Air hangat mengguyur kepalanya dengan deras, suara gemercik air terdengar hampa di kuping Sonya, sehampa kehidupannya yang porak-poranda. Sonya menutup mata dan meremas spons yang sudah bercampur sabun, perlahan ia mengusap bagian tubuhnya yang tadi dikecupi Emir dengan keras, berusaha menghilangkan setiap jejak yang Emir torehkan di tubuhnya.
“Mama ... jangan pulang lama, ya. Bantu aku susun puzzle. Sama papa nggak asyik.”
Entah dari mana tiba-tiba saja suara Janu masuk ke dalam kepala Sonya, mengingatkannya pada kenangan manis antara dirinya dan Janu.
“Ma ... Janu sayang Mama nggak banyak. Janu bisa sayang yang banyak kalau Mama pulang cepet dan peluk Janu sambil tidur, Janu kangen dipeluk Mama.”
Sonya kembali menangis saat mengingat apa yang dikatakan oleh Janu, sebuah permintaan kecil yang sangat diinginkan oleh Janu yang belum bisa Sonya penuhi karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Andai waktu bisa diputar kembali, Sonya pasti tidak akan segan-segan memberikan semua harta dan nyawanya untuk kembali ke waktu di mana Janu masih hidup, memeluknya dengan erat setiap saat, setiap waktu.
“Maafkan Mama, Janu.” Sonya menggosokkan spons di tangannya keras-keras, sakit di kulitnya terasa sedikit mengikis kesakitan hatinya.
"Kenapa? Kenapa jadi gini?" isak Sonya sembari menjatuhkan sponsnya dan berjongkok di bawah guyuran air. Air matanya keluar dia menangisi kehidupannya yang seperti sampah, kehidupannya yang benar-benar hancur berantakan, Sonya Fauzia seorang Dokter Anestesi yang memiliki karier cemerlang harus berada dititik terendah hidupnya, Sonya tidak kuat!
••
"Dokter Sonya ...."Sebuah panggilan membuat Sonya tersadar dari lamunannya, dengan cepat Sonya mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas pasien di hadapannya ke arah orang yang berdiri di ambang pintu.
"Iya, kenapa Suster?" tanya Sonya.
"Ini tadi ada yang menitipkan ini ke saya, katanya tolong diberikan pada Dokter," ucap Suster itu sembari berjalan masuk dan menyerahkan sebuah amplop coklat ke meja Sonya.
Sonya mengambil dan mengeluarkan isinya, kebingungan langsung menimpa dirinya saat membaca kerta tersebut, itu adalah surat keterangan kematian mertuanya, untuk apa? Seingatnya Sonya tidak meminta surat tersebut.
"Dari siapa ini?" tanya Sonya.
"Dari sopir mertua Dokter, katanya mertua ibu meminta tolong untuk menyerahkan surat itu buat suami Dokter." Suster itu berkata sembari tersenyum dan meninggalkan ruangan Sonya.
Sonya hanya bisa terpaku melihat surat kematian mertuanya itu, dia sadar kalau jarak dari rumah mertuanya ke rumah sakit lebih dekat daripada jarak dari rumah mertuanya ke kantor Emir. Sonya tidak bisa menyalahkan mertuanya yang menitipkan surat ini pada dirinya karena di mata mertua dan semua orang yang Sonya kenal, perkawinannya saat ini baik-baik saja.
Sonya dan Emir cukup lihai menutupi kebobrokan pernikahan mereka demi reputasi Sonya dan Emir juga kesehatan mertuanya yang memiliki penyakit jantung. Dengan malas-malasan Sonya melirik jam di dinding, waktu dia bekerja memang sudah habis dan saat ini dia bebas pergi ke mana pun juga selama tidak ada yang menghubunginya untuk melakukan operasi.
Sonya mengambil ponsel dan menelepon Emir, nihil suami sialannya itu tidak mengangkat teleponnya entah sibuk dengan pekerjaannya atau mungkin sibuk dengan lonte-lontenya, Sonya tidak mau tahu. Tapi, melihat surat di tangannya Sonya dengan cepat memutuskan untuk pergi ke kantor Emir dan menemui suaminya itu, mungkin dengan menemui Emir hubungan mereka akan sedikit membaik? Bolehkah Sonya berharap?
••
Suara sepatu hak tinggi milik Sonya terdengar merdu di sepanjang lorong kantor milik Emir, beberapa karyawan Emir yang mengenalinya tersenyum dan menyapa Sonya dengan santun.
Sonya berdiri di depan pintu ruangan kerja Emir, dengan cepat Sonya membukanya dan mendapati meja kosong sekretaris Emir yang bernama Miskah.
