"Aw ... sakit, Bu Sonya."
Sonya dengan sekuat tenaganya menarik rambut Miska dan menyeretnya untuk beranjak dari ranjangnya sambil sesekali tangannya menampar dan mencakar bagian mana pun dari tubuh Miska yang bisa Sonya kenai.
"Wanita kurang ajar!? Nggak cukup kamu bercinta di kantor suami aku, hah!? Sekarang kamu bercinta di kamar aku! Perempuan nggak punya otak!?" maki Sonya sembari terus memukuli Miska dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menjambak rambut Miska sekeras mungkin hingga membuat tubuh wanita itu terseret kemudian entah tenaga dari mana Sonya mampu membanting tubuh Miska ke lantai dengan keras.
"Sonya! Apa-apaan kamu!? Lepasi Miska, Sonya!" sentak Emir yang kaget dengan betapa besar tenaga istrinya itu, tubuh Sonya yang kecil ternyata mampu menyeret Miska hingga terpelanting ke lantai.
"Bu Sonya, lepas, Miska mohon lepas, sakit, Bu," pinta Miska sembari mencengkeram tangan Sonya berusaha untuk melepaskannya.
Sonya menampar pipi Emir sekeras mungkin dengan tangan yang sudah terlepas dari kuncian suaminya itu, tubuhnya bergetar menahan amarah dan sorot mata tajam Sonya tidak bergerak dari manik mata Emir.“Mau kamu apa, hah?!” sentak Emir yang kaget saat mendapati rasa sakit akibat tamparan Sonya yang sangat keras.Sonya menyusupkan kakinya di antara tubuhnya dan menendang tubuh Emir dengan keras hingga membuat tubuh suaminya itu terjengkang, Sonya hanya melihat sekilas pada Emir yang tubuhnya menabrak lemari baju.“Mau aku? Mau aku kamu nggak udah bawa lonte ini ke rumah aku, ke ranjang aku?!” sentak Sonya sembari mendekati Miska yang menatap ketakutan pada dirinya. Dengan cepat Sonya menarik selimut yang menutupi tubuh Miska hingga membuat wanita itu hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.“Astaga ... kamu suka lonte kaya begitu? Bahkan pakaian dalamnya saja murahan!? Mirip kaya anak SMA?! Nafsu kamu sama yang kaya begitu?!&rdquo
“Sonya, Ibu pulang dulu, ya.” Parwati memeluk Sonya seerat mungkin saat pamit dari rumah Sonya.“Iya, Bu, hati-hati dan kamu juga Emir nyupir mobilnya hati-hati dan jangan lupa dipakai jaketnya, cuaca di luar nggak bagus.” Sonya mengenakan jaket ke badan Emir sembari berbisik pelan di kuping Emir, “Cuaca yang sangat bagus untuk seorang lonte berkeliaran hanya dengan mengenakan pakaian dalam murahan.”Emir menggemeretakkan giginya saat mendengar perkataan Sonya, ingin rasanya dia menampar mulut istrinya itu andai tidak ada ibunya di sana. “Mungkin dia lonte tapi, dia nggak mandul kaya kamu.”Sonya menelan ludahnya sendiri, dia sudah muak dan kenyang dengan hinaan Emir pada dirinya yang selalu menyebutkan kalau dirinya mandul. Sonya tahu kalau Emir tidak bisa menghina hal lain pada dirinya selain mandul, hanya itulah satu-satunya yang bisa mencabik harga diri Sonya. Sonya membencinya namun, tidak bisa melakukan apa p
“Eh ... ya ampun?!” Sonya dengan cepat berjongkok saat menyadari kalau tetangganya itu tahu kalau dirinya sedang memperhatikan tetangganya.Sonya dengan cepat menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya, rasa malu karena ketahuan sedang mengintip tetangganya langsung Sonya rasakan. “Ya ... ampun, Sonya, ngapain kamu ngintip, sih?” Sonya menjulurkan kepalanya untuk melihat kembali tetangga barunya itu dari balik jendela.Deg!Dengan cepat Sonya menyembunyikan kepalanya lagi saat melihat kalau tetangganya itu sedang tersenyum pada dirinya dan melambaikan tangan pada Sonya. “Ya ... ampun, Sonya.”Sonya memutar tubuhnya dan duduk di lantai sembari mengipasi wajahnya yang panas dan memerah karena merasa malu akibat ketahuan mengintip tetangga barunya itu. Sonya menggigit jempolnya untuk menenangkan dirinya.“Kamu, kenapa harus ngintip, sih, Sonya?” tanya Sonya pada dirinya sendiri yang bingung de
