Di lain tempat, Maura menggandeng tangan kecil sang buah hati. Mereka turun dari taksi dan menuju kediaman. Lengan mungil yang halus, tawanya membuat di sekitar ikut mengembangkan bibir. Maura lekas mengeluarkan kunci dari tas dan bergegas membuka pintu, Delia langsung berhampuran bermain mainanan baru di karpet dari Oma.
"Delia, mau Bunda buatin susu?" tanya Maura.Wanita itu ikut selonjoran di karpet bulu tebal. Gadis kecil tersebut mengangguk tanda setuju, sangat fokus bermain sampai tidak mengalihkan tatapannya. Maura tertawa melihat tingkah menggemaskan sang buah cinta dari Hamdan dan dirinya. Ia bergegas ke dapur membuatkan pesanan yang tersayang. Berusaha menguatkan hati, agar selalu melihat kebahagiaan Delia."Aku harus semangat demi Delia," kata Maura.Dia mengembangkan senyuman saat menyuguhkan sebotol susu ke anaknya."Ayo, Sayang diminum sampai habis ya. Jangan dibuang-buang! Ingat ada yang lebih susah dari kita, kamu harus bersyukur karena memiliki semua ini," nasehat Maura.Ucapan wanita itu membuat Delia mengangguk walau di kepala kecilnya hanya ada kata bermain, makan dan tidur."Bunda, Ayah mana?" tanya Delia.Dia bertanya saat dirinya tengah berbaring di paha Maura sambil menonton televisi yang menayangkan kartun."Ayah, kan, kerja, Sayang." Maura melirik ponsel yang berkedip, ia mendapatkan pesan dari suaminya. [Sayang, aku pulang sedikit malam. Mawar menangis sedari tadi ditelepon, gara-gara dapatkan bully-an. Gosip cepat banget beredar.] - Hamdan[Kamu pulang jangan sampai terlambat! Delia menunggumu, awas saja kalau pulang larut malam, suruh Mawar habis ngampus langsung pulang.] - MauraMaura menaruh handphone, ia kesal karena Hamdan ingin berdua dengan Mawar secara tidak langsung. Dia melirik jam sudah yang ternyata sudah sangat siang, lekas menyiapkan makanan untuknya dan Delia. Gadis kecil itu makan sangat lahap."Pelan-pelan, Sayang. Makanan kamu tidak akan lari kok." Maura membelai rambut Delia, hanya gadis kecil ini yang mampu memperbaiki suasana hatinya.Di lain tempat Mawar tengah berdecak kesal, karena Hamdan membatalkan pergi ke hotel bersama. Padahal ia ingin berdua dengan sang suami, mencurahkan segala keluh kesah. Kejadian ini membuat banyak orang yang menghina. "Kenapa jadi aku yang selalu disalahkan oleh mereka, harusnya Mbak Maura dong. Dia, kan, gak bisa jaga suaminya," gerutu Mawar.Perempuan itu berada di kampus, dikira tidak akan mendapatkan bully-an lagi orang karena dia kuliah. Ternyata dugaannya salah.Suara dering ponsel membuat Mawar tersadar, matanya melihat nama yang tertera di layar. Setelah mengatur emosi dan nada suara, ia langsung mengangkat telepon. Memamerkan senyuman walau sang empu tak melihat."Walaikumsalam, Bu."Mawar benar-benar berusaha agar nada suara tidak bergetar."Kamu di mana sekarang? Nduk. Kata Ce Idah kamu udah gak di kontrakan lagi, karena saat Ibu mau bayar uang kontrakan dia gak mau," cecar wanita itu."Anuuuu, Bu. Mawarrr ...."Ucapan Mawar terdengar gemetar, takut diomeli oleh wanita yang melahirkannya. Apalagi mendengar hinaan tersebut."Ibumu pasti malu karena memiliki anak pelakor!" Perkataan seseorang terngiang-ngiang di benaknya, sampai sang ibu memanggil berkali-kali baru tersadar."Kamu kenapa, War? Sekarang kamu tinggal di mana?"pertanyaan itu terucap bersamaan masuknya kampus membuat Mawar tersenyum lega."Bu, sudah dulu ya. Aku harus masuk kampus. Assalamualaikum."Setelah mendengar jawaban sang ibu, Mawar langsung mematikan sambungan telepon. Jam sudah menunjuk angka setengah lima, Mawar bergegas untuk pulang. Karena