"Ke mana Miskah?" tanya Sonya di dalam hati, keningnya mengerut saat mencium wangi parfum mawar yang pernah Sonya cium di dalam mobil Emir dan di tubuh suaminya itu tadi malam. Parfum lonte.
Dengan cepat Sonya berjalan ke arah pintu yang tertuju pada ruangan kerja Emir yang sesungguhnya. Tangan Sonya perlahan menekan gagang pintu dan membukanya sedikit, seketika itu juga wangi parfum mawar tercium makin menyengat di hidung Sonya dan yang paling membuat Sonya kaget adalah pemandangan yang ia lihat saat ini.
Mata Sonya membulat saat melihat bagian belakang tubuh suaminya sedang menggauli seorang wanita yang berbaring di atas meja kantor. Tubuh Sonya seketika menegang saat melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau suaminya sedang berselingkuh dengan wanita lain.
Sonya sebenarnya sudah tahu kalau Emir suka melakukan hubungan badan dengan wanita lain, itu yang membuatnya selalu menolak ajakan bercinta suaminya karena dia merasa jijik dengan tubuh Emir. Tapi, melihat dengan mata kepalanya sendiri benar-benar membuat semua pertahanan diri Sonya jebol dan harga dirinya tergerus hingga titik terendahnya.
Sejujurnya Sonya ingin mendatangi wanita itu dan menarik rambutnya, menampar atau bahkan mencakarnya juga memakinya, namun, entah mengapa tubuhnya sama sekali tidak merespons semua perintahnya. Tubuhnya seolah membatu dan memaksa Sonya untuk melihat adegan menjijikkan di hadapannya.
Sebuah adegan di mana Emir terus memompa tubuhnya masuk ke dalam tubuh wanita sialan itu dan melihat wanita itu meremas payudaranya dan berjuang untuk memalsukan orgasmenya. Menjijikkan.
"Miskah ...," bisik Sonya saat menyadari kalau wanita yang sedang Emir gagahi adalah sekretarisnya sendiri, wanita yang Sonya anggap sudah sangat baik mau membantu Emir ternyata bermain di belakangnya.
Air mata Sonya mengalir tanpa bisa Sonya cegah, map yang ada di tangannya terjatuh seketika. Rasa pusing detik itu juga langsung menghantam kepala Sonya, entah kekuatan apa yang membuat Sonya mengambil ponselnya dan merekam adegan hubungan badan antara Emir dan Miskah.
Sonya berjuang untuk menstabilkan ponselnya agar tidak bergoyang, sedangkan kedua kelopak matanya Sonya tutup serapat mungkin agar tidak perlu melihat adegan menjijikkan tersebut. Sonya harusnya berlari atau menghajar suami dan selingkuhannya itu tapi, lagi-lagi tubuhnya sama sekali tidak bisa Sonya ajak kerja sama, tubuh Sonya seolah terpaku di lantai tidak bergerak sama sekali. Sonya seolah bergerak secara auto pilot, hampa.
Zret ... zret ....
Ponsel Sonya bergetar menandakan ada seseorang yang meneleponnya, getaran di ponselnya menyadarkan Sonya dari keadaan auto pilotnya. Dengan cepat Sonya berjalan keluar dari ruangan Emir dan berjalan ke arah parkiran mobil sembari mengangkat teleponnya.
"Iya ...," jawab Sonya.
"Sonya, kamu di mana? Hari ini jadi kita ke tempat bu Sekar? Kamu udah janjian sama psikolog itu, kan?" tanya Lidya sahabat Sonya.
"Aku ... aku nggak tahu, Lid, aku nggak paham ... aku benar-benar hancur, aku nggak kuat," isak Sonya sembari masuk ke dalam mobil dan membanting pintu sekeras-kerasnya.
"Sonya kamu kenapa? Ada apa? Kamu di mana?" Berondongan pertanyaan langsung Lidya lontarkan karena kaget dengan perkataan Sonya, Lidya yang sudah lama bersahabat bertahun-tahun dengan Sonya kaget saat mendapati kalau sahabatnya itu menyerah dengan hidupnya.
"Aku di kantor Emir, aku nggak kuat ... aku nggak sanggup, kenapa hidup aku kaya sampah, Lid?" isak Sonya sembari memukuli setir mobilnya berkali-kali hingga telapak tangannya memerah.
"Emir kenapa? Kamu diapain lagi sama cowok gila itu?" tanya Lidya yang tahu cerita pernikahan Sonya.
"Aku nggak kuat, aku nggak kuat!?" teriak Sonya keras seolah mengeluarkan semua kekesalan dan penderitaannya, merutuki nasibnya yang seperti sampah.
"Tenang ... Sonya, tenang, kamu kenapa? Coba cerita pelan-pelan," pinta Lidya mencoba menenangkan lewat saluran telepon.
"Aku nggak kuat, aku ... aku ...." Sonya benar-benar tidak bisa menahan air matanya lagi, dia benar-benar tidak sanggup lagi menahan semuanya apalagi setelah melihat Emir yang menyetubuhi Miskah.
"Kamu mau apa, Sonya?"
"Aku mau mati! Aku mau mati!"
•••"Kamu udah enakan, Sonya?" tanya Lidya sembari menyodorkan teh hangat ke tangan Sonya yang bergetar. "Aku mau mati, Lid ... aku nggak kuat, aku nggak sanggup," bisik Sonya dengan tatapan hampa dan kosong menatap dinding putih di hadapannya. Entah bagaimana caranya Sonya bisa menjalankan mobilnya dan selamat sampi di rumah Lidya dalam keadaan histeris dan menangis di sepanjang jalan. Mungkin semesta masih menginginkan Sonya hidup dan menyiksanya lebih berat lagi, Sonya tidak tahu padahal Sonya sangat menginginkan dirinya kecelakaan dan mati, dia benar-benar sudah lelah dengan hidupnya ini. "Sonya ... jangan ngomong gitu," bisik Lidya sembari merangkul sahabatnya itu dan menahan tangisnya, hatinya terenyuh melihat penderitaan Sonya yang disia-siakan suaminya. "Aku udah nggak sanggup, Lidya, ke mana suami aku yang dulu sayang dan cinta sama aku? Ke mana laki-laki yang selalu menghargai aku dan mendukung aku meraih semua mimpi aku? Ke mana dia?" tanya Son
"Kenapa aku nggak mati aja, sih, Bu?" tanya Sonya dengan tatapan kosong. "Nak, nggak boleh ngomong gitu," Parwati yang sedang menyuapi Sonya menahan tangisnya saat mendengar perkataan Sonya, hatinya benar-benar sakit saat mendengar perkataan menantu kesayangannya itu. "Kadang aku ngerasa kalau semua kesakitan di hidupku, nggak ada habisnya," ungkap Sonya pelan. "Sonya Tuhan tidak akan mungkin memberikan cobaan pada umatnya bila umatnya tidak sanggup melaluinya, Sonya," bisik Parwati mencoba menyemangati Sonya sembari menyuapkan makan siang ke mulut Sonya. Dengan malas Sonya membuka mulutnya dan berjuang mendorong makanan yang mertuanya itu suapkan. "Tapi, Sonya udah nggak sanggup, Bu. Sonya nggak sanggup, Sonya mau mati aja, Bu," isak Sonya. "Sonya ... Sonya maafkan Ibu, tapi, Ibu harus menandatangani surat persetujuan tindakan medisnya, mereka bilang kamu harus secepatnya dioperasi kalau tidak nyawa kamu tidak tertolong," isak Parwati sembari
"Gimana?" tanya Sonya santai sama sekali tidak terpancing emosinya sama sekali."Maksudnya apa? Kenapa kamu tiba-tiba menjalani operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku!? Kamu gila atau apa? Kamu nggak mau punya anak lagi, hah!?" tanya Emir yang marah karena mengetahui kalau istrinya saat ini sudah tidak memiliki rahim lagi dan tidak mungkin bagi mereka berdua mendapatkan kembali anak. Padahal, Emir sangat menginginkan Sonya untuk hamil kembali."Kamu dari mana aja?" Sonya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Emir.Emir menatap manik mata Sonya tidak percaya karena istrinya ini malah bertanya balik dan bukan menjawab pertanyaannya sama sekali. Dengan kesal Emir menutup pintu kamar rumah sakit, "Sonya, aku tanya sama kamu. Kenapa kamu melakukan prosedur operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku?"