"Mampus ...," bisik Sonya pelan, saking pelannya Sonya yakin kalau hanya semut yang bisa mendengar dirinya mengumpat."Dok, kertasnya," ucap Awan sembari berjongkok dan mengambil kertas-kertas yang jatuh ke lantai kemudian menyerahkannya ke tangan Sonya."Oh, iya, terima kasih. Maaf saya permisi, masih ada operasi," ungkap Sonya sembari berbalik namun, naas saat Sonya berjalan ke arah pintu kepalanya tertabrak daun pintu yang tidak Lidya tutup ke
Sonya berjalan ke arah kotak obat-obatan yang ada di ruangannya, memeriksa persediaan obat-obat anestesi yang kebanyakan masuk ke dalam katagori NAPZA hingga beberapa obat itu disimpan di dalam lemari yang terkunci rapat di ruangan milik Sonya dan diawasi ketat oleh pihak rumah sakit.Tok ... tok ... tok ...."Masuk," ucap Sonya sembari melirik ke arah pintu."Maap Dok, boleh saya masuk?" tanya Awan.Deg!Jantung Sonya berdetak lebih cepat dari bisanya saat melihat senyuman Awan dan bahkan dari jarak sejauh ini Sonya sudah bisa mencium aroma tubuh Awan yang mengingatkannya dengan wangi laut."Dokter, boleh saya masuk?" ulang Awan yang ragu untuk masuk ke ruangan Dokter Sonya y
Sonya memanjangkan lehernya saat akan berjalan di lorong rumah sakit, dia sama sekali tidak mau bertemu dengan Awan. Fakta bila Awan sudah mengetahui mereka bertetangga membuat Sonya ketar ketir. Hampir seminggu ini Sonya berusaha untuk menjauh sejauh-jauhnya dari Awan.Merasa sudah aman Sonya berjalan ke arah ruangannya, saat sudah sampai Sonya menyimpan semua barangnya termasuk menanggalkan snelli-nya, entah kenapa Sonya merasa sangat kepanasan saat itu hingga akhirnya membuat dirinya hanya mengenakan kemeja satin tipis.
"Kamu kenapa?" tanya Lidya yang kaget melihat betapa nelangsanya Sonya."Aku nggak sanggup lagi kerja di sini, apa aku harus resign?" sahut Sony sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Ah ... Sonya tidak sanggup lagi bila harus bertemu Awan, lelaki itu benar-benar mampu membuat Sonya salah tingkat di setiap pertemuannya."Jangan bikin perkara kamu, Sonya, banyak banget yang mendapatkan posisi kamu sekarang. Terus kamu dengan bodohnya ingin resign? Kamu kenapa?" tanya Lidya sembari duduk berhadapan dengan Sonya. Lidya mengeluarkan bekal makan siangnya dan sebuah kantung plastik yang berisikan minuman kesukaan Sonya."Itu apa?" tanya Sonya dengan mata berbinar saat melihat minuman kesukaannya."Itu apa," ejek Lidya dengan mengulan
"Kenapa kamu blokir kartu kredit aku?" Sonya hampir terbahak saat mendengar perkataan suaminya itu, ternyata benar apa yang ia pikirkan kalau Emir baru akan menghubunginya bila berhubungan dengan uang. "Sejak kapan kamu punya kartu kredit, suamiku sayang," ejek Sonya sembari membereskan barang-barangnya karena sudah waktunya pulang, diliriknya jam di dinding yang sudah menunjukkan jam dua belas malam. Sepertinya, operasi jantung tadi benar-benar menyita waktunya. "Sonya dengar, aku butuh kartu kredit itu," ucap Emir dengan suara pelan. "Buat apa? Kamu butuh kartu kredit itu buat apa? Kamu kan punya penghasilan yang nggak pernah aku tahu nominalnya dan nggak pernah kamu kasih juga ke aku, itu semua cukup untuk kamu hidup." Sonya memasukkan dompet ke dalam tas berlogo huruf H