"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya.
"Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas.
"Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor.
"Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.
Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan.
"Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan.
"Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar.
"Mawar berada di rumah saya Bu, banyak sekali kejutan dari anak Ibu untuk saya. Sampai hati saya sakit karena kelakuannya," ujar Maura lembut, Mawar berusaha meraih handphonenya tetapi di tatap tajam oleh Maura.
"Bisa diem gak sih, Ibumu harus tau!" geram Maura menepis tangan Mawar.
"Jangan Mbak, Mawar belum siap," ucap Mawar pelan, sungguh pikirannya tengah buntu.
"Maksud kamu apa?" tanya Ibu Mawar pelan saat mencerna kata-kata Maura.
"Bisa kita bertemu? tak enak berbicara di telepon. Saya juga akan bawa Mawar," kata Maura dengan sopan, Ibu Mawar menyetujui dan mereka akhirnya mematikan sambungan telepon.
"Mbak ... Mbak gak sopan merebut ponsel Mawar," sergah Mawar saat Maura memasukan ponsel wanita itu ke sakunya.
"Lalu kamu bagaimana? Merebut suamiku, bahkan menjadi pelacurnya," sinis Maura bersidekap menatap nyalang Mawar.
"Mawar tidak merebut Mbak, Mbak saja yang tidak bisa menjaga Mas Hamdan. Dan Mawar bukan pelacur!" hardik Mawar tak terima ia berucap dengan nada tinggi.
"Terserah kamu deh, ponsel kamu Mbak pegang dulu." Maura berlalu tanpa menghiraukan Mawar yang berteriak-teriak.
" Oh ya, kakimu sudah sembuh bukan. Jadi buatkan kami sarapan," perintah Maura berbalik lalu pergi lagi setelah mengatakan itu.
Maura tersenyum saat melihat suami dan Delia terlelap dengan damai. Tapi hati langsung hancur mengingat pengkhianatan Hamdan yang bermain api. Dadanya sesak saat membayangkan sudah berapa banyak mereka memadu kasih.
"Astagfirullah, kuatkan hatiku ya ALLAH," batin Maura wanita itu bergegas membangunkan Delia untuk bersiap buat berangkat sekolah.
"Sayang bangun, ayo cepat kamu mandi! Kamu, kan, harus berangkat sekolah," ucap Maura mengguncang tubuh anaknya pelan.
"Bentar Bunda, Delia masih ngantuk. Kangen Ayah juga," kata gadis cilik itu lalu memeluk Hamdan.
"Gak boleh gitu, Delia. Kamu harus memiliki tanggung jawab, sekarang kamu udah masuk sekolah, jadi harus berangkat ya," pinta Maura menasehati Delia dengan sabar.
"Ahh ...."
Pekikkan Mawar membuat semua orang terkejut, termasuk Hamdan dan Delia yang langsung terbangun. Gadis kecil itu mengucek mata, menatap wanita yang melahirkannya. Mengulurkan tangan meminta di gendong.
"Ada apa sih! Pagi-pagi sudah berisik saja," gerutu Maura lalu melangkah ke kamar mandi untuk memandikan sang buah hati, tidak memperdulikan Hamdan yang sudah beringsut mencari asal suara.
"Ayo Sayang, kamu mandi!" ajak Maura seraya mencium pipi anaknya.
"Bunda gak liat Mbak Mawar dulu, dia teriak lho," ucap Delia ia kepo karena wanita itu selalu membuat masalah.
"Gak Sayang, gak penting juga. Yang penting itu kamu harus mandi biar wangi dan cantik," ujar Maura dengan telaten mengurus keperluan anaknya.
Setelah keduanya selesai, mereka melangkah dengan riang menuju meja makan. Tetapi tatapan mereka tertuju pada Hamdan tengah mengobati Mawar. Maura tersenyum kecut, lebih memilih ke dapur untuk mengisi perutnya.
"Mama, mana makanannya?" tanya Delia saat melihat meja makan kosong.
"Nanti ya Sayang, Bunda ke Mbak Mawar dulu," kata Maura dibalas anggukan Delia.
"Mawarrr! Ke mana sarapannya, kenapa ikannya belum matang, dan bahkan ikan juga belum dibersihkan," geram Maura menatap tajam Mawar yang tengah diobati Hamdan, sedangkah suaminya malah membalas tatapannya.
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baruš jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me