tubuh yang benar-benar letih, ia langsung mendorong pintu membuat Delia yang hendak membuka terjatuh. Mawar terkejut sedangkan Maura berada di dapur menyiapkan susu untuk anaknya lekas berlari ke arah suara."Astagfirullah ... kamu kenapa, Sayang?" pekik Maura.Dia membawa Delia dalam gendongannya, terlihat kening gadis itu benjol."Maaf, Mbak. Mawar gak tau," ucap Mawar membela dirinya. Dia takut dituduh sengaja melukai anak kakak madunya.Maura menatap tajam Mawar, lalu beralih pada Delia yang menjerit kesakit. Berusaha mendiamkan sang anak, sedangkan Mawar mengikuti langkah mereka. Rasa kantuk hilang berganti menjadi rasa takut. "Awas kamu, anakku sampai benjol gini!" hardik Maura sambil mengompres kening Delia seraya meniup-niup."Awwww, Bun. Sakit ...," keluh Delia. Tangannya mendorong lengan Maura yang mengompres."Jangan gitu, Sayang, harus di kompres. Emang mau kening kamu jadi benjol besar nanti?" bujuk Maura, dibalas gelengan Delia."Ya sudah, Bun. Tapi kompresnya pelan-pelan jangan di pindah-pindahin." Delia memelas."Ya sudah." Maura dengan telaten mengompres kening sang buah hati."Bun, dia siapa?" tanya Delia. Tangannya menunjuk Mawar yang berdiri menatap khawatir Delia.Maura menoleh memandang Mawar, ia mengembuskan napas kasar. Sungguh hatinya masih kesal dengan Mawar. Sudah merusak rumah tangga sekarang malah membuat Delia terluka walau tak sengaja."Dia Mbak Mawar, pembantu di sini. Nanti kamu minta tolong saja sama Mbak Mawar ya," seru Maura membuat Mawar menoleh menatapnya tak percaya."Iya, Bun. Mbak, tolong lanjutkan buat susu dong, ini juga, kan, salah Mbak."Permintaan Delia membuat Mawar mengembuskan napas kasar, tapi ta
Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah."Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi."Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi."Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu."Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya."Ya sudah, kamu main aja sama
"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya."Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas."Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor."Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan."Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan."Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar."Mawar berada di rumah saya Bu, ban
"Kamu aja, Ra. Kamu masak sarapan, liat ... tangan Mawar kecipratan minyak," ujar Hamdan menunjukan bintik-bintik merah."Gitu aja lebay, War. Gimana kalau kaya Mbak dulu, ke guyur gara-gara kamu senggol wajan," sinis Maura lalu berbalik memilih ke dapur untuk membuatkan sarapan buat anaknya."Bun, kok masaknya cuma sedikit, nanti Ayah gimana?" tanya Delia saat Maura menyodorkan piring yang berisi nasi goreng."Udah mendingan kamu makan aja, Sayang. Biar Mbak Mawar aja yang masakin Ayah sarapan," sahut Maura membuat Delia mengangguk.Setelah sarapan keduanya beranjak keluar lalu menatap Hamdan yang ternyata berbincang dengan Mawar. Mereka tertawa bahagia membuat Maura tersenyum kecut, wanita itu langsung menyodorkan tangan ke hadapan suaminya membikin Hamdan menoleh. Delia sudah menarik-narik agar cepat pergi, kata Maura bentar lagi telat memicu takut Delia."Bun ... cepat, katanya Bunda udah telat," pinta Delia."Iya Sayang, bentar. M
Cepat kugoyangkan kepala ke kiri kanan. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Memberikan Mawar hidup bahagia dengan Mas Hamdan, gak bisa egois memikirkan diri sendiri. Tanpa mementingkan Delia. Sudah banyak peristiwa orangtua bercerai lalu anak menjadi korban broken home. Harusnya itu menjadi pelajaran untukku."Bundaaa, Delia bisa!" pekik anakku saat waktu pulang sudah tiba, ia memeluk lalu melepaskan melompat-lompat girang."Anak Bunda, pintar," ucapku seraya berjongkok lalu mencium pipi Delia."Ayo sekarang kita pulang!" ajakku menggendong putri kecil tapi dia memberontak."Tidak, Bunda. Lia sudah besar, jangan digendong." Dia meminta diturunkan, membuatku kewalahan lalu minta agar dia diam untuk bisa menurunkannya."Oke-oke, anak Bunda sudah besar. Ayo kita pulang," ajakku lalu masuk ke taksi yang telah dipesan sejak tadi.Setelah sampai rumah, bergegas masuk untuk mengistirahatkan tubuh. Sungguh letih raga ini, padahal hanya dudu
Hamdan masuk ke kamarnya dan Maura tetapi tidak menemukan wanita itu. Melangkah menuju bilik Delia, lalu tatapan menangkap pandangan keseruan anak dan sang istri. Senyuman pria tersebut terukir, ikut bergabung duduk di samping Maura."Sayang ... lagi apa nih anak Ayah? kok Ayah gak di ajak," ujar Hamdan mengusap surai Delia.Delia menoleh mendengar ucapan sang Ayah. "Ayah sibuk terus, sampe gak bisa ngajak Lia jalan-jalan," ketus Delia membuat Hamdan terdiam."Maafin Ayah, Sayang. Ya sudah, besok kita jalan-jalan yuk!" ajak Hamdan lembut dibalas gelengan Delia."No ... Ayah. Lihat di sana, Lia tadi habis sekolah langsung jalan-jalan sama Bunda." Tolak Delia menunjukan beberapa tote bag yang belum dirapikan."Maaf, kapan-kapan kita liburan deh," kata Hamdan lalu mendongak melirik Maura yang membuang muka saat dia menatapnya."Mas ... aku izin mau jalan-jalan lusa sama Mawar, Delia mau aku titipkan ke Mama dulu." Mendengar ucapan san
Maura telah berpakaian rapi, wanita itu sudah mendandani Delia dengan sangat imut. Membuat semua orang yang melihat ingin menciumnya. Bulu mata lentik Maura mengerjap, dia sangat tampil menawan. Setelah puas memandang pantulan di cermin, bergegas turun menggandeng Delia."Asik ... Delia main ke rumah Oma lagi," pekik Delia girang membuat Maura tersenyum.Mawar terbengok melihat meja makan penuh makanan begitu pula Hamdan. Air liurnya sampai menetes saat melihat hidangan di hadapan itu semua kesukaan dia dan Delia. Pria tersebut langsung beralih menatap Maura, memandang dengan senyuman gembira lalu mendekat mengecup pipi sang istri membikin Mawar cemburu."Terimakasih, Sayang. Aku tau kamu tidak akan membiarkan aku sampai melupakan hasil masakan terlezat dari hasil tangan cantikmu," puji Hamdan lalu matanya terpana saat melihat penampilan baru sang istri."Kamu cantik banget, Sayang." Puji Hamdan memegang pipi Maura hendak mencium bibir ranum itu tet
"Buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya," batin Indah berseru, tangannya mengepal saat mengingat peristiwa itu."Kamu tidak berbohong'kan?" tanya Indah menatap wajah Maura yang berlinang air mata.Maura mendongak mendengar nada emosi di suara Indah, wanita itu langsung menggeleng. "Tidak, Bu. Ini buktinya, mereka berzina. Aku meminta warga yang menvideokan agar tidak menviralkan ini," jelas Maura menyodorkan handphone.Napas Indah memburu melihat video penggerebekan sejoli mesum. Ia tercenah saat mendengar bahwa Maura memilih menikahkan mereka. Memberikan handphone itu kembali pada pemiliknya ia menatap manik yang menyejukan kalbu."Beri hukuman pada Mawar, agar dia jera," ucapan Indah membuat Maura terkejut."Kenapa kamu malah menikahkan, mereka?" tanya Indah menarik lengan Maura agar mereka duduk di kursi."Maaf, Bu. Itu caraku untuk membalas mereka," seloroh Maura pelan."Jika Ibu menjadi kamu, Ibu lebih memilih pergi