1 tahun kemudian ...."Sonya udah," bisik Lidya yang kaget melihat Sonya mencabik-cabik tisu seperti orang kurang waras."Kenapa ibu maksa bangat bikin acara kaya gini, sih?" tanya Sonya semaput karena Parwati tiba-tiba meminta dirinya untuk mengadakan acara ulang tahun perkawinan dirinya dengan Emir."Ya ... mungkin dia ingin liat kamu sama Emir bahagia?" canda Lidya sembari mengambil gumpalan tisu yang sudah Sonya cabik-cabik."Wow ... bahagia banget hidup aku sama Emir, saking bahagianya aku senang banget dia nggak pernah pulang ke rumah," jawab Sonya sembari membawa gelas berisikan champagne dan menegaknya hingga habis."Dia beneran nggak pulang?" tanya Lidya yang mulai khawatir dengan kehidupan pernikahan Sonya yang benar-
15 menit sebelumnya ...."Kamu kenapa?" tanya Miska bingung saat melihat Emir yang menekuk wajahnya selama mereka berduaan di pojokkan rumah Sonya, bersembunyi dari para tamu undangan.Miska sudah tau status dirinya yang hanya dijadikan selingkuhan oleh Emir, Miska sama sekali tidak berkeberatan karena dia tahu kalau hubungan Emir dan Sonya sama sekali tidak bisa diselamatkan lagi tapi, mereka masih bersama demi kesehatan ibu kandung Emir."Kamu kenapa, Emir? Kamu sakit?" tanya Miska sembari menyapukan jemarinya di rambut Emir yang tebal.Emir yang merasakan sentuhan di kepalanya langsung menepis tangan Miska, dia sedang tidak mood untuk disentuh oleh selingkuhannya ini. Hatinya benar-benar panas saat mendengar perkataan Sonya yang mengatakan kalau selama ini tidak pernah terpuaskan olehnya. Ingin rasanya Emir sobek mulut Sonya saat mendengar hal tersebut, apakah dirinya semenyedihkan itu sampai tidak bisa membuat Sonya orgasme?"Mir, kamu kenapa?"
"Aw ... sakit, Bu Sonya."Sonya dengan sekuat tenaganya menarik rambut Miska dan menyeretnya untuk beranjak dari ranjangnya sambil sesekali tangannya menampar dan mencakar bagian mana pun dari tubuh Miska yang bisa Sonya kenai."Wanita kurang ajar!? Nggak cukup kamu bercinta di kantor suami aku, hah!? Sekarang kamu bercinta di kamar aku! Perempuan nggak punya otak!?" maki Sonya sembari terus memukuli Miska dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menjambak rambut Miska sekeras mungkin hingga membuat tubuh wanita itu terseret kemudian entah tenaga dari mana Sonya mampu membanting tubuh Miska ke lantai dengan keras."Sonya! Apa-apaan kamu!? Lepasi Miska, Sonya!" sentak Emir yang kaget dengan betapa besar tenaga istrinya itu, tubuh Sonya yang kecil ternyata mampu menyeret Miska hingga terpelanting ke lantai."Bu Sonya, lepas, Miska mohon lepas, sakit, Bu," pinta Miska sembari mencengkeram tangan Sonya berusaha untuk melepaskannya.
Sonya menampar pipi Emir sekeras mungkin dengan tangan yang sudah terlepas dari kuncian suaminya itu, tubuhnya bergetar menahan amarah dan sorot mata tajam Sonya tidak bergerak dari manik mata Emir.“Mau kamu apa, hah?!” sentak Emir yang kaget saat mendapati rasa sakit akibat tamparan Sonya yang sangat keras.Sonya menyusupkan kakinya di antara tubuhnya dan menendang tubuh Emir dengan keras hingga membuat tubuh suaminya itu terjengkang, Sonya hanya melihat sekilas pada Emir yang tubuhnya menabrak lemari baju.“Mau aku? Mau aku kamu nggak udah bawa lonte ini ke rumah aku, ke ranjang aku?!” sentak Sonya sembari mendekati Miska yang menatap ketakutan pada dirinya. Dengan cepat Sonya menarik selimut yang menutupi tubuh Miska hingga membuat wanita itu hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.“Astaga ... kamu suka lonte kaya begitu? Bahkan pakaian dalamnya saja murahan!? Mirip kaya anak SMA?! Nafsu kamu sama yang kaya begitu?!&rdquo
“Sonya, Ibu pulang dulu, ya.” Parwati memeluk Sonya seerat mungkin saat pamit dari rumah Sonya.“Iya, Bu, hati-hati dan kamu juga Emir nyupir mobilnya hati-hati dan jangan lupa dipakai jaketnya, cuaca di luar nggak bagus.” Sonya mengenakan jaket ke badan Emir sembari berbisik pelan di kuping Emir, “Cuaca yang sangat bagus untuk seorang lonte berkeliaran hanya dengan mengenakan pakaian dalam murahan.”Emir menggemeretakkan giginya saat mendengar perkataan Sonya, ingin rasanya dia menampar mulut istrinya itu andai tidak ada ibunya di sana. “Mungkin dia lonte tapi, dia nggak mandul kaya kamu.”Sonya menelan ludahnya sendiri, dia sudah muak dan kenyang dengan hinaan Emir pada dirinya yang selalu menyebutkan kalau dirinya mandul. Sonya tahu kalau Emir tidak bisa menghina hal lain pada dirinya selain mandul, hanya itulah satu-satunya yang bisa mencabik harga diri Sonya. Sonya membencinya namun, tidak bisa melakukan apa p