di telingaku. Namun aku bersikeras menginginkan boneka yang berada di tangan anak tersebut. Dengan rengekan dan tangisan kerasku, Ibu dan laki-laki dewasa yang sekarang harus kupanggil ayah, akhirnya luluh dan memaksa anak itu memberikannya padaku.***
"Karma apaan? Kamu memangnya dapat karma apa?" tanyaku sedikit kesal setelah ditudingnya begitu."Karma sama kayak Kak May. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya." Nirmala menarik tisu dan menyapu air matanya yang kembali menitik. Wajah sembabnya menandakan ia menangis sudah terlalu lama."Jangan muter-muter jelasinnya. Aku ada kelas hari ini. Dari tadi kamu bilang karma dan karma. Ingat Nir, di dunia ini tidak ada yang namanya karma. Yang ada tabur, tuai. Siapa yang menabur, dia pula yang kelak menuai. Jadi apa yang terjadi denganmu bisa saja akibat perbuatanmu sendiri." Mendengar penjelasanku, Isak tangisnya semakin keras."Kak May benar. Ini semua pasti azab dari Tuhan karena dulu menyakiti Kak May. Raihan meninggalkanku dengan alasan yang sama seperti laki-laki brengsek itu katakan pada Kak May." Ia mengelap air mata yang membasah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments